PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750 -847 M)
A. PENDAHULUAN
Setelah
Nabi Muhammad meninggal kepemimpinan beralih kepada sahabat. Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali adalah sahabat terdekat beliau yang pernah memimpin kaum muslim.
Di masa kepemimpinan Usman timbul berbagai persoalan politik di kalangan kaum
muslim, hingga membawa Syahidnya beliau. Kisruh di dalam masyarakat muslim
berlanjut hingga di masa pemerintahan Ali. Pembunuhan Usman menimbulkan pertentangan antara pihak Ali
dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Sebagai gubernur Syam dan kerabat terdekat Usman,
Muawiyah berupaya memplotisir peristiwa pembunuhan Usman. Melalui ini dia
berupaya merebut kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Hingga menimbulkan
pertumpahan darah yang sangat besar di antara umat Islam seperti peristiwa
Perang Shiffin.
Dengan
permainan politik yang licik, Muawiyah berhasil menyingkirkan Ali Bin Abi
Thalib sebagai khalifah. Kejadian ini memicu perpecahan dalam pengikut Ali
antara mendukung dan tidak mendukung kebijakan Ali Bin Abi Thalib yang mau berunding dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perpecahan dalam
pengikut Ali semakin melapangkan jalan Muawiyah menduduki khalifah, memimpin
kaum muslimin.
Muawiyah
Bin Abi Sufyan adalah pemimpin yang handal, cakap dalam Administrasi dan ahli
strategi. Dimasa pemerintahannya dia berhasil memadamkan ketidak senangan
tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan dirinya. Meskipun demikian diakhir
pemerintahannya Muawiyah menyalahi janji yang sudah dibuatnya dengan Hasan Bin Ali
Bin Thalib, bahwa kelak jika dia tidak memangku jabatan khalifah, maka urusan
kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin
baru. Muawiyah diusianya yang uzur tersebut menunjuk anaknya Yazid sebagai
putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan
ini menandai mulainya dinasti Umayyah berkuasa, yang terambil dari nama kakek
mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung
sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H / 661 M.
Penunjukkan Yazid
menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid
bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat
dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi
Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati
keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan di kalangan
muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua
pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa Bani Umayyah
Perlawanan tiada henti
terus dilakukan oleh pendukung Ali Bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik
Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas
pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh lini aspek kehidupan
kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh
penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa
pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum
muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar –mimbar dilarang. Perubahan politik
ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah
satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul
Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah
tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perobahan politik dan
perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar Bin Abdul Azis,
kekuasaan Bani Umayyah di damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti
Umar Bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani
Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan Abdullah As Saffah dengan strategi ingin
mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasanan kekhalifahan, Abbas berhasil
menarik dukungan kaum Syiah untuk mengorbankan perlawanan terhadap kekuasaan
Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah
Marwan II Bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus.
Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri
sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era
bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah
ini penulis membahas lebih lanjut kiprah
dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam
peradaban Islam.
B. Sejarah berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.
1.
Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah
Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan.
Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti
ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M. Bani Umayyah digulingkan
oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini
berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr
bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena
landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1] Meskipun demikian menurut
penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan
kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani
Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas
as-Saffah.[2] Adapun sebab dia yang disepakati pendiri
dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia
sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan
daulah Bani Umayyah. Jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor
tegaknya Daulah Bani Abbasiyah. Seperti Imam Ibrahim yang berkeinginan
mendirikan kekuasaan Bani Abbasiyah. Ia menyusun
ke kuatan di Humaymah sebagai pusat
perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan
di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya
Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk
pindah
ke kufah.[3] DI bawah panglima perangnya yang bernama Abu
Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi
kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak
tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah
pertamanya Abu Abbas as-Asaffah.[4]
Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya
singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur.
Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi
pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[5] Abdullah bin Ali, salih
bin Ali dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak
dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang
berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan
rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas
rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan
harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan
Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang
berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima
perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip
oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas
dasar-dasar antara lain:
1.
Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul
dari dinasti sebelumnya
2.
Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3.
Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak
diangkat atas dasar keningratan.
4.
Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5.
Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah
dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6.
Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di
tangan mereka.[6]
C. Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Di antara situasi situasi yang
mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya
adalah:
1. Timbullnya
pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bi Abi Thalib;
2. Munculnya
golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah,
kebijakan-kebijakan yang kurang adil;
3. Timbulnya
politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4. Adanya dasar
penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Quran dan oleh
golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab;
5. Adanya konsep
hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak
bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya
golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[7]
6. Bertambah
gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein
bin Ali dalam pertemburan Karbala.[8]
D. Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/
750-847 M
Bani
Abbasiyah sebagai penguasa baru sesudah Bani Umayyah, penguasa dan bangsawannya
cendrung hidup mewah. Namun tidak sangkal sebagian khalifah memiliki selera
seni yang tinggi serta taat beragama.[9] Tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan
pemerintahan. sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk.[10] Adapun khalifah Bani
Abbasiyah pada periode pertama adalah:
1. Abu Abbas as-Saffah
( 132-137 H/ 750- 754 M
2. Abu Ja’far
al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M
3. Al-Mahdi 159-169 H/ 775-785 M
4. Al-Hadi 169-170 H/ 785-786
M
5. Harun ar –Rasyid 170-194 H/ 786-809 M
6. Al-Amin 194-198 H/ 809-813
M
7. Al-Ma’mun 198-218 H/ 813-833 M
8. Al-Mu’tasim 218-228 H/ 833-842 M
9. Al-Wasiq 228-232 H/ 842-847 M[11]
E. Kebijakan-kebijakan Daulah Bani Abbasiyah periode
pertama 132 -232 H/ 750- 847 M
a. Bidang politik
dan pemerintahan
Pada masa awal tegaknya pemerintahan
Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan
pemerintahan:
1. Mengejar dan
membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah.
Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua
kelurga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya
sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris
tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun,
berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.[12]
2. Menyingkirkan
tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin
Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan
kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan dapat merongrong wibawa khalifah.
3. Membasmi
pemberontakan.
Pada masa Al-Mahdi terjadi
pemberontakan di Syria
tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul
pula pemberontakan yang dipimpin oleh al- Yasykuri yang berusaha merusak
beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinya terbunuh.
Timbul juga pemberontakan Bani Tamim.[13] Semua pemberontakan
tersebut dapat dipadamkan oleh khalifah Bani Abbasiyah. Hal ini dapat
dimengerti kekuasaan Bani Abbasiyah sudah mulai kuat sejak dipimpin oleh Abu
Ja’far al-Mansur.
4. Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad.
Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga adalah untuk menghilangkan pengaruh
Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide
–ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.
5. Menghapus
politik kasta.[14]
Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang
Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada
Bani Abbasiyah.
6. Merangkul
orang-orang Persia,
ini dalam rangka politik memperkuat diri.[15] Hal ini tindak lanjut
dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat.
Selain kebijakan-kebijakan di atas,
langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:
1. Para khalifah
tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai
lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali (orang di luar Arab)
2. Kota Bagdad
ditetapkan sebagai ibu kota
Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
3. Kebebasan
berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.[16]
4. Memperluas
wilayah
Pada periode awal pemerintahan
Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Dalam upaya
melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia,
seperti kota
Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala
tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan
berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di
bagian lain Oskus, serta India.[17]
b. Bidang Ekonomi
dan perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi.
Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, bendungan-bendungan
dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak
terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak,
emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga
banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting.[18] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi
perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani
Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik
kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak,
emas, tembaga, besi dan sebagainya.[19]
Devisa Negara penuh berlimpah-limpah.
Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu
meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota
politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat
itu. Sedangkan kota
Damaskus merupakan kota
ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal
dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional
ini semenjak khalifah al-Mansur.[20] Pada masa Khalifah Harun
ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara
sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil
bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran
uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan
sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai
Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter
dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[21] Selain itu juga
dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi,
pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para
ulama dan satrawan.
c. Bidang sosial
Bani Abbasiyah mempelopori
penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah
akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani
Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk duduk dalam
pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah
ini dikenal dengan periode
pengaruh Persia
pertama.[22]
Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada
Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan
wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada
masa itu.[23]
d. Bidang
pendidikan / Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang
pada masa Bani Abbas. Ada
dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu
Naqliah dan ilmu aqliyah.[24] Di antara ilmu-ilmu
naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:
1. Ilmu Tafsir
Pada masa ini muncul dua aliran dalam
ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil
Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi.
Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits
dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih
banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada
masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari( w.3120 H)[25]. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak lepas dari ke dua
aliran ini.
2. Ilmu Hadits
Pada masa ini muncul ulama-ulama
hadits yang belum ada tandingannya
sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256).
Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[26]
3. Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris
yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam
Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu
Hambal ( 780-855).[27]
4. Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini
terjadi pembauran umat muslim Arab
dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah
Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar
dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari
golongan Mu’tazilah, yang lebih
meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail
(135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H).[28]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat
pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi
pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi
dengan lembaga untuk penerjemahan.[29] Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat
kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang
besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan
kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre
of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had.
Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
1. Maktab /kutab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama;
2. Tingkat
pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[30]
Dengan dua model dua di atas system
pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di
kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut
sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab
yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat
kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah
direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Astronomi, ilmu
ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk
mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali Ibnu Isa AL- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al-
Khayyam dan al- Tusi[31]
2. Kedokteran, pada
masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada
tahun 850 ia mengarang buku Fidaus
al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[32]
3. Ilmu kimia.
Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[33]
4. Sejarah dan
geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin
al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli
ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
5. Filsafat
Khalifah Harun al-Rasyid dan
al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan
filsafat, terutama filsafat Aristoteles
dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya
adalah Al-Kindi (796 -873 M.
e. Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini
terlihat para khalifahnya condong pada paham mU’tazilah. Sehingga pada masa
Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[34]
f.
Kesenian
Di antara khalifah Bani Abbasiyah
yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di
antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya
seorang ahli hikmah.[35]
Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah
juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai
khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta
stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara
menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana
al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam
al-Quran surat
al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127,
yakni Darussalam.[36]
Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah
sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman,
hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini
kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat system meliternya.
F.
Faktor – faktor kemunduran Bani Abbasiyah
Kemunduran Bani Abbasiyah dapat dilihat dari
berbagai factor, yaitu:
a. Faktor politik
1. Ketidak mampuan
khalifah dalam mengendalikan khilafah
Khalifah tidak mampu mengontrol para
wazir, dan justru Khalifah menjadi boneka Wazir-wazir yang berkuasa.
2. Wilayah yang
luas dan tidak adanya sikap saling percaya.
3. Penyisihan kaum
siah dari jabatan pemerintah
4. Tidak adanya
system peralihan yang tegas tentang pewarisan kekuasaan.[37]
b.Faktor militer
Hidup dalam keadaan ekonomi yang
makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup
bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat tergantung kepada tentara Turki.
Organisasi tentara yang bersandar pada kesukuan tersebut, tidak dapat
diandalkan untuk menjaga wilayah yang lua tersebut.Terabainya membangun
kesatuan militer yang regular membuat Bani Abbasiyah keropos dari pertahanan.
c. Faktor ekonomi
Para Khalifah dan penjabat pemerintah
telah terbiasa hidup dengan kemewah. Kebutuhan terus meningkat[38]. Ongkos dari kemewahan
penguasa Bani Abbas dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak yang
tinggi. Ketika kas negara kosong, maka membuat pondasi negara lemah.
Gejolak-gejolak terjadi ditengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi
tersebut.
G. Kejatuhan
Bani Abbasiyah
Adapun yang menyebabkan jatuhnya
dinasti Bani Abbasiyah secara langsung adalah akibat serbuan tentara Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Penyerbuan itu terjadi pada tanggal 17 Januari
1258 M. Khalifah Musta’sim tewas pada penyerbuan ini[39]. Kebesaran Bani Abbasiyah
selama ini hilang bersamaan dengan aksi bumi hangus tentara Mongol Hulagu Khan.
0 komentar:
Posting Komentar