PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAIYAH (661-750)
A. Pendahuluan
Kajian tentang sejarah peradaban
Islam, tidak terlepas dari keberadaan sebuah Dinasti yaitu Dinasti Bani Umaiyah
yang berkuasa selama lebih kurang 90 tahun (41- 132/661-750). Dinasti ini
didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan Ibn Harb Ibnu Umayyah melalui peristiwa
tahkim ketika pecahnya perang Sifin di Daumatul Jandal. Kehadiran Dinasti
Umayyah telah memberi warna baru dalam bebakan sejarah pemerintahan Islam
dengan sistim pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistim yang diterapkan
pada pemerintahan Islam yang pada masa-masa sebelumnya, baik pada masa
Rasulallah SAW maupun pada masa Khulafaurrasyidin . sistim pemerintahan yang baru
ini banyak sorotan dan ketidak pauasan dikalangan masyarakat Islam pada
umumnya.
Terlepas dari persoalan sistim
pemerintahan yang diterapkan, sejarah telah mencatat bahwa Dinasti Umayyah adalah
Dinasti Arab pertama yang telah memainkan perang penting dalam perluasan
wilayah, ketinggian peeradaban dan menyebarkan agama Islam keseluruh penjuru
dunia, khususnya eropa, sampai akhirnya dinasti ini menjadi adikuasa.
Masa pemerintahan Muawiyah
tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan
membasmi para pemberontak. Ia juga berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya
mencapai kemakmuran dan kekayaan yang melimpah. Pemerintahan Bani Umayyah
dimulai dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad.
Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa dalam berbagai bidang
sesuai dengan kehendak zamannya, sebalaiknya ada khalifah yang tidak patut dan
lemah. Adapun urutan Khalifah Umayyah adalah sebagai berikut:
41 H/661 M - Muawiyah
I (Muawiyah Ibn Abi Sufyan)
60 H/680 M - Yazid
I (Ibn Muawiyah)
64 H/686 M - Muawiyah
II (Ibn Yazid)
64 H/683 M - Marwan
I ( Ibn Hakam)
65 H/685 M - Abdul
Mali (Ibnu Marwan)
86 H/705 M - Al-Walid
I (Ibn Abd Malik) 96 H/715 M - Sulaiman (Ibn Abd Malik)
99 H/717 M - Umar
(Ibn Abd Azis)
101 H/720 M - Yazid
II (Ibn Abd Malik)
105 H/ 724 M - Hisyam
Ibn Abd Malik
125 H/743 M - Al-Walid
II (Ibn Yazid II)
126 H744 M - Ibrahim
(Ibn al-Walid II)
127 H-123 H/744-750- Marwan
II (Ibn Muhammad)
Ahli sejarah mencatat bahwa Khalifah terbesar adalah
Muawiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[1]
Melihat
pentingnya pembelajaran mengenai corak pemerintahan Bani Umayyah, maka pada
seminar makalah kali ini penulis akan membahas sekelumit tentang Dinasti
Umayyah, dari awal berdirinya sampai kepada permasalaahan yang dicapai dalam
pemerintahan. Untuk itu mudah-mudahan makalah ini bermamfaat bagi penulis dan
untuk kita bersama, serta penulis sangat mengharap kritik dan saran yang
bersifat bisa memajukan untuk penulis.
B. Sejarah Berdirinya Bani Umayyah
Nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd
Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan
Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari
suku Quraisy.[2]
Setelah
terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali as dengan Muawiyah bin Abi Sofyan pada 41 H/661 M, maka secara
resmi Muawiyah diangkat menjadi Khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat
pemerintahan Islam di pindahkan olehg Muawiyah dari kota Madinah Ke Damaskus.[3]
C. Bentuk Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Setelah Muawiyah memindahkan
pusat pemerintahan dari kota Madinah ke Damaskus, maka pemerintahan Muawiyah
berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini
berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota. Kebajikan
yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas
wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia
diangkat menjadi Gubernur oleh Umur Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah
meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah
menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan
Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin
Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul
Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir
Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbas setelah memerintah
lebih kurang 90 tahun.[4]
Atas perobahan bentuk
pemerintahan dari demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh,
yakni Husen bin Ali dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan
Abdullah meninggalkan kota Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani
Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan
(661-680 M), Abd Al-MAlik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul
Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik
(720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
D. Kebijakan dan Orientasi Politik
Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan bermacam-macam
cara dan srategi, bahkan dengan menggunakan kekerasan, deplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan dan suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan sejara
turun-menurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadapnya. Muawiyah bermaksud mencontoh manarchi di Persia dan
Bazantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan
interpristasi baru dari kata-kat untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebut “ Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah
SWT.[5]
Selama Bani Umayyah memerintah
banyak terjadi kebijakan politik yang dilakukan pada masa pemerintahannya
seperti:
- Pemisahan kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama
(spiritual pawer), dengan kekuasaan politik (timporer pawer). Sebelumnya pada
masa Khalifah Rasidin belum terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan
kekuasaa agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah dapat dipahami
karena Muawiyah sebagai penguasa pertama Negara ini bukanlah orang yang ahli
dalam bidang keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada
‘Ulama. Oleh karena itu dikota-kota besar dibentuk para qhadi/hakim, pada
umumnya para Hakim menghukum sesuai dengan ijtihatnya yang sesuai dengan
landasan Al-Qur’an dan Hadist.
- Pembagian Wilayah
Dalam hal pembagian wilayah, pada
masa pemerintahan yang di pimpin oleh Muawiyah terjadi perubahan yang besar.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, terdapat lapan provinsi. Maka pada masa
pemerintahan yang di pimping Muawiyah menjadi sepuluh provinsi, seperti a.
Syiria dan Palisrtina, b, Kuffah dan Irak, c. Basrah, Persia, Sijistan,
Khurasan, Bahrain, Oman, Najd, Yamamah, d. Armenia, e. Hijaz, f. Karman dan
India, g. Egypt h. Afrikiyyah (Afrika utara), i. Yaman dan Arab Selatan, j.
Andalus. Disini Cuma Mesir saja yang tidak terjadi perubahan, selibihnya
terdapat perubahan wilayah.
Setiap provinsi tetap dikepalai oleh
Gubernur yang bertanggung jawab langsung terhadap Khalifah. Gubernur berhak
menunjukkan wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan
dengan ‘Amil. Belanja daerah tiap-tiao
provinsi didapatkan dari sumber yang ada di daerah itu sendiri. Sisa dari
keuangan di daerah dikirimkan ke ibu kota untuk mengisi kas atau Bait Al-Mal
Negara.
- Bidang Administrasi Pemerintah
Pada
masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang dipimping oleh Muawiyah dibentuk
beberapa Dewan (depertemen) yang terdiri dari:
a.
Dewan Al- Rasail
Diistilah kan dengan Sekrataris Jenderal,
berfungsi mengurus surat-surat Negara yang ditujukan kepada para Gubernur atau
menerima surat-surat dari mereka. Dewan Al-Rasail terbagi kepada dua yaitu
1). Sekratariat Negara (di pusat) yang menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
2). Sekratariat Provinsi yang
menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan persi sebagai bahasa pengantar. Setelah
bahasa arab dijadikan bahasa resmi seluruh Negara Islam, bahasaYunani dan persi
yang terdapat di provinsi berubah kedalam bahasa arab.
b. Dewan Al-Kharraj
Dewan ini beroperasi disektor pengambilan
pajak dan keuangan. Yang dibentuk pada setiap provinsi yang dikepalai Shahib
Al-Kharaj yang diangkat oleh Khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.
c.
Dewa Al-Barid
Disebut juga dengan Badan Intelejen Negara
yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah
pusat. Kepala dewan ini memberikan emformasi tentang tingkah laku para gubernur
di daerah atau hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kebijaksanaan
pemerintah. Pada masa pemerintahan Abdul Maalik, berkembang menjadi Depertemen
Pos khusus urusan pemerintah. Dengan demikian kerjanya semakin luas,
d. Dewan
Al-Khatan
dewan Al-Khartan ( Depertemen Pencatatan),
pertama didirikan oleh Muawiyah. Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh
Khalifah harus disalin dalam satu regester, kemudian yang asli harus disegel dan
dikirim ke alamat yang dituju
e. Al-Imaroh Alal
Buldan.
Muawiyah
membagi daerah Mamlakah Islamiyah kepada lima wilayah besar yaitu:
1). HIjaz,
Yaman dan Nejid (perdalaman daerah Jazirah Arabia)
2). Irak, Arab (negeri-negeri
Babilon Asyrura Lama)
3). Mesir dan Sudan
4). Armenia, Asia Kecil
5). Afrika Utara, Lybia,
Andalusia, Sicilia, dan Sidinia
f. Politik Arabisasi
Pada
masa pemerintahan Bani Umayya ( sejak khalifah Abd Malik bin Marwan) berkembang
istilah arabisasi usaha-usaha penggaraban oleh Bani Umayyah diwilayah-wilayah
yang dikuasai Islam. Termasuk disini pengangkatan pengajaran bahasa arab,
penerjemahan buku-pbuku asin kedalam bahasa arab[6].
g. Shurthah (Kepolisian)
Pada
mulanya organisasi Kepolisian menjadi bagian dari organisasi Kehakiman yang
bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan Kepalanya
sebagai Kepala al- Hudud. Tidak lama kemudian, maka organisasi Kopolisian
terpisah dari kehakiman, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal
kerajaan.
D. Organisasi Negara dan Susunan
Pemerintahan
1. Kebijakan Militer Daulah Bani Umayyah
Organisasi meliter pada masa
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan, tidak jauh berbede dengan apa yang telah
dibuat oleh Khalifah Umar Ibn Khatab. Hanya lebih disempurnakan, perbedaan
terletak pada, kalau masa Umar, tentara Islam adalah tentara sukarela,
sedangkan pada masa pemerintahan yang dipimping oleh Muwawiyah yang menjadi
tentara adalah orang-orang yang dipaksa atau setegah paksa. Untuk menjalankan
kewajiban ini dikeluarkan Undang-undang wajib militer yang dinamakan “Nidhamul Tajnidi Ijbari”. Politik
ketenteraan muawiyah ini yaitu politik Arab. Dimana tentaranya harus berasal dari
orang-orang Arab atau unsur Arab. Keadaan ini terus berjalan sampai wilayahnya
menjadi luas meliputi Amerika Utara dan Andalusia. Karena luasnya wilayah, maka
mereka meminta bantuan bangsa Barbar untuk menjadi tentara.[7]
a. Perluasan ke Asia Kecil
Setelah
Muawiyah berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan didalam Negeri,
mulailah dia mengarahkan perhatiannya untuk mengembangkan wilayah Islam ke
imperium Bazentium. Untuk itu dia mempersiapkan armada laut yang terdiri dari
1700 kapal, lengkap dengan perlengkapan
dan pembekalannya. Lalu dia menyerang pulau-pulau dilaut tengah, sehinga
berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Setelah
berhasil menguasai pulau-pulau tersebut, Muawiyah mulai pula mengerahkan
anggatan lautnya yang lebih besar untuk menggepung kota Konstatinopel dibawah
pimpinan Yazid bin Muawiyah yang didampingi Abu Ayub al-Anshari, Abdulah Ibn
Zuber, Abdullah Ibn Umar dan Ibnu Abass.
Pengepungan kota Konstatinopel berlangsung selama 7 tahun (54-61 H). penyeragan
pertama ini gagal karena Leon Mur’asy berkhianat, berbalik menyerang kaum
Muslimin, setelah mendapat bantuan kaum Muslimin untuk menyerang Bazintium.
2. Perluasan ke Timur
Ke arah
timur, Muawiyaah dapat menaklukkan daerah Kkurasan sampai ke sungai Oxus dan
dari Afganistan sampai ke Kabul (674 M). ekspansi ketimur ini diteruskan pada
zaman Abd al-Malik dibawah pimpinan al-Hajaj Ibn Yusuf. Tentara yang dikirimnya
menyeberagi sunag Oxus, kemudian dapat menundukkan daera Balkh, Bukhara,
Khawariz, Firghana dan Samarkand. Selanjutnya pasukan muslim juga sampai di
India dan serta dapat menguasai Bulukhistan, Sind, daerah Punjab sampai ke
Multan (713 M)
3. Perluasan ke Afrika Utara
Tugas
ini dipercaya kepada Uqbah Ibn Nafi’ al-fahri. Dia berusaha menarik bangsa
barbar untuk masuk Islam. Karena kemahiran dan kebaraniannya, Uqbah dapat
mengalahkan armada Bazantium di daerah pantai, demikian pula bangsa Barbar
diperdalaman. Dengan demikian daerah Tripoli dan Fazzan daapat dikuasai. Selanjutnya
dia terus ke Selatan sampai ke Sudan, setelah itu ke Mesir. Kemudian disebuah
lembah yang terletak jauh dari pantai, dia membangun kota Qairawan pada tahun
50 H/670 M. didalam kota ini di bangung Mesjid, asrama-asrama meliter,
gedung-gedung pemerintahan serta perumahan perwira dan keluarganya. Pada masa
pemerintahan Abdul Malik (685-750 M) dia mengirim Hasan Ibn Nu’man al-Ghasani, sehingga
pasukan ini berhasil mengalahkan pasukan-pasukan Bezentium dari Afrika Utara
dan menumpas perlawanan bangsa Barbar.[8]
Dengan demikian, negeri-negeri dari Mesir sampai kepantai laut Atlantik menjadi
bagian kekuasaan Islam.
4. Perluasan ke
Barat
Perluasam ke Barat
terjadi pada masa Khalifah Al-Walid (705-715 M) pasukan muslim yang dipimpin
oleh Musa Ibn Nusyair dapat menaklukkan Jazair dan Maroko tahun 89 H. kemudian
mengangkat Thariq Bin Ziyat sebagai wali pemerintahan daerah tersebut pada
tahun 92 H/711 M. Thariq menyerang selat antara Meroko dengan bedua Erofa. Dia
mendarat di Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spayol di bawah pimpinan Raja
Rhoderic berhasil dikalahkan (95 H/714 M). Akhirnya Tolido ibu kota Spayol
dapat direbut pada tahun itu juga. Demikian kota-kota lain seperti Sevele,
Malaga, Elvira, dan Cordova. kemudian menjadi ibu kota propinsi wilayah islam
Spayaol.
Umar Ibn Abdul Aziz
(717-720 M) mengirim Abd Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi untuk menyerang kota
Bardean dan Politers. Namun usaha ini gagal karana Charles Martel. Dalam
pertempuran tersebut dia mati terbunuh (721 M)
Usa perluasan
wilayah ini menjadi Islam terbesar
ke penjuru dunia. Dalam masa inilah
benih-benih kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Islam berkembang di
Spayol lebih kurang 6 Abad. Orang-orang Erofa banayak menuntuk ilmu ke Spayol
sehingga Erofa bangkit menjadi Negara maju.[9]
E. Kedudukan
Amir al-Mukmin
Pada masa pemerintahan yang
dipimpin Muawiyah, Amir Mukmin hanya
bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal (politik), sedangkan urusan
keagamaan diurus oleh para ulama. Hal ini berbeda dengan Amirul Mukmin pada
masa khalifah Rashydin yang mana khalifah disamping kepala politik juga kepala
agama. Pada masa Muawiyah ini khalifah diangkat secara turun temurun dari
keluarga Umayah.[10]
F. Sistim
Sosial (Arab Malawi)
Masyarakat dunia Islam begitu
luas terdiri dari pelbagai kelompok etnis, Arab, Persia, Rusiah, Kopti, Barbar,
Vandal, Gothik, Turki dan lain-lain. Orang-orang Arab, meskipun merupakan unsur
monoritas di daerah-daerah yang ditaklukkan, tetapi mereka memengang peranan
penting dalam politik dan soaial. Orang Arab menganggap bahwa mereka lebih
mulia dari kaum muslimin bukan Arab sendiri. Kaum muslimin bukan Arab
(non-Arab) digelar dengan nama Al-Muali (asal mula Muwali), yaitu budak-budak
tawanan perang yang telah dimerdekakan. Kemudian disebutnya Muali semua orang
Islam yang bukan Arab.
Bahkan mereka menggelarkan “Mawali” dengan Al-Hamra (Si Merah). Orang-orang Arab memandang dirinya “Sayid”
(tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan tuan untuk
memerintah. Oleh karena itu, orang-orang Arab dalam zaman ini hanya bekerja
dalam bidang politik dan pemerintahan melulu, sedangkan bidang usaha-usaha lain
diserahkan kepada “Mawali” seperti
pertukangan dan kerajinan. Mawali ini membayar pajak jiwa (Jiziyah) sama dengan
orang non-Islam yangf tinggal diwilayah Islam.
Akibat dari politik kasta yang
dijalankan Dinasti Umayah ini, maka banyaklah kaum Muwali yang bersikap
membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
Akhirnya kaum Mawali menjadi berani untuk menentang kesombongan Arab dengan
kesombongan pula, dengan dalil Al-Qur’an dan Hadist, bahwa tidak ada kelebihan
orang arab atas orang ajam (Mawali) kecuali denga bertaqwa. Di kalangan kaum
Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan Asy-Syu’ubiyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat
kaum Muslimin yang sebetulnya mereka adalah bersaudara.[11]
G. Sistim Fiskal (Keuangan ).
Ada beberapa tambahan sumber
uang pada zaman Dinasti Umayyah, seperti al-Dharaaib, kewjiban yang harus
dibayar oleh warga Negara. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang baru
dilakukan, terutama yang baru masuk Islam ditetapkan pajak-pajaak istimewa.
Saluran uang keluar, pada masa Daulah Bani Umayah pada umumnya sperti permulaan
Islam. Yaitu untuk.
1.
Gaji para pegawai dan tentara,
serta biaya tata usaha Negara.
2.
Pembangunan pertanian, termasuk
eregasi dan penggalian terusan-terusan.
3.
Ongkos bagi orang-orang tawanan
perang.
4.
Perlengkapan perang
5.
Hadiah-hadiah kepada para pujangga
Pada masa Umayah, Khalifah Abdull Malik mencetak mata
uang kaum muslimi secara teratur. Pembayaran diatur dengan menggunakan mata
uang ini, walaupun pada masa Khalifah Umar Bin Khatab sudah dicetak mata uang,
namun belum begitu teratur.[12]
H. Sistim Peradilan
Pada masa dinasti Bani Umayah
ini pengadilan dipisahkan dengan kekuasan politi. Kehakiman pada masa ini
mempunyai dua cirri kahasnya, yaitu:
1.
Bahwa seorang Qadhi (Hakim)
memutuskan perkara denga ijtihadnya, karena pada masa itu belum ada “Mazhab Yang Empat” ataupun
mazhab-mazhab lainnya. Pada masa ini para Qadhi menggali hukum sendiri dari
Al-Qur’an dan Sunnah dengan berijtihad.
2.
Kehakiman belum terpengaruh dengan
politik. Karena para Qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh pada
kehendak orang besar yang berkuasa. Mereka bebas bertindak, dan keputusan
mereka berlaku atas penguasa dan petugas pajak.[13]
I. Pembanguna, Peradaban, Pengembangan Intlektual, Bahasa dan Sastra Arab.
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan
peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abas merupakan puncak dari peradaban
Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang
lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis
sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan
hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini munjul ahli-ahli
hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan
Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih
menyusun al-Kitab untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti
bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar Jazirah
Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi kahalifah Abdul Malik
mengerakkan politik Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah
Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya bangsa Grek
(Ynani) yang mengandung bermacam-macam
ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu
kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliya pada maasa ini
baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa
khalifah Abdul Malik.[14]
J. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan)
Interregnum
(masa peralihan pemerintahan) terjadi pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Masa
peralihan yang kejam, menekan rakyat dan sebagainya kepada masa yang damai,
lemah lembut dan makmur.
Pada
masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) terjadi perubahan kebijaksanaan yang telah
mapan mengenai kekhalifahan, dan berusaha menyerahkan mekanismenegara adikuasa
pada seorang Muslim, tidak diatas basis Arab. Ia menerapkan prinsip persamaan
terhadap seluruh Muslim, baik Arab maupun non Arab dan memperkenalkan
hukum-hukum barumengenai persamaan, pemberian tunjangan keuangan kepada kaum
muslimin tampa memperhatikan asal usul mereka. Hal ini jauh berubah dari
kebijaksanaan sebelumnya yang lebih mengutamakan orang Arab. Orang-orang muslim
non-Arab dibebasakan dari pajak jiwa yang selama ini mereka bayar. Dengan
demikian bertambah banyak orang masuk Islam.[15]
Umara mengadakan dialog dengan orang Syi’ah
dan kaum Khawarij, sehingga mereka merasa puas dan tidak mengganggu
Dinasti Bani Umayyah. Ia juga memecat pejabat dan juga Gubernur yang kejam,
menindas rakyat dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Dengan dimikian
dimasa ini dikenal dengan masa peralihan.
PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750 -847 M)
A. PENDAHULUAN
Setelah
Nabi Muhammad meninggal kepemimpinan beralih kepada sahabat. Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali adalah sahabat terdekat beliau yang pernah memimpin kaum muslim.
Di masa kepemimpinan Usman timbul berbagai persoalan politik di kalangan kaum
muslim, hingga membawa Syahidnya beliau. Kisruh di dalam masyarakat muslim
berlanjut hingga di masa pemerintahan Ali. Pembunuhan Usman menimbulkan pertentangan antara pihak Ali
dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Sebagai gubernur Syam dan kerabat terdekat Usman,
Muawiyah berupaya memplotisir peristiwa pembunuhan Usman. Melalui ini dia
berupaya merebut kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Hingga menimbulkan
pertumpahan darah yang sangat besar di antara umat Islam seperti peristiwa
Perang Shiffin.
Dengan
permainan politik yang licik, Muawiyah berhasil menyingkirkan Ali Bin Abi
Thalib sebagai khalifah. Kejadian ini memicu perpecahan dalam pengikut Ali
antara mendukung dan tidak mendukung kebijakan Ali Bin Abi Thalib yang mau berunding dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perpecahan dalam
pengikut Ali semakin melapangkan jalan Muawiyah menduduki khalifah, memimpin
kaum muslimin.
Muawiyah
Bin Abi Sufyan adalah pemimpin yang handal, cakap dalam Administrasi dan ahli
strategi. Dimasa pemerintahannya dia berhasil memadamkan ketidak senangan
tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan dirinya. Meskipun demikian diakhir
pemerintahannya Muawiyah menyalahi janji yang sudah dibuatnya dengan Hasan Bin Ali
Bin Thalib, bahwa kelak jika dia tidak memangku jabatan khalifah, maka urusan
kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin
baru. Muawiyah diusianya yang uzur tersebut menunjuk anaknya Yazid sebagai
putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan
ini menandai mulainya dinasti Umayyah berkuasa, yang terambil dari nama kakek
mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung
sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H / 661 M.
Penunjukkan Yazid
menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid
bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat
dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi
Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati
keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan di kalangan
muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua
pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa Bani Umayyah
Perlawanan tiada henti
terus dilakukan oleh pendukung Ali Bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik
Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas
pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh lini aspek kehidupan
kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh
penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa
pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum
muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar –mimbar dilarang. Perubahan politik
ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah
satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul
Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah
tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perobahan politik dan
perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar Bin Abdul Azis,
kekuasaan Bani Umayyah di damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti
Umar Bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani
Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan Abdullah As Saffah dengan strategi ingin
mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasanan kekhalifahan, Abbas berhasil
menarik dukungan kaum Syiah untuk mengorbankan perlawanan terhadap kekuasaan
Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah
Marwan II Bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus.
Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri
sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era
bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah
ini penulis membahas lebih lanjut kiprah
dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam
peradaban Islam.
B. Sejarah berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.
1.
Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah
Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan.
Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti
ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M. Bani Umayyah digulingkan
oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini
berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr
bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena
landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1] Meskipun demikian menurut
penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan
kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani
Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas
as-Saffah.[2] Adapun sebab dia yang disepakati pendiri
dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia
sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan
daulah Bani Umayyah. Jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor
tegaknya Daulah Bani Abbasiyah. Seperti Imam Ibrahim yang berkeinginan
mendirikan kekuasaan Bani Abbasiyah. Ia menyusun
ke kuatan di Humaymah sebagai pusat
perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan
di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya
Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk
pindah
ke kufah.[3] DI bawah panglima perangnya yang bernama Abu
Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi
kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak
tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah
pertamanya Abu Abbas as-Asaffah.[4]
Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya
singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur.
Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi
pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[5] Abdullah bin Ali, salih
bin Ali dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak
dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang
berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan
rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas
rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan
harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan
Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang
berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima
perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip
oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas
dasar-dasar antara lain:
1.
Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul
dari dinasti sebelumnya
2.
Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3.
Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak
diangkat atas dasar keningratan.
4.
Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5.
Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah
dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6.
Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di
tangan mereka.[6]
C. Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Di antara situasi situasi yang
mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya
adalah:
1. Timbullnya
pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bi Abi Thalib;
2. Munculnya
golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah,
kebijakan-kebijakan yang kurang adil;
3. Timbulnya
politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4. Adanya dasar
penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Quran dan oleh
golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab;
5. Adanya konsep
hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak
bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya
golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[7]
6. Bertambah
gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein
bin Ali dalam pertemburan Karbala.[8]
D. Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/
750-847 M
Bani
Abbasiyah sebagai penguasa baru sesudah Bani Umayyah, penguasa dan bangsawannya
cendrung hidup mewah. Namun tidak sangkal sebagian khalifah memiliki selera
seni yang tinggi serta taat beragama.[9] Tidak berlebihan kalau
dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan
pemerintahan. sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk.[10] Adapun khalifah Bani
Abbasiyah pada periode pertama adalah:
1. Abu Abbas as-Saffah
( 132-137 H/ 750- 754 M
2. Abu Ja’far
al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M
3. Al-Mahdi 159-169 H/ 775-785 M
4. Al-Hadi 169-170 H/ 785-786
M
5. Harun ar –Rasyid 170-194 H/ 786-809 M
6. Al-Amin 194-198 H/ 809-813
M
7. Al-Ma’mun 198-218 H/ 813-833 M
8. Al-Mu’tasim 218-228 H/ 833-842 M
9. Al-Wasiq 228-232 H/ 842-847 M[11]
E. Kebijakan-kebijakan Daulah Bani Abbasiyah periode
pertama 132 -232 H/ 750- 847 M
a. Bidang politik
dan pemerintahan
Pada masa awal tegaknya pemerintahan
Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan
pemerintahan:
1. Mengejar dan
membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah.
Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua
kelurga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya
sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris
tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun,
berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.[12]
2. Menyingkirkan
tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin
Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan
kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan dapat merongrong wibawa khalifah.
3. Membasmi
pemberontakan.
Pada masa Al-Mahdi terjadi
pemberontakan di Syria
tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul
pula pemberontakan yang dipimpin oleh al- Yasykuri yang berusaha merusak
beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinya terbunuh.
Timbul juga pemberontakan Bani Tamim.[13] Semua pemberontakan
tersebut dapat dipadamkan oleh khalifah Bani Abbasiyah. Hal ini dapat
dimengerti kekuasaan Bani Abbasiyah sudah mulai kuat sejak dipimpin oleh Abu
Ja’far al-Mansur.
4. Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad.
Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga adalah untuk menghilangkan pengaruh
Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide
–ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.
5. Menghapus
politik kasta.[14]
Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang
Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada
Bani Abbasiyah.
6. Merangkul
orang-orang Persia,
ini dalam rangka politik memperkuat diri.[15] Hal ini tindak lanjut
dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat.
Selain kebijakan-kebijakan di atas,
langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:
1. Para khalifah
tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai
lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali (orang di luar Arab)
2. Kota Bagdad
ditetapkan sebagai ibu kota
Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
3. Kebebasan
berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.[16]
4. Memperluas
wilayah
Pada periode awal pemerintahan
Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Dalam upaya
melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia,
seperti kota
Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala
tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan
berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di
bagian lain Oskus, serta India.[17]
b. Bidang Ekonomi
dan perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi.
Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, bendungan-bendungan
dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak
terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak,
emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga
banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting.[18] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi
perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani
Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik
kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak,
emas, tembaga, besi dan sebagainya.[19]
Devisa Negara penuh berlimpah-limpah.
Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu
meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota
politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat
itu. Sedangkan kota
Damaskus merupakan kota
ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal
dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional
ini semenjak khalifah al-Mansur.[20] Pada masa Khalifah Harun
ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara
sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil
bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran
uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan
sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai
Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter
dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[21] Selain itu juga
dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi,
pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para
ulama dan satrawan.
c. Bidang sosial
Bani Abbasiyah mempelopori
penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah
akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani
Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk duduk dalam
pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah
ini dikenal dengan periode
pengaruh Persia
pertama.[22]
Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada
Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan
wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada
masa itu.[23]
d. Bidang
pendidikan / Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang
pada masa Bani Abbas. Ada
dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu
Naqliah dan ilmu aqliyah.[24] Di antara ilmu-ilmu
naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:
1. Ilmu Tafsir
Pada masa ini muncul dua aliran dalam
ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil
Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi.
Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits
dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih
banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada
masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari( w.3120 H)[25]. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak lepas dari ke dua
aliran ini.
2. Ilmu Hadits
Pada masa ini muncul ulama-ulama
hadits yang belum ada tandingannya
sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256).
Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[26]
3. Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris
yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam
Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu
Hambal ( 780-855).[27]
4. Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini
terjadi pembauran umat muslim Arab
dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah
Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar
dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari
golongan Mu’tazilah, yang lebih
meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail
(135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H).[28]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat
pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi
pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi
dengan lembaga untuk penerjemahan.[29] Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat
kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang
besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan
kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre
of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had.
Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
1. Maktab /kutab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama;
2. Tingkat
pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[30]
Dengan dua model dua di atas system
pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di
kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut
sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab
yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat
kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah
direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Astronomi, ilmu
ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk
mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam
lainnya, seperti Ali Ibnu Isa AL- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al-
Khayyam dan al- Tusi[31]
2. Kedokteran, pada
masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada
tahun 850 ia mengarang buku Fidaus
al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[32]
3. Ilmu kimia.
Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[33]
4. Sejarah dan
geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin
al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli
ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
5. Filsafat
Khalifah Harun al-Rasyid dan
al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan
filsafat, terutama filsafat Aristoteles
dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya
adalah Al-Kindi (796 -873 M.
e. Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini
terlihat para khalifahnya condong pada paham mU’tazilah. Sehingga pada masa
Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[34]
f.
Kesenian
Di antara khalifah Bani Abbasiyah
yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di
antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya
seorang ahli hikmah.[35]
Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah
juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai
khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta
stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara
menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana
al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam
al-Quran surat
al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127,
yakni Darussalam.[36]
Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah
sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman,
hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini
kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat system meliternya.
F.
Faktor – faktor kemunduran Bani Abbasiyah
Kemunduran Bani Abbasiyah dapat dilihat dari
berbagai factor, yaitu:
a. Faktor politik
1. Ketidak mampuan
khalifah dalam mengendalikan khilafah
Khalifah tidak mampu mengontrol para
wazir, dan justru Khalifah menjadi boneka Wazir-wazir yang berkuasa.
2. Wilayah yang
luas dan tidak adanya sikap saling percaya.
3. Penyisihan kaum
siah dari jabatan pemerintah
4. Tidak adanya
system peralihan yang tegas tentang pewarisan kekuasaan.[37]
b.Faktor militer
Hidup dalam keadaan ekonomi yang
makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup
bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat tergantung kepada tentara Turki.
Organisasi tentara yang bersandar pada kesukuan tersebut, tidak dapat
diandalkan untuk menjaga wilayah yang lua tersebut.Terabainya membangun
kesatuan militer yang regular membuat Bani Abbasiyah keropos dari pertahanan.
c. Faktor ekonomi
Para Khalifah dan penjabat pemerintah
telah terbiasa hidup dengan kemewah. Kebutuhan terus meningkat[38]. Ongkos dari kemewahan
penguasa Bani Abbas dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak yang
tinggi. Ketika kas negara kosong, maka membuat pondasi negara lemah.
Gejolak-gejolak terjadi ditengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi
tersebut.
G. Kejatuhan
Bani Abbasiyah
Adapun yang menyebabkan jatuhnya
dinasti Bani Abbasiyah secara langsung adalah akibat serbuan tentara Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Penyerbuan itu terjadi pada tanggal 17 Januari
1258 M. Khalifah Musta’sim tewas pada penyerbuan ini[39]. Kebesaran Bani Abbasiyah
selama ini hilang bersamaan dengan aksi bumi hangus tentara Mongol Hulagu Khan.
DINASTI FATIMIYAH DI MESIR (909-1172 M)
1. PENDAHULUAN
Loyalitas terhadap Ali bin
Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan
konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke-
VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan
kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu
berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya
berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah
ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang
memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari
golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang
lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup
antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah
sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa
merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan
penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·
Awal Pembentukan dan
Perkembangan Dinasti Fatimiyah
·
Khalifah Daulah Fatimiyah
·
Masa Kemajuan dan Kontribusi
Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
·
Masa Kemunduran dan
Kehancuran Dinasti Fatimiyah
.
2. PEMBAHASAN
A. Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman
Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah
meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih
pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk
secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat
bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah
menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka,
terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk
kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai
imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
Sekte
Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah
Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan
politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini
pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan
dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka
secara rahasia menyusup utusan-utusan
keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan
Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama
bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
Pada tahun 874 M muncullah seorang
pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian
menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi
ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan
dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang
Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah
mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat
(Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi
pemimpin pergerakan[3].
Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya.
Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah
al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika
dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di
Raqpodah daerah al-Qayrawan.
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah
Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia,
Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia
mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada
tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim
dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan
Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan
ke Mesir tetapi tidak berhasil karena
sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim
meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas
pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah
sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah
sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama
pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu
Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk
ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara.
Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam
pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia
Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak
berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk
propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar
menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa menguasai
negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi
rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan
pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah
Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap.
Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama
al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun
973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat
pemerintahan.[5]
B. Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada
empat belas orang
1.
Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan
umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali
ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai
seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir
sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir
dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan
Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan
Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362
H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota
yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz.
Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah
Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah
mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai
akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan
perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku
dengan berbagai ilmu.
C. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah
Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat
besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan.
Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana
diantaranya sebagai berkut:
a.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah,
kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi
memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun
temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di
teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak
laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting
yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau
wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah,
mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam
sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga
daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir
ini dibentuk pada masa Aziz billah pada
bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga
membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis ,
dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan
tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu
bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam
pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual.
Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan
Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer
diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua
permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil
diantaranya:
a.
Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur
percetakan uang
b.
Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.
Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan
pengawasan timbangan
d.
Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.
Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.
Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja
dibutuhkan.
Selain dari penjabat di
istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola
bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga
kelompok:
1.
Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan
pengawal Khalifah
2.
Para Obsir Jaga
3.
Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan
Sudaniyah.
b.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat
yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung
membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan
pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah
ini adalah:
1.
Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat
yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis
beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah
yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh,
filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.
Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis
kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku
tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul
Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.
Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang
penulis yang paling banyak tulisannya
4.
Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.
Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.[12]
c.
Pendidikan dan
Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah
adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan
seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga
seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah
Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz
yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah
adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul
Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis
yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini
kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan
kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah,
terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad.
Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000
buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an ini
merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.
Ekonomi dan
Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural
yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia
non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri
mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan
berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari
1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah
sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo
baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap
tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan
dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa
kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada
masa Fatimiyah di Mesir.
Disegi pertanian Dinasti
Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa
ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor
1.
Daerah pinggiran-pinggiran
sungai Nil
2.
Tempat-tempat yang telah
ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi
kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai
penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk
diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka,
namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran
Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal
tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi
air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua
musim :
1.
Musim dingin, (bulan
Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada
musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.
Musim panas, (bulan april
sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi
sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam
padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka
melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa,
dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota
Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari
dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah
memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu
sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan
yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun
agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman
Agama
Sesuai
dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari
sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin
mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan
berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti
oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini
dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya
dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan
Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun.
Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan
dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa
gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci
umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh
sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah
satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi
memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan
dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya,
bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun
381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari
tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan
menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada
akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama
sepuluh tahun.
Al-Hakim kemudian memilih mengikuti
perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai
penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh
di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan
yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak
hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri.
Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir
situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di
dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar
namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar.
Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel.
Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali
gereja yang di dalamnya terdapat kuburan
suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian
digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu
al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah
menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja,
sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena
itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di
wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang
datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada
waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan
dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu
lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari
bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak.
Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia
selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah
Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang
daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika.
Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini
terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara
orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan
kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian
Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr
al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi
(komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang
ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan
penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti
ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah
ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang
didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat,
terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara
dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan
al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh.
Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal
mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya.
Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li
wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi
khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia
meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak
dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih
sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah
az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki,
penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir
di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian
berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan
az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak
az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini
meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru
berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk
kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga
untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik
mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah
melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara
salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap.
Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa
ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya
Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk
menyelenggarakan khutbah dengan menyebut
nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah
untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SYAFAWI DI PERSIA
A.
PENDAHULUAN
Jika
disinggung tentang kemajuan Islam barang kali kita sepakat bahwa Syafawi merupakan salah satu kerajaan yang mewarnai
gemilangnya Islam di masa lampau, kedigjayaan Syafawi tidak diragukan, menghasilkan banyak
kontribusi dalam berbagai aspek, namun jika diajak untuk sepakat mengatakan
sepemikiran terhadap mazhab yang dianut oleh orang-orang Syafawi waktu itu, maka banyaklah yang mengatakan kami
bukan orang syi’ah. Untung saja pembahasan kali ini mengajak kita menyingkap
yang tersirat baik dari ketidaktahuan atau keterlupaan kita terhadap sejarah
kerajaan Syafawi, sehingga Pemahaman agama hanyalah sebahagian dari hal-hal
yang akan diungkapkan.
Dalam kurun waktu 1500-1800 M, hampir secara
bersamaan muncullah tiga kerajaan besar di tiga wilayah Islam yang berbeda
sebagai kelanjutan dari rantai peradaban Islam yang sebelumnya telah dijalin
oleh Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Ketiga kerajaan
besar tersebut adalah Kerajaan Usmani di
Turki, Kerajaan Shafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan
Syafawi di Persia hingga saat ini
memiliki bentuk peninggalan yang unik dan variatif. Mulai dari pergantian
kekuasaan dari satu pimpinan ke pemimpin yang lain dengan pola strategi
pemerintahan politik yang berbeda hingga perubahan sistem pemerintahan Monarkhi
menjadi Republik (Republik Iran).
Terdapat perbedaan
pendapat mengenai asal usul kata Shafawi. Menurut Sayid Amir Ali, kata Shafawi
berasal dari kata Shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi, Sayid
Amir Ali mengatakan bahwa para Musafir, Pedagang dan Penulis Eropa selalu
menyebut raja-raja Shafawi dengan gelar Shafi Agung. Sedangkan menurut P. M.
Holt, kata Shafi bukanlah gelar dari pemimpin seperti yang disebut, akan tetapi
kata Shafi merupakan bagian dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri (1252
– 1334 M / 650 - 735 H)[1] ,
pendiri dan pemimpin Tarekat Shafawiyah. Satu kesimpulan yang penulis tarik adalah bahwa nama Shafawi
dinisbatkan kepada Shafi al-Din Ishak al-Ardabily[2]. Terlepas dari perbedaan
pendapat di atas, Syafawi dalam berbagai aspek akan dibahas, semoga ketidaktahuan
kita terhadap bagian Peradaban Dinasti Syafawi akan terjawab di sini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Latar Belakang
Berawal dari masuknya Islam ke
Persia pada zaman Abu bakar yang berhasil menaklukkan Qadisiah, ibu kota
dinasti Sasan (637 M), bagian kecil dari Sasaniah yaitu Baduspaniah bertahan
hingga abad 16 Masehi. Di samping itu sebelum Syafawi , di Persia terdapat
kerajaan lokal (distrik) yang berada di bawah dinasti-dinasti yang lebih besar,
hingga menjadi kekuasaan yang lebih besar seperti dinasti Saljuk, Tabaristan, Rawadiah,
Thahiriyah, Safariyah, dan Buwaihi. Di masa Timur Lenk wilayah tersebut bernama
dinasti Timuriah (1370-1506) sepeninggalannya (1405) Timuriah pecah menjadi dua
, dipimpin oleh Ulugh Bek (1404-1449 M) dan Sultan Husen. Dinasti ini tidak
stabil karena Mongol dan Turki campur tangan, oleh karena itu, kelompok yang
tidak puas mencoba melakukan gerakan-gerakan. Salah satunya adalah gerakan
tarekat Syafawi yang dipimpin oleh
Syaikh Syafi’ al Din (1252-1334 M)[3].
Pada awalnya gerakan tarekat safawi
ini adalah bertujuan untuk memerangi orang-orang yang ingkar. Kemudian
memerangi golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid’ah. Suatu ajaran yang
dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan
para penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu lama-kelamaan murid-murid
tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang terorganisir[4],
fanatik dalam kepercayaan dan menantang setiap orang yang bermazhab berbeda
atau selain mereka[5].
Kecenderungan memasuki dunia politik
itu dapat terwujud pada masa kepemimpinan Juned (1447M-1460M). Safawi memperluas
gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.
Perluasan wilayah ini menimbulkan konflik dengan Karo Koyunlu dan Juned kalah,
akhirnya dia diasingkan ke suatu tempat. Ditempat itu dia mendapatkan
perlindungan dan bantuan dari para penguasa Diyar Bakr, Ak-Koyulu. Selama dalam
pengasingan, Juned menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik
dengan Uzun Hasan. Juned juga berhasil
mempersunting sepupu Uzun Hasan dan
memiliki Putra bernama Haidar. Kemudian Juned terbunuh pada saat mencoba
merebut Sisilia[6].
Haidar menggantikan ayahnya dalam memimpin
Syafawi sebagai sebuah kekuatan politik dan militer. Dalam melanjutkan hubungan
dengan Uzun Hasan tidak cukup sampai pernikahan ayahnya dengan Adik Uzun Hasan
saja, bahkan Haidar menikahi salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini
melahirkan tiga orang putra Ali, Ibrahim
dan Ismail[7].
Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476
terhadap Kara Koyunlu memandang gerakan Syafawi yang dipimpin Haidar sebagai rival politik bagi
AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya[8].
Karena itu ketika Syafawi menyerang
wilayah Sircassia dan Sirwan, AK Koyunlu malah mengirimkan bantuan militer
untuk membantu Sirwan sehingga pasukan Syafawi kalah dan Haedar terbunuh. Inilah mulanya
perpecahan antara dua sekutu Syafawi dan Ak Koyunlu.
Ali, putra Haidar dintuntut
pasukannya untuk menuntut balas atas kematian Haidar. Tetapi Ya’kub, pemimpin Ak
Koyunlu berhasil menangkap Ali bersama saudaranya Ibrahim dan Ismail serta
ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493). Mereka dibebaskan oleh
Rustam, putra mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantu membebaskan sepupunya.
Ali kembali ke Ardabil setelah saudara sepupu Rustam dikalahkan. Namun
selanjutnya Rustam berbalik memusuhi Ali bersaudara yang menyebabkan kematian
Ali (1494)[9]
dan digantikan oleh adiknya Ismail, Ismail naik menggantikannya meski baru
tujuh tahun. Ia menyiapkan pasukannya yang dinamai Qizilbas h (Baret Merah)
yang dibentuk oleh ayahnya Haidar.
Di bawah pimpinan Ismail pada tahun
1501 M berhasil mengalahkan Ak-Konyulu di Sharur dan berhasil merebut ibu
kotanya yaitu Tabriz dan di tempat itu dia memproklamirkan dirinya sebagai raja
pertama dinasti Safawi (disebut Ismail I). Ismail I berkuasa selama 23 tahun.
Dalam waktu 10 tahun Ismail sudah mampu memperluas kekuasannya hingga seluruh
Persia[10].
Ismail digantikan oleh anaknya
Tahmasp I [11],
Tahmasp merupakan pengganti Ismail yang memang sudah dipersiapkan dan
diunggulkan dari saudara-saudaranya, karena beliau adalah putra tertua[12] bahkan
beliau naik tahta pada hari yang sama saat ayahnya Isma’il I mangkat, padahal
saat itu Tahmasp masih berumur sepuluh
tahun[13].
Tahmasp memerintah selama 52 tahun, menjelang wafatnya Tahmasp mengalami sakit
keras, pada masa ini pasukan Qizilbas h terpecah menjadi dua kubu, satu
diantaranya kelompok yang memihak Ismail Mirza dan lainnya memihak kepada
Haidar Mirza. Dalam hal ini Tahmasp memilih Haidar Mirza putra ke tiganya sebaga
calon penggantinya. Namun Ismail melakukan penolakan dan perlawanan pada saat penobatan
Haidar menjadi khalifah(Syah)
hingga akhirnya Haidar terbunuh, dan Isma’il naik Tahta dengan gelar Isma’il II[14].
Setelah setahun menjabat , Isma’il
wafat dan digantikan oleh Muhammad Khudabanda Putra pertama Tahmasp I atas
penunjukan para pejabat Negara[15]. Khudabanda
menjabat lebih kurang sepuluh tahun lamanya, kemudian digantikan oleh Syah
Abbas I. Syah Abbas I memerintah selama kurang lebih 41 tahun, selama
pemerintahannya, Syafawi berada pada
tatanan yang penuh dengan kemajuan, perbaikan urusan administrasi, diplomasi luar
negeri dan lain-lain
Sebelum
Abbas I, Persaingan antara Syafawi dengan Turki Usmani selalu terjadi, ditandai
dengan perang yang berkepanjangan, peperangan dimulai sejak kepemimpinan Ismail
I (1501-1524 M), lalu Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il (1576-1577 M) dan
Muhammad Khudabanda (1577-1587) Akhirnya, Abbas I (1588-1628 M) melakukan
perjanjian dengan Turki Usmani sehingga mengakhiri perang yang biasanya terjadi[16]. Secara umum di Zaman Syah Abas I
terjadi stabilitas Negara dan Perdamaian dengan Turki Usmani dan dinasti Moghul.
[
2.
Kemajuan di Bidang Politik dan Pemerintahan
Sebagaimana
lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan
bersenjata, pembenahan
administrasi Negara, penguatan system pertahanan ibukota dan hubungan diplomasi
dengan negara lain, serta menjaga agar tidak terjadinya perpecahan[17]. Inilah secara umum lima
hal yang dilakukan Syah Abbas I dalam menjamin kemajuan dinasti Syafawi . Syah Abbas I
juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan
bersenjata Dinasti Shafawi yang kuat, besar dan modern.
Tentara Qizilbas
yang pernah menjadi tulang punggung dinasti
Shafawi yang besar, seiring waktu tidak terlalu berpengaruh dalam bidang
pertahanan dan keamanan, melainkan hanya menjadi semacam tentara nonreguler
yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menopang citra politik syah yang besar.
Untuk itu dibangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini
direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan
Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmasab (1524-1576 M),
mereka diberi gelar “Ghulam”. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang
militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah Abbas
mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam itu sendiri.
Dalam membangun
Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, Yaitu Sir Anthony
Shearli dan saudaranya, Sir Robert Shearli. Mereka yang mengajari tentara
Shafawi untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara modern. Kedatangan
kedua orang Inggris tersebut oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai usaha
strategis Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat
itu. Namun kepercayaan diri Syah Abbas tetap ada, karena memiliki tentara (Ghulam) yang bisa
diandalkan.
Secara administrasi, struktur
organisasi pemerintahan Syafawi secara
horizontal didasarkan pada garis kesukuan/kedaerahan. Dan secara vertical
mencakup dua jenis, yaitu Istana dan Sekretariat Negara.
Dalam hal kesukuan, Qizilbasy (suku
Turki) merupakan bangsawan Militer, Qizilbasy mendapat posisi strategis hingga masa
Muhammad Khdabanda (berakhir pada 1587 M). Suku Tajik memegang posisi di
kementrian dan Sekretariat Negara (sebagai dewan Amir yang meliputi Amir,
wazir, sejarawan istana, sekretaris pribadi syah, dan kepala intelijen),
akuntan, pegawai administrasi, pengumpul pajak dan administrasi keuangan, dan
suku Persia menjabat sebagai Sadr (ketua Lembaga Agama)[18]
3.
Ekonomi dan Perdagangan
Dalam bidang ekonomi terjadi
perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan nama pelabuhan
“Gumrun” akhirnya diubah menjadi Bandar Abbas.
Sebagai pelabuhan utama wilayah ini
mampu menjamin kehidupan perekonomian Safawi. Hal ini dikarenakan bandar tersebut
merupakan salah satu jalur dagang yang strategis antara timur dan barat yang
biasanya menjadi daerah perebutan belanda Inggris dan Prancis.
Selain itu Safawi juga mengalami
kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan sabit subur (fortile
crescent). Dalam masa ini juga masyarakat sudah banyak malakukan budaya wakaf
bagi harta-hartanya kepada ummat[19].
4.
Sosial Kemasyarakatan
Pada zaman Khudabanda (1666 M),
Isfahan 162 Masjid, 48 perguruan, caravansaries, dan tempat pemandian umum yang
seluruh nyadibangun oleh Tahmasp I . Syah
Abbas sebagai pelanjut dari keduanya berhasil membuat Syafawi secara
keseluruhan menjadi negara yang hidup makmur, terhindar dari perang yang
biasanya terjadi. Sehingga di masa Abbas I dinyatakan sebagai puncak keemasan
kerajaan tersebut.
5.
Pendidikan dan Iptek
Salah satu keunggulan dinasti
Syafawi dibandingkan dengan Turki Usmani adalah dibidang Ilmu pengetahuan, Syafawi
lebih menonjol daripada Dinasti Turki
Usmani, khususnya ilmu filsafat yang berkembang amat pesat. Dalam bidang
pendidikan terutama untuk perkembangan mazhab Syi’ah didirikan sekolah teologi
serta pusat kajian Syi’ah di tiga kota, yaitu : Qum, Najaf, Masyhad[20]
Baha al Din al-‘Amili merupakan
tokoh yang dikenal sebagai generalis ilmu pengetahuan pada Zaman Itu. Selain
itu seorang ilmuan, Muhammad Bagir ibn Muhammad
Damad juga pernah melakukan penelitian tentang lebah.
6.
Kesenian
Di bidang kesenian juga sangat
terasa pada zaman ini, sebuah sekolah Seni lukis yang merupakan peninggalan
dari Timuriah Yang berada di Herat, dipindahkan
ke Tibriz pada tahun 1510 M oleh Ismail I. Di sekolah ini diterbitkan buku Syah Nameh (buku tentang raja-raja)
yang memuat lebih dari 250 lukisan[21].
Tahun 1522 Ismail mendatangkan Seorang pelukis yang bernama Bizhad ke Tibriz[22],
Para
penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Kemajuan di bidang ini juga bisa terlihat jelas dalam gaya
arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat di masjid Shah yang dibangun
tahun 1611 M, selain itu juga terlihat pula bentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar dan benda seni lainnya.
7.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam bidang filsafat, ditandai
dengan berkembangnya filsafat ketuhanan yang kemudian dikenal dengan filsafat Isyraqi
(pencerahan) tercatat seorang yang bernama Sadr al Din al-‘Syirazi (Mulla
Shadra) sebagai filosof, beliau wafat tahun 1641 M. selain Mulla Shadra juga
disebutkan nama Muhammad Bagir ibn Muhammad
Damad juga sebagai filosof, ahli sejarah dan teolog, beliau pernah
melakukan penelitian tentang lebah. Ia wafat pada tahun 1631 M.
8.
Pemahaman Agama
Ismai’l Khaidar (khalifah pertama) mengklaim dirinya
sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam
yang tersembunyi dan imam Mahdi[23].
Dinasti Syafawi bukanlah kerajaan yang serta merta
dibangun atas dasar kekuasaan, berawal dari sebuah pandangan agama dalam
bentuk tarekat di Ardabil(Azerbaijan). Tarekat Syafawi yah berdiri hampir
bersamaan dengan kerajaan Usmani[24].
Syafawi merupakan penganut faham Syi’ah, bahkan dari
awal berdirinya kerajaan ini Syi’ah dinyatakan sebagai mazhab resmi negara.
Bahkan di zaman Abbas II (Sulaiman) dan Husein terjadi penindasan, pemerasan
dan marjinalisasi terhadap ulama Sunni dan memaksa ajaran Syi’ah kepada mereka.
Namun demikian tidak berarti seluruh
Syah Syafawi beraliran demikian, dijelaskan oleh Muhammad Sahil Thaqqusy dalam
Sejarah Dinasti Syafawi di Iran dalam hal pandangan agama Ismail II merupakan
penganut aliran Sunni, meskipun tidak
diungkapkan secara terang-terangan, namun segala kegiatan dan tindakan kepemimpinannya
mengidentifikasikan bahwa beliau adalah penganut faham Sunni[25]. Namun tetap saja dikatakan Syiah telah melingkupi perjalanan dinasti Syafawi hingga terasa
pada sebagian besar Republik Iran sekarang.
9.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI SAFAWI
Dinasti Syafawi di Persia meraih
puncak keemasan di bawah pemerintahan Syah Abbas I selama periode 1588-1628 M.
Abbas I berhasil membangun kerajaan safawi sebagai kompetitor seimbang bagi
Kerajaan Turki Usmani.
Tanda-tanda kemunduran kerajaan
persia mulai muncul sepeninggalan Abbas I. Secara berturut-turut syah yang
menggantikan Abbas I adalah:
1. Safi
Mirza (1628-1642 M)
2. Abbas
II (1642-1667 M)
3.
Sulaiman (1667-1694 M0
4.
Husain (1694-1722 M)
5.
Tahmasp II (1722-1732 M)
6. Abbas
III (1733-1736 M).
Banyak faktor yang mewarnai
kemunduran kerajaan safawi, di antaranya dari perebutan kekuasaan di kalangan
keluarga kerajaan. Selain itu dikarenakan bahwa Syah-syah yang menggantikan
Abbas I sangat lemah dalam banyak hal terutama kepiawaian dalam memimpin dan
pendekatannya terhadap pejabat, aparat dan rakyat .
Safi Mirza, cucu Abbas I[26] merupakan
pemimpin yang lemah dan kelemahan ini dilengkapinya oleh kekejaman yang luar
biasa terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifatnya yang pecemburu. Pada
masa pemerintahan Mirza inilah kota Qandahar lepas dari penguasaan Safawi
karena direbut oleh kerajaan Mughal yang pada saat itu dipimpin oleh Syah
Jehan, dan Baghdad direbut oleh Kerajaan Usmani[27].
Abbas II disebutkan sebagai
seorang raja yang pemabuk, sehingga kebiasaan mabuk inilah yang menamatkan
riwayatnya. akan tetapi di tangannya kota Qandahar bisa direbut kembali.
Demikian halnya dengan Sulaiman, ia juga disebut sebagai seorang pemabuk dan
selalu bertindak kejam terhadap pembesar istana yang dicurigainya. Disebutkan Selama
tujuh tahun ia tak pernah memerintah kerajaan.
Diyakini, konflik dengan Turki Usmani
adalah sebab pertama yang menjadikan Safawi mengalami kemunduran. Terlebih
Turki Usmani merupakan kerajaan yang lebih kuat dan besar daripada Safawi.
Hakikatnya ketegangan ini disebabkan oleh konflik Sunni-Syi’ah[28].
Syah Husain adalah raja yang
alim akan tetapi kealiman Husain adalah suatu kefanatikan tehadap Syi’ah.
Karena dia lah ulama Syi’ah berani memaksakan pendiriannya terhadap golongan Sunni.
Inilah yang menyebabkan timbulnya kemarahan golongan sunni di Afganistan sehingga menimbulkan pemberontakan-pemberontakan.
Pemberontakan
bangsa Afgan dimulai pada 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil
merebut wilayah Qandahar. Lalu disusul oleh pemberontakan suku Ardabil di Herat
yang berhasil menduduki Mashad.
Di lain pihak Mir Vays
digantikan oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Pada masa Mir Mahmud berhasil
menyatukan suku Afgan dengan suku Ardabil. Dengan kekuatan yang semakin besar,
Mahmud semakin terdorong untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut
wilayah Afgan dari tangan Safawi. Bahkan ia melakukan penyerangan terhadap
Persia untuk menguasai wilayah tersebut.
Penyerangan demi penyerangan ini
memaksa Husain untuk mengakui kekuasaan Mahmud. Oleh Husain, Mahmud diangkat
menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husain Quli Khan yang berarti Budak
Husain. Dengan pengakuan ini semakin mudah bagi Mahmud untuk menjalankan
siasatnya. Pada 1721 M ia berhasil merebut Kirman. Lalu menyerang Isfahan,
mengepung ibu kota safawi itu selama enam bulan dan memaksa Husain menyerah
tanpa syarat. Pada 12 oktober 1722 M Syah Husain menyerah dan 25 Oktober menjadi
hari pertama Mahmud memasuki kota Isfahan dengan kemenangan, sedangkan beberapa
wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran dan Asterabad direbut oleh
Rusia[29].
Tak menerima semua ini, Tahmasp II
yang merupakan salah seorang putra Husain dengan dukungan penuh suku Qazar dari
Rusia, memproklamirkan diri sebagai penguasa Persia dengan ibu kota di
Astarabad. Pada 1726 M, Tahmasp bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar
untuk memerangi dan mengusir bangsa Afgan yang menduduki Isfahan.
Asyraf sebagai pengganti Mir Mahmud
berhasil dikalahkan pada 1729 M, bahkan Asyraf terbunuh dalam pertempuran
tersebut. Dengan kematian Asyraf, maka dinasti Safawi berkuasa lagi.
Pada Agustus 1732 M, Tahmasp II
dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III yang merupakan putra
Tahmasp II, padahal usianya masih sangat muda. Ternyata ini adalah strategi
politik Nadir Khan, karena pada tanggal 8 maret 1736, dia menyatakan dirinya
sebagai penguasa persia dari abbas III. Maka berakhirlah kekuasaan dinasti
Safawi di Persia[30].
Kehancuran Syafawi juga dikarenakan
lemahnya pasukan Ghulam yang diandalkan oleh safawi pasca penggantian tentara Qizilbash.
Hal ini karena pasukan Ghulam tidak lagi dilatih secara penuh dalam memahami
seni militer. Sementara sisa-sisa pasukan Qizilbash tidak memiliki mental yang
kuat dibandingkan dengan para pendahulu mereka. Sehingga membuat pertahanan
militer Safawi sangat lemah dan mudah diserang oleh lawan.
PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA
A.
Pendahuluan.
Saat ini mungkin sebagian orang masih belum
menyadari arti penting sebuah negeri Spanyol (Andalusia) bagi Islam dan
sebaliknya, arti sebuah Islam bagi negeri Spanyol. Andalusia pernah menorehkan tinta sejarah dengan aneka macam warna yang amat
sulit dilupakan oleh kaum muslim. Berbicara tentag Andalusia akan mendorong
imajinasi seseorang , khususnya muslim. Pada abad pertengahan tepatnya pada
711, ketika pasukan Islam berjumlah 12000 orang yang dipimpin oleh Thariq Ibn
Ziyad mendarat di Gibraltar, Spanyol, pasukan itu berhasil menancapkan kuku
pengaruhnya di negeri yang sebelumnya berada dalam sengketa internal. Itulah
awal sejarah Islam di Spanyol.
Untuk
mengenang peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Untuk lebih terangnya
ini dibahas dalam bentuk makalah lalu disajikan dalam bentuk diskusi.
Pembahasan ini meliputi: masuknya Islam ke Spanyol, politik pemerintahan,
ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, kesenian, pemikiran dan filsafat
dan pemahaman agama. Mudah-mudahan makalah ini dapat memperluas wawasan kita
khususnya tentang sejarah Islam.
Penulis sadar
bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan, maka untuk kesempurnaannya
penulis sangat mengharapkan kritik saran dari berbagai pihak.
B.
Islam
masuk ke Spanyol
Sebelum Islam Masuk ke Spanyol (Andalus)
di sana masyarakat mengalami perpecahan di bidang politik, kemunduran di bidang
ekonomi dan kepercayaan. Secara politik Andalus terbagi ke dalam beberapa
Negara kecil.[1]
Di samping itu, raja Ghothic memaksakan
kepercayaannya kepada masyarakat dan orang-orang Yahudi dipaksa untuk dibabtis menurut agama Kristen.
Bagi yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara kejam. Pada ketika itu
rakyatnya tertindas dan hak-hak mereka dirampas. Sementara terjadi konflik
antara raja Roderick sebagai penguasa kerajaan Gothic di Spanyol dengan
penguasa Toledo, Witiza. Raja Roderick memindahkan ibu kota kerajaannya dari
Seville ke Toledo. Pemindahan ini mengakibatkan penguasa kota Toledo, Witiza tersingkir.
Kakak dari Witiza, Oppas dan anaknya Achila mengungsi ke Afrika Utara dan
bergabung dengan orang-orang Islam di sana. Hal yang sama juga dirasakan oleh
pangeran Yulian, penguasa wilayah Septah. Pangeran Yulian lari ke Ceuta Afrika
Utara dan bergabung dengan orang-orang Islam.
Orang-orang Spanyol yang terusir
tersebut membujuk penguasa Islam di Afrika Utara, Musa bin Nusair supaya mau
menaklukkan dan menguasai Spanyol. Bahkan pangeran Yulian bersedia menyediakan
kapal untuk menyeberangkan pasukan Islam dari Afrika utara ke Spanyol.[2]
Dalam penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan
Islam yang paling berjasa memimpin pasukan kesana. Mereka adalah Tharif Ibn
Malik, Thariq Ibn Ziyad dan Musa Ibn Nusair.[3]
Musa Ibn Nusair sebagai Gubernur Afrika Utara pada waktu itu mengirim Tharif
Ibn Malik sebagai perintis dan mata-mata ke Spanyol. Ia bersama pasukan yang
berjumlah lima ratus orang menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan
benua Eropa dengan menaiki empat buah kapal. Tharif dalam misinya tidak masuk
ke daerah pedalaman, ia dan pasukannya hanya menyusuri pantai. Dalam penyerbuan
itu Tharif tidak mendapatkan perlawanan yang brarti, sehingga mereka memperoleh
kemenangan dan kembali ke Afrika membawa harta rampasan yang banyak.
Pada tanggal 19 Juli 711 M. Musa Ibn Nusair kembali
mengirim pasukan yang lebih besar ke Spanyol, pasukan ini dipimpin oleh Thariq
Ibn Ziyad. Thariq berlabuh di kaki gunung Gibraltar yang kemudian dinamakan
Jabal Thariq. Thariq dipandang sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih
besar dan hasil perjuangannya lebih nyata. Melihat kemenangan Thariq Musa Ibn
Nusair tertarik untuk terjun ke medan perang, maka pada bulan Juni 712 M. ia
berangkat menyberangi Selat tersebut,
satu persatu kota yang dilewatinya bisa ditaklukan. Setelah pasukannya
bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Thariq maka Spanyol pun dapat
mereka kuasi sepenuhnya, maka Spanyol dijadikan salah satu provinsi. Gubernur
yang pertama kali diangkat di Spanyol adalah Abdul Aziz putra Musa Ibn Nusair
pada tahun 716 M.
C. Politik dan Pemerintahan
Islam sebagai kekuatan politik telah memperlihatkan
kemampuannya yang luar biasa, sehingga dapat menguasai daerah Spanyol walaupun
menghadapi rintangan dan halangan dari orang-orang Kristen dan para penguasa
Spanyol.
Semenjak tahun 716 sampai tahun
756, dalam waktu yang pendek (lebih kurang 40 tahun) tidak kurang dari 20 orang
Gubernur yang memerintah di Spanyol. Mulai dari Gubernur pertamanya Abdul Aziz
Ibn Musa Ibn Nusair sampai Gubernur terakhir Yusuf Ibn Abd. Rahman Al-fihri
dari suku Qays. Dari Gubernur terakhir inilah kekuasaan diambil oleh Abd.
Rahman Al-Dakhil sebagai permulaan timbulnya dinasti Umaiyah di Andalus.[4]
Ini menandakan bahwa stabilitas politik di Spanyol belum tercapai secara
sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi baik dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elit penguasa,
terutama akibat perbedaan etnis dan golongan, yakni antara Barbar asal Afrika
utara dan Arab. Di samping itu bangsa Barbar tidak diberi kesempatan untuk
menjadi Gubernur di Spanyol, padahal Thariq Ibn Ziyad orang Barbar paling
berjasa dalam penaklukan Spanyol. Dalam etnis Arab sendiri terdapat dua
golongan yang terus bersaing, yaitu suku Qays (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab
Selatan). Di samping itu terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah di
Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing
mereka mengaku paling berhak menguasai
daerah Spanyol. Perbedaan pandangan pilitik ini menyebabkan seringnya terjadi
perang saudara. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol
yang tinggal di daerah pegunungan yang tidak mau tunduk pada pemerintahan
Islam. Apabila kekuatan Islam sedang lemah, mereka selalu memberi perlawanan
dan memperkuat diri. Gerakan mereka dilindungi oleh orang-orang Perancis. Hal
inilah yang menyeabkan terjadinya kontak senjata antara orang Islam dengan
orang Prancis. Oleh karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang
menghadapi musuh dari luar, maka dalam priode ini Islam di Spanyol belum
memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan[5].
Ketika Spanyol dalam keadaan tidak tentram datanglah
Abd. Rahman Al-Dakhil. Ia adalah keturunan
bani Umaiyah. Abdurrahman Al-Dakhil mendekati pimpinan Al-Bajl bin Bisri dan
suku Kalb. Kedua suku ini dimanfaatkannya untuk merebut kekuasaan dari Gubernur
Yusuf Ibn Abdurrahman Al-Fihri melalui kontak senjata di Masarah bulan
September 756 M. akhirnya ia berhasil mengalahkan Gubernur tersebut, Spanyol
dapat dikuasainya dan Cordova dijadikannya sebagai pusat pemerintahannya. Sejak
itu Spanyol menjadi dinasti Umaiyah yang bebas dari pemerintahan pusat di
Baghdad. Sebelumnya Spanyol tunduk di bawah
kekuasaan dinasti bani Umaiyah di Damaskus dan sejak
kekalahan bani Umaiyah oleh bani Abbas maka Spanyol tunduk di bawah
pemerintahan bani Abbas di Baghdad.[6] Selama pemerintahan dinasti Umaiyah berkuasa
di spanyol telah melalui beberapa priode:
1. Masa Keamiran (756-912 M)
Pada masa ini
Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang Amir (artinya panglima, gubernur
atau raja kecil), akan tetapi pemerintahan ini tidak tunduk kepada pusat
pemerintahan Islam yang ada di Baghdad
yang dipegang oleh Khalifah Abbasiyah. Ada tujuh amir yang memerintah di
Spanyol:
1. Abd.
Rahman al-Dakhil (Abd. Rahman I) (138H/756M)
2. Hisyam
I bin Abd. Rahman (172H/788)
3. Hakam
I ibn Hisyam (180H/796)
4. Abd.
RahmanII ibn Hisyam (206H/822)
5. Muhammad
bin Abd. Rahman (238H/852)
6. Al-Munzir
ibn Muhammad (273H/886)
7. Abdullah
bin Muhammad (275-300H/888-912M)
Pada masa ini umat Islam di Spanyol
sudah mulai mengalami kemajuan di bidang politik dan peradaban.[7]
2. Masa Kekhalifahan (912-1013M)
Masa ini berlangsung dari pemerintahan Abd. Rahman
III yang bergelar An-Nashir sampai munculnya raja-raja kelompok, yang dikenal dengan
sebutan Muluk al-Thawaif. Pada
masa ini Spanyol diperintah oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Ini bermula
dari berita yang sampai kepada Abd. Rahman III tentang kematian Al-Muktadir
Khalifah Abbasiyah yang dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Keadaan ini
menunjukkan bahwa pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Maka
kesempatan ini digunakan oleh Abdurrahman untuk memakai gelar khalifah, dengan
maksud mengembalikan kehalifahan Bani Umaiyyah
yang telah hilang selama 150 tahun lebih. Ada pun khalifah-khalifah yang besar
memerintah pada saat itu ada tiga orang
, yakni Abd. Rahman al-Nashir (912-961M), Hakam II (961-976M), dan Hisyam II
(976-1009). Walaupun masih ada khalifah yang memerintah sampai tahun 1013,
namun kekuasaannya sudah lemah.
Pada masa kekhalifahan ini umat Islam Spanyol mencapai puncak
kemajuan dan kejayaan, dapat menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Bagdad.
Kehancuran khilafah bani Umaiyah di Spanyol terjadi pada tahun 1013M, sewaktu
dewan mentri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu,
Spanyol sudah terpecah ke dalam banyak Negara-negara kecil.[8]
3. Priode Muluk al-Tawaif (1013-1086)
Pada priode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari
30 negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Muluk
al-Tawaif. Yang terbesar di antara kerajaan tersebut adalah Ibadiyah di
Seville. Untuk mempertahankan kekuasan kerajaan-kerajan kecil tidak jarang mereka
mintak bantuan kepada orang kristen di bagian Utara untuk menyerang dinasti
Islam lainnya. Pada masa ini umat Islam Spanyol kembali mengalami konflik
intern. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa Islam di sana, orang-orang
Kristen mulai mengambil inisiatif untuk melakukan penaklukan kembali terhadap
Spanyol. Akan tetapi perlu dicatat meskipun system politik sedang tidak stabil, namun kehidupan di bidang intelektual tetap
mengalami perkembamgan. Para sarjanawan dan sastrawan tetap mengembangkan
keilmuannya.[9]
4. Reconquesta (Penaklukan Kembali)
Perpecahan politik yang terjadi di kalangan umat Islam
membuat orang Kristen berkeinginan untuk merebut kembali wilayah Spanyol.
Memang orang-orang Kristen dari awal kedatangan Islam kesana sudah berrmaksud
untuk mengusir umat Islam namun niat mereka belum terlaksana. Sentimen
orang-orang Kristen juga diungkapkan dalam bentuk pendirian sejumlah biara
Benedictine dan kegiatan perziarahan ke Santiago de Compo Stela. Paus Gregory
VII menyerukan untuk melakukan gerakan reconquesta (penaklukan kembali
wilayah Spanyol dari umat Islam). Paus menjadikan reconquesta sebagai
kewajiban agama bagi umat Kristen dan sebagai sebuah ambisi teritorial
raja-raja Spanyol
Disintegrasi
Negara-negara muslim pada abad 11 mengantarkan pada pesatnya ekspansi sejumlah
kerajaan Kristen. Dengan semangat untuk mempersatukan kerajaan Castile, Leon
dan kerajaan Galicia, pada tahun 1085, Alfonso VI menaklukan Toledo. Ini
merupakan awal terjadinya peperangan umat Islam dengan Kristen. Setelah Spanyol
jatuh ke dalam kekuasaan umat Islam. Maka orang-orang Kristen pun membanjiri
Toledo. Dalam waktu yang tidak lama kerajaan Aragon merebut Huesca (1096),
Saragosa (1118M), Tortosa (1148M) dan Lerida (11149). Pada pertengan abad ke dua belas penaklukan telah melembaga.[10]
5. Masa Dinasti Murabitun
Murabitun berasal dari kabilah Barbar Lamtuna yang merupakan
cabang kabilah terbesar dari suku Sanhajah, keturunan bangsa Arab dari kabilah
Himyar yang datang dari Yaman.[11]
Mereka tinggal berkelompok-kelompok. Kelompok ini merupakan perkumpulan
spiritual keagamaan yang tinggal di kemah-kemah di bagian Barat gurun Sahara.
Perkumpulan ini di pimpin oleh Yahya bin Ibrahim. Ketika ia pulang dari Mekkah
tahun 1035 M. ia melihat pengamalan agama kaumnya berbeda dengan yang
dilihatnya di Mekkah. Oleh karena itu ia punya maksud untuk memurnikan ajran
keagamaan kaumnya dengan mendatangkan seorang alim yang sangat terkenal dari Maroko
bermazhab Maliki yang yaitu Abdullah Ibn Yasin. Pada perkembangannya hukum
Islam dilaksanakan menurut mazhab Maliki, namun al-Qur’an dan Sunnah tetap
dijadikan sumber utama. Karena ketegasan dan kekerasan mereka orang-orang
Barbar dan Negro yang ada di sekitar perkampungan mereka tunduk kepada mereka
dan masuk Islam.[12]
Setelah Yahya Ibn Ibrahim Wafat, pimpinan Lamtuna
dilanjutkan oleh Yahya Ibn Umar. Tak lama kemudian Yahya Ibn Umar pun wafat dan
digantikan oleh saudaranya Abu Bakar Ibn
Umar. Dia pun memaklumkan dirinya sebagai raja Dinasti Murabitun pada tahun 448
H/1056M dan Yusuf bin Tasyufin diangkat sebagai panglima.
Pada tahun 1059M Yusuf Ibn Tasyufin bergerak kea rah
Utara yautu Maroko dan Afrika Utara. Sewaktu ia kembali dari penaklukan
tersebut pada tahun 1061M Abu Bakar, raja dinasti Murabitun pergi ke gurun
Sahara, maka pada ketika itu Yusuf bin Tasyufin mengambil alih kekuasaan
dinasti Murabitun dan pada tahun 1062M Marakesi dijadikannya sebagai ibukota.
Sewaktu dinasti Murabitun berkembang, dinasti
Umaiyah di Andalusia telah terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil yang disebut
dengan Muluk al-Thawaif. Dalam
perkembangannya dinasti Murabitun bisa mencapai kemajuan seperti:
1.
Pada masa Yusuf
ibn Tasyufin dibangun kota Marakesy sebagai ibu kota dinasti Murabitun dan
merupakan pusat pendidikan orang-orang murabitun.
2.
Wilayah Islam
dapat dipertahankan dari tangan Al-fonso
3.
Di Spanyol
didirikan kota Isybiliyah dekat Seville sebagai tandingan kota Cordova yang
mulai suram. Di sini muncul Ibn Zuhr (Avenzoar), dia adalah seorang dokter
terkemuka di Andalusia (w. 1162M). muncul penyair sufi seperti Ibn Abdun dan
Ibn Zaidun (keduanya w. 1134M) dan Ibn Quzman (1087-1160)
4.
Penyiaran Islam
meliputi daerah-daerah pedalaman guru Sahara di Afrika
Setelah Yusuf Ibn Tasyufin wafat
pada abad 1106M, dinasti Murabitun mulai memasuki fase kemunduran dan akhirnya
kehancuran. Para penggantinya yang memimpin dinasti Murabitun tidak bisa
mengendalikan pemerintahan yang baik. Akhirnya datang kekuatan baru dari Afrika
Utara yang dipimpin oleh Ibn Tumart. Ibn Tumart ini dapat mengalahkan dinasti
Murabitun dan mengambil alih kekuasaannya. Pada tahun 541H/1147M penguasa
terakhir Murabitun, Ishaq, dapat dibunuh di Markesyi dan menghabisi gubernurnya
di Spanyol. Dengan demikian berakhirlah dinasti Murabitun di tangan dinasti
Muwahidun[13]
Asal usul Muwahidun
1.
Adanya kelompok Mutajassimah
di tengah masyarakat yang berada dalam kekhalifahan Murabitun di Afrika dan
Spanyol. Tajassimah yaitu paham yang mengakui bahwa Tuhan mempunyai bentuk
seperti tubuh manusia. Menurut sebagian ulama paham yang seperti ituadalah
musyrik.
2.
Kemudian muncul
Ibn Tumart pengikut Asy’ariyah untuk memberantas paham Tajassimah tersebut. Pada akhirnya ia
mendakwahkan dirinya sebagai al-Mahdi (juru selamat)dengan konsep muwahidun
(orang-orang yang mengesakan Tuhan)
Ibn
Tumart berasal dari kabilah Masmudah. Untuk mengembangkan ajarannya Ibn Tumart
membentuk tiga kelompok:
a.
Kelompok sepuluh
dipimpin oleh Ibn Tumart yang dinamakan Dewan Menteri.
b.
Kelompok lima
puluh dipimpin masing-masingnya oleh Dewan Menteri yang 10 (satu orang untuk
lima orang),
c.
Murid Thalabah
Ahl ad-Dar, keluarga al-Mahdi, ahli Tainmah, kabilah jadwiyah sampai orang
awam.
Setelah
Ibn Tumart wafat tahun 1130M, digantikan oleh Abdul Mukmin. Pada tahun
1144-1146 mereka berhasil menaklukkan Murabitun dan menjadikan Marakesy sebagai
pusat pemerintahannya. Pada tahun 1172 M Muwahidun mampu merebut seluruh
wilayah muslim yang ada di Spanyol, akan tetapi kedudukan umat muslim tetap
saja dibawah tekanan pihak Kristen. Sehingga akhirya pada tahun 1212 Muwahidun
dapat ditaklukkaan oleh pasukan gabungan
Leon, Castile, Navarre dan Aragon dalam perang Las Navas de Tolosa. Dengan
kekalahan Muwahidun Negara-negara Muslim Spanyol kembali menjadi independen
tetapi mereka jadi tidak perdaya
menghadapi penaklukan yang dilancarkan pihak Kristin. Penggabungan kekuatan
Castile dan Leon pada tahun 1230 membuka
jalan bagi penaklukan Cordova pada tahun 1236 dan kota Siville pada tahun 1238
dan Murcia tahun 1243M. pada pertengahan abad ke 13 hanya Granada yang tetap
bertahan dalam kekuasaan muslim. Kota Granada ini terlindung lantaran warganya
yang berjumlah besar, wilayah yang berbukit dan ekonomi yang produktif yang
mendorong pajak besar kepada para sultan Castile. Pada ketika itu kota Granada
dipimpin oleh Banu Ahmar (1232-1492M), akan tetapi secara pilitik dinasti ini
hanya bekuasa di wilayah kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahan
terakhir di Spanyol berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam
memperebutkan kekuasaan. Sehingga pada tahun 1492 berakhirlah kekuasan Islam di
Spanyol. Setelah itu umat Islam hanya
dihadapkan pada dua pilihan, yaitu masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol.
6. Ekonomi dan Perdagangan
Secara umum bisa dikatakan, dengan melihat banyaknya pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintahan dinasti Umaiyah di Andalusia, bahkan pembangunan bukan hanya ada di kota-kota tetapi juga meliputi ke
pedesaan. Itu membuktikan bahwa roda
perokonomian pada masa itu berjalan
sangat bagus. Masa pemerintahan
Abdurrahman I di Andalusia dikenal oleh ahli-ahli sejarah sebagai masa
pembangunan besar-besaran. Ia membangun
istana yang megah dan Masjid agung yang terkenal di Cordova, yaitu
Masjid Al-Hambra. Selain itu ia juga membangun masjid-masjid lain di ibukota
Cordova dan pada kota-kota lainnya, selanjutnya ia juga membangun gedung-gedung
perguruan beserta lembaga-lembaga ilmiah. Ia membangun saluran-saluran air dan
irigasi untuk keperluan pertanian, serta ia juga membangun sebuah taman yang
sangat indah di Cordova, yaitu (Al-Risafat).[14]
Pada masa dinasti Umaiyah ini juga
telah dibangun istana az-Zahra tempat
istirahat sang khalifah dengan biaya yang besar dan waktu yang panjang. Adapun
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan tersebut adalah selama 12
tahun dan jumlah orang yang dipekerjakan
untuk membangunnya adalah sebanya 12.000 orang.[15]pada
masa itu Andalusia terkenal akan kemakmurannya, sehinga pada masa it orang
berduyun-duyun datang untuk menetap di sana.
Dari
segi perdagangan kota Valencia merupakan pelabuhan yang makmur ketika itu,
tempat persinggahan arrnada dagang Islam dari pesisir Afrika maupun dari pulau
Sicily dan pulau Sardinia.
Seiring waktu permasalahan makin banyak yang muncul, stabilitas politik tidak
terjamin tentu hal itu akan berpengaruh terhadap perekonomian di sana. Afrika
Utara bagian Barat merupakan daerah gurun Sahara yang gersang dan hidup di sana
orang Barbar, sedang Spanyol merupakan daerah yang makmur dan maju serta
berperadaban maju. Ekonomi mereka sudah maju, tetapi kekuatan militer mereka
sudah lemah, sehingga tidak bisa menahan serangan musuh yang datang. Oleh
karena itu mereka minta bantuan kepada Dinasti Murabitun untuk melindungi
mereka dan mengusir orang-orang Kristen yang menyerang mereka. Setelah Spanyol
masuk kedalam dinasti Murabitun, ekonomi Dinasti makin kuat karena mewarisi
ekonomi dari kerajaan-kerajaan kecil yang makmur tadi. Dengan demikian keuangan
Negara dan belanja tentara dapat diatasi dan tentara semakin semangat untuk
berperang
7. Sosial Kemasyarakatan
Pada awal kekuasaan Abdurrahman I terjadi
perselisihan antara suku yang berbeda-beda, antara bangsa dan etnis yang
berbeda-beda, antara Abbasiyah dan Umaiyah, serta antara umat Islam dan umat
Kristen. Akan tetapi Abdurrahman dapat menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan
yang terjadi di Andalusia. Semenjak itu Abdurrahman memperoleh rasa hormat dan
kekaguman dari rakyat Andalusia, dan semenjak itu terciptalah ketenangan dan
kedamaian. Bahkan orang-orang Barbar yang nomadis pun mulai bertempat tinggal
secara tetap.
Sepanjang jangka waktu yang lama setelah penaklukan
Spanyol, orang-orang Barbar tetap menjalani kehidupan yang nomadis, mengganti
tempat tinggal dari satu tempat ke tempat yang lainnya di semenanjung dan
membawa serta anak istri mereka. Abdurrahman I adalah orang pertama yang
menundukkan kebiasaan mereka mengembara , membuat mereka mau membangun
desa-desa dan kota-kota serta menjalani
hidup yang menetap.
Abdurrahman adalah pemimpin yang telah banyak
memberikan perubahan terhadap Andalusia sehingga ia dikenal dengan sebutan
Elang suku Quraiysh dan Garuda Andalusia. Kaum muslim Andalusia, yang telah
lama maupun yang baru memeluk Islam, bersatu dan merasa tentram baik dan
menjalani hidup sehari-hari demikian juga dalam melakukan ibadah kepada sang
Khaliq.[16]
Secara umum bisa dikatakan bahwa kondisi social
masyarakat pada masa dinasi Umaiyah tentram dan damai kecuali pada masa Amir ke
tiga, yaitu Hakam Ibn Hisyam karena kepemimpinannya yang kurang merakyat dan
suka berpoya-poya, sehingga pemerintahannya banyak disibukkan untuk menumpas
pemberontakan, perlawanan baik yang datang dari umat Islam maupun yang datang
dari kaum Kristen.
Pada masa Amir Hisyam bin Abdurrahman masyarakat
hidup dengan tentram. Ia adalah pemimpin yang dekat kepada rakyat dan sangat
perhatian kepada orang miskin. Untuk menciptakan ketertiban ia melembagakan
jaga malam yang teridiri dari warga-warga yang jujur yang bertugas untuk
berkeliling, dan jika ditemukan orang yang merusak ketertiban, ia akan dihukum
dan didenda seseuai dengan pelanggarannya, dan dendanya akan diberikan kepada
orang-orang miskin seperti orang yang menumpang di dalam masjid saat malam dan
hujan.[17]Sehingga
Amir Hisyam diberi gelar oleh rakyatnya ar-Radhi dan al-Adl (pemimpin
yang ramah dan adil). Demikian juga pada masa Amir Abdurrahman II masyarakat
hidup makmur dan damai sehingga pemerintahannya disamakan orang dengan
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
8. Pendidikan dan Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan di Spanyol
bukan hanya pada bidang ilmu-ilmu tertentu, akantetapi telah mencakup kepada
berbagai bidang ilmu pengetahuan hingga
ilmu sains. Sains yang berekembang di Spanyol antara lain adalah ilmu
kedokteran, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain. Abbas Ibn Farnas adalah
yang termashur dibidang kimia dan astronomi. Dia adalah orang pertama menemukan
pembuatan kaca dari batu. Ibrahim Ibn Yahya al-Naqash terkenal dalam ilmu
astronomi. Ia dapat menentukan kapan terjadinya gerhana matahari dan menentukan
berapa lamanya. Ia juga berhasil menemukan tropong Bintang modern yang dapat
menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad Ibn Ibas dari
Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan.umm al-Hasan binti abi Ja’far dan
saudara perempuannya al-Hafids adalah dua orang yang ahli di bidang kedokteran
dari kalangan wanita.
9. Kesenian
Dalam bidang ini tokohnya yang terkenal adalah
al-Hasan Ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Zaryab sering tampil dalam
perjamuan makan dan acara-acara pertemuan besar di Spanyol. Ia juga bisa
menggubah lagu.
Pada masa itu bahasa arab dijadikan bahasa resmi di
Spanyol, sehingg bermunculanlah orang-orang yang ahli di bidang bahasa seperti
Ibn Sayidih, Ibn Malik, Ibn Khuruf Ibn al-Hajj, abu Ali al-Isybili, Abu
al-Hasan dan yang lainnya. Di samping banyaknya orang-orang yang ahli di bidang
bahasa banyak juga yang ahli di bidang sastra yang terkenal adalah Ibn Abd
Rabbih dengan karyanya Al-‘iqd
al-Farid Ibn Bassam dengan karyanya al-Dzahkirah
fi Mahasin ahl al-Jazirah dan al-Fath Ib Khaqan dengan karyanya Kitab
al-Qalaid dan yang lainnya.
Terinspirasi oleh antusiasme dan gairah
hidup Abd ar-Rahman, kaum muslimin awal di Andalusia menjadikan negeri itu
menjadi taman besar. Mereka menginpor tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dari
negeri lain serta memperkenalkan metode –metode pertanian baru. Sistim irigasi
yang menakjubkan, kaum muslimin memperkenalkan budidaya tebu, kapas, beras,
dan tidak ketinggalan buah-buahan
seperti persik, jeruk, delima, dan kurma. Pada masa itu masyarakat Andalusia
memiliki bayak keterampilan. Bahkan pada masa itu mereka telah memulai
pengolahan industry sutra, dan dari merekalah lahir seni membut kertas dan
gelas serta pembuatan senjata Toledo yang akhirnya sampai ke Eropa.[18]
Pada puncak kejayaan Cordova di sana terdapat 15000 orang penenun.
10. Pemikiran dan Filsafat
Ilmu filsafat dapat berkembang pada masa Islam di
Spanyol. Pada waktu itu Spanyol merupakan slah satu tempat transmisi
perpindahan ilmu pengetahuan Islam ke Barat.filsafat mulai dipelajari dan
dikembangkan oleh umat Islam di Spanyol pada abad ke 19 M. yakni pada masa pemerintahan
Muhammad Ibn Abd. Al-Rahman (832-886 M) penguasa Bani Umaiyah, kemudian
berkembang pada masa al-Hakam (961-976 M) pada asa ini banyak buku-buku
didatangkan dari daerah Islam di Timur, sehingga buku-buku di
universitas-universitas dibanjiri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dapat
menyaingi perpustakan Bait al-Hikmah di Bagdad.
Di Spanyol trkenal para filosof seperti Abu Bakar
Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih terkenal dengan Ibn Bajjah (w. 1138 M) di
Fez. Karyanya yang terkenal Tadbir al-Mutawahhid. Abu Bakar Ibn Thufail
(w.1185 M) karyanya yang terkenal adalah Hay bin Yaqzhan. Di samping
filosof dia juga seorang astronomi, kedokteran dan sebagainya. Filosof yang
sangat terkenal muncul Ibn Rusyd dari Cordova (1126-1198 M). karyanya yang
sangat monumental adalah Tahafud al-Tahafud. Karya ini sebagai
tangkisan terhadap kitab falsafah
al-Ghazali Tahafud al-Falasifah.
11. Pemahaman Agama
Perkembangan pengetahuan di Spanyl sangat pesat ,
tidak kalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Bagdad dan Mesir di antara
ilmu yang berkembang di Spanyol adalah ilmu fiqh. Berkembangnya ilmu fiqh di
Spanyol menggambarkan bahwa di Spanyol pada ketika itu sudah mulai banyak yang
ahli, paham dalam bidang agama.
Mazhab fiqh yang berkembang di Spanyol adalah mazhab
Malikiyah, mazhab Malikiyah ini dijadikan sebagai mazhab resmi Negara, walaupun
masih ada mazhab yang lain seperti Syafi’yah. Kehidupan masyarakat seperti perkawinan, talak, wasiat,
warisan, jual beli dan sebagainya diatur berdasarkan mazhab Malikiyah.
Mazhab Malikiyah ini diperkenalkan oleh Ziyad Ibn
Abd. Al-Rahman dan dikembangkan selanjutnya oleh Ibn Yahya yang menjadi qadi
pada masa Hisyam ibn Abd. Al-Rahman. Di samping itu ahli fiqh yang terkenal
pada masa itu seperti Abu Bakar Ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi,
Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Selain fuqaha yang bermazhab Maliki di Spanyol ada juga
ahli-ahli fiqh yang bermazhab Syafi’iy seperti Usman ibn Abi Said al-Kinani,
Ahmad Ibn Abd. Wahab bin Yunus dan sebagainya.
KERAJAAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN TURKI USMANI PERIODE II (1517 -1924)
A.
Kemunduran dan Kejatuhan Kerajaan Turki Usmani
1.
Proses
Kemunduran
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di
dunia Islam, tidak terlepas dari proses pertumbuhan, perkembangan, mencapai
puncak kejayaan, lalu akhirnya mangalami kemunduran dan kemusian disusul dengan
kehancuran. Demikian juga dengan kerajaan turki usmani yang diproklamirkan oleh
Usman I, menjadi negara adikuasa pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih), dan
mencapai puncak kejayaannya dimasa Sultan Sualiman al-Qanuni. Kemudian Kerajaan
Turki Usmani mengalami kemunduran dan pada akhirnya membawa kehancuran.
Kejatuahan Kerajaan Turki merupakan proses sejarah panjang dan
tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam sejarahnya selama lima abad (akhir abad
ke tiga belas hingga awal abad kesembilan belas) Kerajaan Turki Usmani
mengalami pasang surut. Disatu sisi sebuah system politik yang diwarisi dari
pendahulunya, Turki Saljuk, yaitu menjadikan Kerajaan adalah milik keluarga
kerajaan dan menjadikan sultan sebagai sentral kekuatan politik, membuat
kerajaan ini begitu rentan terhadap factor-faktor kejatuhan sebauah
dinasti.seorang sultan yang lemah saja sudah dapat membuka jalan bagi proses
kejatuhan kerajaan. Meskipun demikian seorang sultan yang kuat, pada masa
pemerintahannya juga mampu memperlambat kehancuran suatu dinasti.
Bernard Lewis seperti yang
dikutip oleh Firdaus, M.Ag mengatakan untuk menentukan sejak kapan Kerajaan Turki
Usmani mengalami kemunduran, nempaknya Sejarawan sepakat mengatakan awal kemunduran bermula
sejak wafatnya Sultan Salim II (1566).[1] Sesudah Sultan
Sulaiman Yang Agung Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai sultan-sultan
yang dapat diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki Usmani sudah
mulai diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan. Kerajaan Turki
Usmani mulai mengalami fase kemunduran pada abad XVII.[2]
Pada akhir abad XVII Kerajaan Turki Usmani secara “bertubi-tubi “
menderita kekalahan dari pasukan Jerman, Polandia dan Rusia. Akibat dari
kekalahan-kelahan yang dialami ini memaksa Kerajaan Turki Usmani untuk
mengadakan perjanjian atau damai dengan negara-negara Eropa. Perjanjian ini terjadi pada tahun 1699
yang dinamakan dengan perdamaian Karlowith. Peristiwa ini sungguh sangat
menyakitkan hati orang-orang Turki Usmani karena dalam isi perdamaian itu,
Turki Usmani harus rela melpaskan Translavia (wilayah Austria), Saladonia dan
Karawatai serta Ukraina. Azov sendiri dapat diduduki oleh Kaisar Rusia di bawah
pimpinan Peter Yang Agung pada tahun 1696 M.[3]
Kerajaan Turki Usmani
kembali harus kehilangan beberapa wilayahnya dan merelakan campur tangan
kekuatan luar ke dalam wilayah yrisdiksinya. Berbagai kekalahan yang menimpa
kerajaan Turki Usmani dalam operasi militer sebagai upaya merebut kembali
wilayah yang hilang akibat perjanjian karlowith, memaksa Nevseherli Damat
Ibrahim Pasya, penasehat Sultan Ahmad III, untuk mengakhiri peperangan pada
tanggal 26 Agustus 1717. Perjanjian Passarowitz ditandatangani pada tanggal 21
Juli 1718. Pada perjanjian itu Turki
harus melepaskan Belgrade dan Senendria, wilayah utara Timok dan Una kepada
imperium Habsburg, Sava dab Drina ke tangan Austria, dan Habsburg diperbolehkan
membela kepentingan katolik di wilayah yurisdiksi Sultan.[4]
Rusia merupakan ancaman yang serius bagi itegrasi Kerajaan Turki
Usmani, apalagi ketika Rusia mengadakan aliansi dengan Austria pada tahun 1726
M. dan Rusia segera menyerbu kerajaan Turki Usmani. Azov yang pernah direbut
oleh Rusia pada tahun 1696 M, direbut kembali oleh Turki Usmani di bawah
pimpinan sultan Mustafa II pada tahun 1726M. akan tetapi dapat direbut kembali
oleh Rusia. Kebjakan Peter Yang Agung dilanjutkan oleh penggantinya yang bernama Catherina Agung dengan lebih
ulet dan sunggu-sungguh. Catherina berperang dengan Turki Usmani pada tahun
1768 M, ia memperoleh kemenangan baik di darat maupun laut.[5] George Lenczoski
seperti yang dikutip oleh Syafiq A. Mughni mengatakan bahwa operasi angkatan
laut Rusia memperagakan suatu armada yang mengepung Eropa hingga laut
Medeteriana, serta operasi mengentarkan seluruh dunia.[6]
Perang antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia berakhir pada
tahun 1777 M. dengan ditandai perjanjian Kinarca. Perjanjian ini oleh Muhammad Farid
digambarkan sebagai berikut : “yang penting dari perjanjian kinarca adalah
Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-bentengnya yang berada di laut
Hitam diantaranya adalah benterng Azov”.[7]
Dengan demikian, berhasillah Rusia memenuhi hasratnya untuk
menjadikan perairan laut hitam sebagai pangkalan militernya. Kemudian dari isi
perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa armada laut Rusia mendapat izin dari
pemerintah Turki Usmani untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam
dengan Laut Putih (Laut Tengah). Kemudian Kirman memerdekakan diri dari Turki
Usmani, Rusia diizinkan membangun gereja di Asitnah dan menjadi pelindung
orang-orang Kristen Orthodox yang berdomisili di wilayah Turki Usmani. Para
Jemaat Kristen yang akan menunaikan ibadah Haji ke Palestina harus dibebaskan
dari membayar pajak. Di samping itu, Turki Usmani harus memperhatikan
kesejahteraan para pendeta dan umat Kristen. Pemerintah Turki Usmani harus
membayar ganti rugi peperangan kepada Rusia yang tidak sedikit jumlahnya secara
beransur-ansur selama tiga tahun.[8] Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukan
bahwa kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Turki Usmani tidak penuh lagi dalam
mengurusi kerajaannya.
Meskipun telah ada perjanjian
damai, ternyata Rusia tetap menaklukkan dan merebut negeri-negeri yang
semula dikuasai dan ditinggalkan oleh oleh oran-orang Turki, Tartar dan muslim
lainnya. Inilah yang menyebabkan timbulnya kembali peperangan antara Rusia
dengan Turki Usmani pada tahun 1792 M. akan tetapi Turki Usmani tetap mengalami
kekalahan, dengan ini terpaksalah ia mengakui pendudukan Rusia atas Kerajaan
Tartar.[9]
Pada tahun 1801 kekuatan Prancis dikalahkan oleh Inggris yang kemudian mengembalikan kekuasaan Turki atas wilayah Mesir. Pada
tahun berikutnya, Mesir kembali menjadi wilayah yurisdiksi sultan. Evakuasi
kekuatan militer Perancis dari wilayah Mesir jelas memperbaiki hubungan kedua
belah pihak yang telah terjalin lama, dan oleh sebab itu Napoleon diperbolehkan
mempergunakan “the porte” sebagai kekuatan tambahan ketika Perancis
berkonfrontaso dengan Rusia. Bagi Turki konfrontasi jelas menguntungkan, sebab
baginya Rusia merupakan ancaman politik yang telah menganeksasi beberapa
wilayahnya melalui perjanjian Kucuk Kaynarca, 1774. Akan tetapi konfontasi
Rusia – Perancis berubah menjadi aliansi politik ketika Tsar Alexander dan
Napoleon Bonaparte menandatangani perjanjian Tilsit pada 7 Juli 1807. Pada saat
itu Perancis berkeinginan untuk membendung dominasi Inggris di benua Eropa.
Perancis pada awalnya memaksa Alexander untuk tetap menghormati perjajian yang
telah dibuat bersama Turki sebelumnya. Tetapi setelah itu Turki kembali
terjebak dan konspirasi politik besar bangsa Eropa. Oleh sebab itu Turki
melakukan negosiasi dengan Rusia atas mediasi Perancis di Slobosia, 21 Maret
1808, yang mengharuskan Rusia meninggalkan Moldova dan Wallachia, sedangkan
Turki akan meninggalkan selat Danibe dan hanya meletakkan tentaranya di
Ismailiya, Ibrail dan Galatz. Akan tetapi Rusia ingkar janji dengan tidak mau
meninggalkan Moldova kecuali atas
perintah Tsar lansung. Apalagi Tsar dapat jaminan lesan dari Napoleon bahwa ia
akam membiarkan Rusia bila berkeinginan menguasai kerajaan-kerajaan kecil.
Akhirnya meletuslah perang selama lima tahun dan berakhir dengan perjanjian
Bukares, Mei 1812, dan kerugian ada dipihak Turki. Lewat perjanjian tersebut
Rusia dapat mencaplok Bassarabia.[10]
Dalam upaya menjaga kelansungannya, Turki Usmani semakin bertambah
ketergantungannya terhadap keseimbangan kekuatan bangsa-bangsa Eropa. Hingga
tahun 1878 Ingris dan Rusia saling berebut pengaruh, meskipun keduanya
menghindari keterlibatan lansung dalam kerajaan Turki Usmani dan
perseteruannya. Meskipun demikian , antara tahun 1878 hingga 1914 sebagian
besar wilayah di semenanjung Balkan menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan
Turki, dan Inggris, Rusia dan Austria-Hungaria mengusai beberapa bekas wilayah
kekuasaan Turki tersebut.
Kondisi ini semakin sulit dan rumit, dimana setelah kerajaan Turki
Usmani bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I pada tahun 1914.
Keterlibatan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan bergabung dengan Jerman,
bukan tanpa alas an. Alas an itu antara lain pengaruh Jerman di Kerajaan Turki
Usmani melebihi pengaruh Eropa lainnya. Hal ini tanpak dalam bidang militer.
Pada tahun 1914 tentara Turki Usmani dilatih oleh Jerman yang terdiri dari 42
perwira di bawah pimpinan Jenderal Liman Von Sanders. Disamping itu Turki
Usmani berharab dengan bergabung bersama Jerman, Turki Usmani dapat mengambil
kembali wilayah-wilayahnya yang dicaplok oleh Rusia. Akan tetapi ini hanya
berakibat fatal untuk Turki Usmani. Wilayah Turki Usmani semakin lama semakin
kecil karena diperebutkan oleh
orang-orang Eropa.[11]
Dalam Perang Dunia I Turki Usmani mengalami kekalahan, maka
diadakan perjanjian Serves yang membuat Turki Usmani harus kehilangan
wilayahnya. Dengan demikian, maka melalui perjanjian Serves ini, pada garis
besarnya tercapailah segala ambisi negara-negara Eropa yang selama ini
tersimpan dalam dada, terutama sekali Yunani karena dari hasil ini, ia berhasil
memperoleh sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh Turki.[12] Demikianlah proses
kemunduran yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani.
2.
Faktor-Faktor
Kejatuah Turki Usmani
a.
Faktor
Internal
1).
Kelemahan Para Sultan dan Sistem Birokrasi
Nampaknya para sejarawan sepakat bahwa kelemahan para sultan dan system
birokrasi Kerajaan Turki Usmani menjadi penyebab kejatuhannya. Seorang sultan
yang lemah cukup member peluang bagi kejatuhan kerajaan Turki Usmani.
Sebaliknya seorang sultan yang cakap juga mampu memperlambat proses kejatuhan
pada system politik kerajaan.
Pada masa KerajaanTurki Usmani, yaitu pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman I (1520-1566), tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai tampak ke
permukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini
kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Para sultan terdahulu
telah begitu terlatih untuk menjadi seorang penguasa dan meniti puncak
kekuasaan dengan terlebih dahulu menunjukkan kemampuannya dalam mengendalikan persoalan pemerintahan
dengan pengalaman yang mereka peroleh pada saat terlibat aktif dalam
administrasi local dan ekspedisi militer. Mereka memperoleh kekuasaan dengan
meyakinkan para pengikutnya dengan memasukkan kelas budak ke dalam struktur
pemerintahan dan member mereka posisi yang berhadapan dengan para aristocrat
Turki. Dengan memberikan ini sebagai kelas penguasa (rulling class) maka ada
bahwa kejatuah Turki Usmani adalah akibat masuknya kelas budak ini ke dalam
system birokrasi kerajaan.[13]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh
sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan
serta tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat
lansung dalam administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh,
mereka banyak larut dalam kehidupan istana.[14]
Akibat lemahny a para sultan maka menimbulkan
pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sediri, seperti di Suriah di bawah
pimpinan Kurdi Jambulat, di Lebanon di bawah pimpinan Drize Amir Fakhruddin. Dengan
negara-negar tetangga terjadi peperangan seperti Vinitia (1645-1664) dan dengan syah Abbas dari Persia. Tentara
Turki Usmani (Jenissari) juga memberontak, ini berakibat jelek sekali bagi
kerajaan Turki Usmani.[15]
2).
Kemunduran dalam bidang ekonomi
Turki Usmani pada masa kejayaannya menguasai tiga benua dan dua
lautan yang merupakan negara adikuasa dalam bidang militer dan ekonomi. Hal ini
disebabkan karena militernya kuat dan militernya mantap. Adapun sumber
pemasukan perekonomiannya antara lain dari pajak, upeti dan dari wilayah-wilayah
yang ditaklukkannya. Kondisi ini berubah setelah kerajaan Turki Usmani berada
dalam keadaan mundur dan lemah. Pajak-pajak dari negara bawahan sudah sangat
jauh berkurang. Hal ini karena banyak wilayah tersebut yang melepaskan diri
dari kekuasaan pusat.
Kemampuan Turki Usmani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai
melemah, pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan
ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Munculnya kekuatan
ekonomi dan keuangan baru dibelahan Eropa merupakan buah dari perkembangan
ekonomi. Ekspansi bangsa Eropa ke benua Amerika dan Afrika merupakan harapan
akan bertambahnya kemakmuran dan perangkat yang dibutuhkan untuk mengembangkan
sayap perdagangan kebelahan dunia sebelah timur. Rute perdagangan tersebut
dengan sendirinya mematahkan tradisi dan regulasi yang diterapkan oleh kekuatan
yang memegang wilayah Timut Tengah.[16]
Ditemukannya benua Amerika, telah menggeser jalur perdagangan ke
Samudera Atlantik dan ke laut terbuka di
sekeliling Afrika Selatan dan Asia Selata. Laut Tengah dan Timur Tengah,
sekalipun dalam beberapa hal masih berpengaruh namun sudah kehilangan kedudukan
ekonomi. Perkembangan dibelahan dunia lain telah menempatkan mereka pada
kedudukan kelas dua diantara tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan
dibukanya rute Samudera, maka laut Tengah dan Timur Tengah tidak dipersoalkan
lagi. Kerajaan Turki Usmani sebagai kekuatan Laut Tengah dan Timur Tengah,
akhirnya mulai menurun dari kedudukan yang tinggi.[17]
3).
Wilayah yang Luas dan Ledakan Penduduk
Wilayah Kerajaan Turki Usmani ketika berada pada puncak kejayaannya
meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Hijaz, serta Yaman di Asia, Mesir,
Libia, Tunisia, serta AlJazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia,
Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[18] Wilayah yang
sangat luas itu dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari segi agama,
ras maupun adat istiadat. Untuk mengatur wilayah yang besar ini, pada posisi
yang lemah sangatlah sulit sekali.
Penduduk Kerajaan Turki Usmani pada abad ke eman belas bertambah
dua kali lipat dari sebelumnya. Problem kependudukan pada saat itu lebih banyak
disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditam
bah menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman. Untuk mengatur
penduduk yang beraneka ragam dan
tersebar luas di tiga benua diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang baik
dan teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik Kerajaan Turki Usmani
hanya akan menanggung beban yang sangat
berat akibatnya. Perbedaan ras, bangsaq
dan agama juga memicu mengantarkan pemberontakan dan peperangan yang akhirnya
menjadi kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani.[19]
4).
Budaya Korupsi Para Sultan
Pada umumnya moral pejabat negara di Kerajaan Turki Usmani tidak
baik, menipulasi dan kolusi merupakan suatu pekerjaan yang lumrah dan sering
mereka lakukan. Oleh karena itu terjadilah jual beli jabatan di lingkungan
pemerintahan Turki Usmani. Untuk dapat
menduduki Kursi Shadrul al-A’zam seorang calon, harus memberikan sekian
banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.[20]
Demikian juga Gubernur sebagai kepada pemerintahan di propinsi.
Seorang calon gubernur tidak akan dipilih dan diangkat sebelun ia memberikan
sogokan yang banyak kepada Shadrul al-A’zam. Oleh kerena pengangkatan seorang calon pejabat
bukan berdasarkan keahlian dan keterampilannya, bahkan jabatan itu diraih
dengan jalan menyogok, maka tidak mengherankan seorang gubernur hanya berfikir
bagaimana ia dapat mengembalikan dan memperolleh kekayaan sebanyak-banyaknya
dan masalah rakyat bukan menjadi persoalan yang mereka utamakan.[21]
5) Pengaruh Para Isteri-isteri Sultan
Setelah pemerintahan Sultan Muhammad II, istana Kerajaan Turki
Usmani selalu terjadi kecemburuan, intrik dan percekcokan karena pengaruh
isteri-isteri sultan berkebangsaan Eropa. Melalui mereka raja-raja Eropa dapat
mengirim mata-mata masuk ke istana kerajaan. Di samping itu, istri-istri sultan
terdiri dari berbagai ragam wanita dengan kulit dan kasta yang berbeda bahkan
ada juga yang di beli oleh sultan. Dengan demikian tidak jarang isteri-isteri
sultan tersebut yang memberikan informasi penting kepada musuh. Oleh karena itu
banyak rencana yang dilakukan oleh kerajaan selalu mengalami kegagalan karena
sudah diketahui oleh musuh terlebih dahulu. Tentu saja mereka sudah
mempersiapkan taktik dan strategi untuk mengantisipasi rencana yang dilakukan
oleh Kerajaan Turki Usmani.[22]
6).
Keterbelakangan dalam Industri Perang
Pada masa Turki Usmani kemerosotan kaum muslimin tidak hanya
terbatas pada bidang pengetahuan saja, melainkan dalam segala bidang termasuk
dalam bidang industry perang, padalah keunggulan Turki Usmani pada bidang itu
pada masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia. Tidak berkembangnya
industry sangat berpegaruh terhadap kerajaan Turki Usmani yang sangat
mengandalkan militer sebagai tulang punggu kerajaan.
Sementara bangsa Eropa berhasil menciptakan senjata baru,
melancarkan modernisasinya angkatan perangnya serta memantapkan organisasinya,
sehingga pasukannya mampu melancarkan pukulan terhadap kerajaan Turki Usmani
pada tahun 1774 M.[23]
7).
Munculnya Gerakan Nasionalisme
Dari sekian banyak factor yang menyebabkan kemunduran bagi Kerajaan
Turki Usmani adalah tumbuhnya paham nasionalis bangsa-bangsa yang berada di
bawah kuasa Turki Usmani. Berbagai suku bangsa yang hidup dibawah pemerintahan
Turki Usmani mulai terusik nasionalismenya.
Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat,
mohon bantuan bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Bangsa Kurdi
dipengunungan dan bangsa Arab di padang pasir dan di lembah-lembah, mereka juga
sama bangkit hendak melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.[24]
Paham nasionalis yang muncul di wilayah-wilayah Kerajan Turki
Usmani tidak terlepas dari persentuhan umat Islam dengan orang-orang Barat. Hal
ini dapat dibuktikan ketika Napolion melakukan ekspedisi, dimana is mengembangkan ide kebangsaan dengan
menyatakan bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation)[25]
Dengan adanya paham nasionalis ini menimbulkan kesadaran rakyat
akibat dari tekanan pemerintah, bahkan mereka sebenarnya bukanlah orang-orang
Turki, maka untuk itu mereka berusaha untuk bisa melepaskan diri dari kerajaan
Turki Usmani.
b.
Faktor
Eksternal
Kebangkitan
Eropa
Ketika kemunduran Kerajaan Turki Usmani pada periode pertengan dari
sejarah Islam, negara-negara Eropa Barat sedang mengalami kemajuan pesat. Hal
ini berbeda dengan masa Klasik Islam. Ketika Islam berada dalam kejayaan, eropa
masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan seperti halnya negara
terbelakang sekarang dan miskin dewasa ini di Asia dan Afrika.
Kemajuan Eropa sebenarnya bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan
dan metode berfikir rasional orang-orang islam. Sebagaimana deketahui, bahwa
saluran tempat ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa bersumber di Spanyol,
dimana pada masa kejayaannya banyak pelajar-pelajar Eropa datang untuk menuntut
ilmu pengetahuan di unuversitas-universitas di sana. Setelah mereka menamatkan
sekolah, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan universitas sebagaimana yang
ada di dunia Islam. Dalam perkembangan selanjutnya mereka inilah yang
melahirkan renaissance dan reformasi di Eropa.[26]
Abad ke 16 dan 17 M. merupakan abad yang penting dalam sejarah.
Pada masa itu Eropa bangkit dengan segala kekuatan untuk mengejar
keterbelakangannya pada zaman klasik. Orang-orang Eropa bangkit menyelidiki
rahasia alam semesta, menaklukkan lautan dan menjajahi benua yang sebelumnya
masih diliputi oleh kegelapan. Mereka membuat penemuan baru dalam segala
lapangan ilmu dan seni serta dalam segala kehidupan. Dengan demikian, muncul
tokoh-tokoh cemerlang dalam berbagai ilmu pengetahuan , seperti Copernicus,
Bruno, Galileo, Kepler, Newton, dan lain-lain yang telah meletakkan
prinsip-rinsip lama dibidang ilmu pengetahuan. Di bidang penjelajahan dan
penemuan daerah-daerah baru tercatat nama-nama tokohnya seperti; Colombus,
Vasco da Gama, Magelhens dan lain-lain sebagainya.[27]
Dengan demikian factor-faktor diatas sejak abad XVI telah menjadi
penyebab lemahnya Imperium Turki Usmani, satu demi satu wilayahnya lepas dan
akhirnya Turki Usmani runtuh. Perang militer antara Turki Usmani dengan orang
Eropa berubah menjadi perang agama. Ketika terbentuk persekutuan suci (Haf
Miqadd) antara Austria, Polandia, dam Bundukia untuk bersama-sama menyerang
Turki Usmani, maka pengaruh sangat dalam bagi kekalahan Turki Usmanidan sangat
memperlemah kekuatannya. Selanjutnya atas nama agama Kristen, Rusia juga
bersama-sama dengan negara Kristen lainnya menyatakan perang terhadap Turki
Usmani. Akibat serangan negara-negara Kristen ini Turki Usmani mendapat pukulan
keras dan menderita kerugian besar.[28]
B.
Pembaharuan Turki Usmani
Pada permulaan abad ke XVII, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara
terbaik bagi program restorasi integritas politik dan efektivitas kukuatan
militer yang dimiki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan kepada
aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh
kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslimin. Para modernis menganggap perlunya
kekhilafahan Turki untuk mengabsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam
pendidikan kemiliteran, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu
perubahan di bidang pendidikan, ekonomi dan social yang mendukung terbentuknya
negara modern. Pada abad ke delapan belas dan terutama pada abad kesembilan
belas, kelompok modernis muncul dengan terang-terangan, dan akhirnya menjadi
pemenang.[29]
Semenjak abad ke delapan belas, penasehat militer Eropa telah mulai
diperjakan untuk memberikan latihan kemiliteran bagi pejabat militer kerajaan.
Percetakan juga didirikan untuk menerbitkan beberapa terjemahan kerya Eropa di
bidang teknik, militer dan geografi. Sultan Salim III (1789-1807)
memperkenalkan program pembaharuan yang pertama, dikebal dengan nama Nizam-i
Jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi pembentukan korp militer baru,
perluasan system perpajakan dan pelatihan untuk mendidik para kaderbagi rezim
baru. Rencana yang dikemukakan oleh Sultan Salim tidak mendapatkan dukungan
dari para Ulama dan kelompok militer Janissari, yang akhirnya ia menjadi kurban
rencana pembaharuan tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun
demikian program pembaharuan tersebut dilakasanakan pada periode Sultan Mahmud
II.
1.
Sultan
Mahmud II (1808-1839)
Mahmud II adalah putera Sultan Abd al-Hamid dan memperoleh
pendidikan di istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hokum, sastra
dan sejarah. kerajaan Turki Usmani pada awal abad ke Sembilan belas dalam
kondisi yang berantakan dan terpecah-belah, mengingat minimnya control politik
pemerintah pusat terdapa pemerintah daerah. Didamping lemahnya konsolidasi
politik internal diperburuk dengan keterlibatan kekuatan militer Turki dalam
berbagai negara asing, baik dengan Perancis, Rusia, Inggris dan lain-lain
seperti yang telah dikemukakan diatas tadi.
Ketika ia naik tahta dan menjadi sultan di kerajaan Turki, Mahmud
II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perubahan internal
itu dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata sehingga menjadi
kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan
tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi local. Pada tahun
1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer model Eropa. Kebijakan ini
akhirnya diprotes oleh Janissari yang telah berdiri pada abad keempat belas
oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya pemberontakan tersebut
dikenal dengan The Auspicious Incident dalam sejarah Turki.[30]
Sentralisasi kekuatan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II
secara beransur-ansur dilaksanakan. Sistem militer lama lenyap secara total
pada tahun 1831 bersamaan dengan dihapusnya system feudal, timar. Kekuatan
militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat
proses sentralisasi politik dan menjadi pendorong proses modernisasi. Selanjutnya
yang dilakukannya adalah tetap menjalin hubungan damai dengan kekuatan asing di
Eropa. Kemudian perbaikan dibidang pendidikan bagi para pejabat militer, dokter
militer dan di bidang administrasi didorong untuk memenuhi tuntutan atas
pembayaran bagi para tentara dengan mendirikan berbagai sekolah baik dibidang
kedokteran, sekolah music kerajaan, akademi militer kerajaan, sekolah tinggakt
menengah bagi masyarakat yang akan dipersipkan untuk menjadi pegawai sipil. Selain
itu didirikan juga sekolah ilmu pengetahuan umum. Terhadap system pendidikan
tradisional, madrasah, ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum
pendidikannya.
Selain itu administrasi pusat juga dibenahi. System kementrian
medel Eropa di perkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab kepada seorang
perdana menteri. Selain itu untuk membantu dalam meletakkan dasar strategi
perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislative dan dikenal
dengan meclis-i Ahkam-i Adliye pada 1838. Begitu juga dibuka lembaga
penerjemahan pada tahun 1833. Kedutaan Besar kerajaan Turki di berbagai negara
asing dibuka kembali.[31]
Kekuatan militer dan system administrasi yang telah diperbaharui
tersebut pada gilirannya menjadi ujung tombak bagi perluasan kekuasaan Sultan
terhadap beberapa penguasa wilayah taklukan yang hendak memerdekakan diri, dan
memperkokoh kekuatan politik kerajaan.
2.
Tanzimat
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i
Khairiye adalah gerakan pembaharu di Turki yang dikenalkan kedalam system
birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Abd al-Majid
(1839-1861), putra sultan Mahmud II, dan Sultan Abd al-Aziz (1861-1876). Pada
periode ini diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar
proses pembaharuan. Pembaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi
Gulkhane, Katti-i Syerif Gulkhane, pada tanggal 3 November 1839.
Tanzimat ini ditindak lanjuti oleh Khatt-i Humayun yang diumumkan pada
tanggal 18 Pebruari 1856.[32]
Tokoh utama pada periode tanzimat adalah Mustafa Pasya, yang
dikenal dengan gelar Bayrakdar. Reformasi yang ia lakukan semasa ia menjadi
perdana mentri adalah melakukan perubahan pada lembaga militer. Ia membentuk
tentara Nizam dalam bentuk yang baru dan membentuk suatu lembaga kerajaan yang
besar. Lembaga tersebut terdiri dari para pejabat tinggi, gubernur, pasya dan
ayan yang berasal dari seluruh penjuru negeri.
Tokoh lain pada periode ini adalah Mustafa Rasyid Pasya
(1800-1858), yang dalam banyak hal sering disebut sebagai arsitek pembaharuan
abad kesembilan belas di Turki. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat
ia diangkat menajdai duta besar di Paris 1834. Jabatannya sebagai duta besar di
Italia memungkinkannya memungkinkannya mempelajari bahasa perancis dan melihat
menajuan yang terjadi di dunia Barat. Pada masa berikutnya ia diangkat menjadi
menteri luar negeri, dan sekembalinya dari London untuk misi khusus, ia
mengambil inisiatif untuk mengumumkan suatu perubahan yang dikenal dalam
sejarah Turki dengan nama tanzimat.
Tokoh tanzimat yang pemikirannya banyak diketahui adalah Mehmed
Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Untuk menyalurkan dan melaksanakan ide
pembaharuannya, ia mendirikan Dewan Tanzimat dan ia sendiri menjadi ketuanya. Untuk
menjadikan Turki sebagai kerajaan yang maju, ia mengajukan beberapa pokok
pikiran. Pertama, Turki hanya dapat mencapai peradaban modern Barat bila dapat
menciptakan suasana damai dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara
Barat. Untuk menjadikan Turki sebagai negara yang makmur, maka tidak ada
pilihan lain kecuali dengan menghilangkan pemerintahan yang absolute, sebab,
dalam tekanan pemerintahan yang otoriter, rakyat akan mengurangi semangat
kerja, mengikis watak kejujuran dalam bekerja sehingga kepentingan pribadi
menjadi lebih penting ketimbang kepentingan negara.
Ide pembaharuan yang mereka lontarkan mendapat sambutan dari pusat
kekuasaan. Sultan Abd al-Majid, pada tanggal 3 Nofember 1839 mengumumkan
deklarasi Gulkhane yang dimaksudkan untuk melakukan reorganisasi secara
structural dan konprehensif atas rezim lama. Deklarasi tersebut mempunyai dua
tujuan yang bersamaan; pertama, untuk memenuhi keinginan kekuatan-kekuatan
bangsa Eropa, yang secara serius telah melakukan intervensi dalam beberapa
urusan dalam negeri Turki sebagai pemecahan krisis Yunani. Kedua, untuk
menumbuhkan rasa percaya diri pemerintahan dalam negeri.
Periode tanzimat diwanai dengan sentralisasi kekuasaan negara dan
pengenalan norma-norma modern Eropa. Untuk mengenalkan norma-norma modern Eropa
itu, kaidah-kaidah hokum Eropa dioerkenalkan dengan intensif, beberapa mahasiswa
dikirim untuk belajar ke Eropa, dan bahkan para pejabat militer dididik di sana
atau di Turki di bawah bimbingan instruktur Eropa.[33]
3.
Usmani
Muda
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, periode tanzimat telah
mengakibatkan terakumulasinya sebagian besar kekuatan di tangan Sultan.
Tanzimat juga melahirkan perkembangan politik yang unik dengan munculnya tiga
kelompok masyarakat yang memandang program itu secara kritis. Perama, kelompok
oposisi dari kalangan tradisionalis. Kedua, kelompok intelektual yang telah
mengenyam berbagai pelatihan birokrasi dan menguasai ide-ide Barat. Sedangkan
kelompok yang ke tiga adalah mereka yang berkeinginan untuk menghapuskan Sultan
sebagai sebuah kekuatan politik.
Kelompok intelektuan yang merupakan kelompok kedua dikenal dengan
Umani Muda, Young Ottomans. Kelompok ini merupakan sebuah komunitas yang telah
mengadakan pertemuan di Paris dan London antara tahun 1867-1871. Pandagan
politik mereka banyak dipengaruhi oleh faham secular dan revolusioner terhadap
ajaran Islam tradisional. Di antara tokoh Usmani Muda adalah Namik Kemal dan
Midhat Pasya.[34]
Bersama Midhat Pasya dan Ziya Pasya, Namik Kemal menyiapkan
perundang-undangan dan proses liberalisasi. Untuk mewujudkan peradaban Islam
yang benar dengan ide pan Islam yang kuat, ia mengajak untuk kembali kepada
ajaran Islam salaf dan menolak ajaran Islam lama yang tidak memuaskannya. Ia
juga yang pertama mengenalkan kepada bangsa Turki konsep tanah air, wathan, konsep
negara, milet, dan konsep kebebasab, hurriyet. Ketiga konsep
tersebut menjadi jargon para pendukun Turki Muda.
4.
Turki
Muda
Diantara tokoh Turki Muda adalah Murad Bey (1853-1912), Ahmad Reza
(1859-1931) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Murad Bey, dalam pandangannya,
sebab kemunduran Turki Usmani bukanlah disebabkan ajaran islam yang
diadopsinya, bukan juga rakyatnya, akan tetapi yang menjadi penyebab kemunduran
Turki Usmani adalah absolutism kekuasaan sultan. Untuk itu, kekuatan sultan harus
dibatasi, dan selanjutnya ia mengatakan bahwa seharusnya Turki mengadopsi
system kenstitusional Barat yang ada, karena system tersebut tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Untuk mengadakan konsolidasi politik di wilayah Kekuasaan Turki, ia
menyodorkan faham Pan-Islam yang akan mengikat wilayah kekuasaan Turki dalam
satu kesatuan agama, Islam.
Ahmad Reza berpendapat bahwa penyebab kesengsaraan rakyat bukan
saja disebab oleh rendahnya teknologi. Tetapi lebih banyak oleh lemahnya system
birokrasi yang ada. Dalam perjalanan intelektualnya ia berkesimpulan bahwa
diantara cara untuk menjaga keruntuhan Turki Usmani adalah dengan meningkatkan
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangannya tentang sentralisasi dan
penolakannya terhadap campur tangan asing di Turki membuatnya berseberangan
dengan Pangeran Sabahuddin yang menginginkan sebaliknya. Ia mengiginkan proses
desentralisasi kekuasaan dan cacpur tangan kekuatan asing untuk membantu proses
reformasi di Turki.
Dalam pandangan Sabahuddin, keperluan mendesak saat itu bagi
masyarakat Turki bukanlah sebuah reformasi politik melainkan sebuah revolusi
social. Sebagaimana Ahmad Reza, ia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh untuk
melakukan revolusi social tersebut adalah pendidikan.
Kaum wanita pada masa Turki Muda memperoleh perhatian besar. Di
bidang pendidikan, kesempatan bagi keum wanita untuk mendapatkan pendidikan
juga dibuka lebar. Kalau periode tanzimat kaum wanita telah memperoleh kesempatan
belajar tingkat dasar, maka pada periode Turki Muda kesempatan bagi wanita
untuk belajar tingkat menengah dan tinggi juga terbuka lebar. Pada tahun 1917
undang-undang keluarga family low, disahkan oleh pemerintah.[35]
5.
Mustafa
Kemal Ataturk
Gerakan tanzimat menumbuhkan bibit-bibit nasionalisme bangsa Turki
di kemudian hari. Semenjak tahun 1860, kalangan intelektual yang merupakan
produk tanzimat mulai mengemukakan pendapatnya melalui gerakan Usmani Muda. Mereka
berkeyakinan bahwa kerajaan Turki hanya akan dapat dipertahankan bila mau
mengadopsi peradaban Eropa tanpa perobahan dari sisi struktur. Gerakan ini
muncul pada saat Sultan Hamid II naik tahta dan ditindak lanjuti dengan gerakan
Turki Muda tahun 1880. Mereka bersatu untuk melawan despotisme Sultan Hamid
yang berbasiskan interpretasi baru atas Faham Ottomanisme. Mereka tidak lagi
diikat oleh kesatuan agama melainkan ide multi-negara.[36]
Setelah kelompok Turki Muda berhasil mengalahkan gerakan pro-Abd
al-Hamid tahun 1909 dengan bantuan pejabat berkebangsaan Arab, mereka
melontarkan ide nasionalisme yang dikenal dengan Turanisme. Gerakan Turanisme
melahirkan kebijakan Turkifikasi yang hakikatnya merupakan proses penindasan
sistematis terhadap budaya dan bahasa bangsa lain yang akhirnya menimbulkan
semangat nasionalisme baru dikalangan bangsa Arab lainnya. Mereka mengharapkan
proses transpormasi system pemerintahan kerajaan Turki Usmani dari system
otokrasi-monarkis menjadi monarki-kostitusional, dengan memberikan kepada
mereka otonemi pemerintahan dan kebudayaan.Dampak nyata dari idiologi
nasionalisme adalah runtuhnya system Khilafah Usmani, yang dibangun atas
pemikiran politik keagamaan yang bersifat supra nasional.
Tokoh utama gerakan nasionelisme Turki adalah Mustafa Kemal, tetpi
ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan isiologi nasionalisme Turki.
Mustafa Kemal sendiri medapatkan inspirasi dari para tokoh USmani Muda dan
Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan
oleh sultan Mahmud II. Di antara pemikir Turki yangmeletakkan dasar semagat
nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian hari dikenal dengan Kemal
Ataturk, di Anatolia, ia bekerja giat untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu
mewujudkan negara Turki yang modern. Di kota tersebut ia berkiprah di Association
for the Defence of the Right of Eastern Anatolia, sebuah gerakan untuk
mempertahankan hak-hak masyarakat Anatolia Timur dan didirikan di Erzurum 3
Maret 1919. Asosiasi ini kemudian hari meluas menjadi asosiasi pembebasan
masyarakat Anatolia dan Rumella dan Mustafa Kemal menjadi ketuanya.
Dengan ditanda tanganinya perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923,
maka secara internasional Pakta Nasional Turki diakui. Berdasarkan kesepakatan
grand Nasional Assembly, disebutkan bahwa yang menjadi penguasa adalah mereka
yang menjadi perwakilan rakyat.
Pada tanggal 6 Desember 1922, Mustafa Kemal mendirikan Partai
Rakyat dan mengundang seluruh kangan terpelajar untuk berkomunikasi lansung
dengannya. Pada tanggal 16 April 1923 Grand Nasional Assembly membubarkan diri
dan mempersiapkan pengadaan pemilu. Anggota Assembly baru hasil pemilu memiliki
anggota 286 dan pada taggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai
presiden dan Fethi sebagai perdana mentri. Dengan ini negara baru Turki berdiri
tidak atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation
(bangsa) dengan ibukota ditengah-tengah negara Turki, yakni Ankara.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Grand Naional Assembly, secara resmi
menghapus lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan
hari libur nasional dirubah dari hari jum’at ke hari Minggu, dan keluar
peraturan keharusan memakai busana BaratDINASTI SALJUK DAN KEMUNDURAN SERTA KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH
A.
Pendahuluan
Keruntuhan
kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul
bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi
yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer
Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa
Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam
perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan
besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih
mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para
hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para
tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan
al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini
merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada
awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di
samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan
bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga
meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan
fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri
dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada
akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini
menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian
yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia
seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania,
dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di
Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti
Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak
perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini
dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.
B.
Sejarah
Pembentukan Dinasti Saljuk
Bangsa
Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz.
Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn
Tukak (Dukak).[3] Ia
merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya
menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua
versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana
dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama
Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya
ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas
terpisah dari kerajaan. Versi kedua
adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya
dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di
mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa
Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk
Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan
besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan
masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia
mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk
agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan
dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan
Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan
mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5]
Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah
Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah
dengan dinasti Khaniyyah.[6]
Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan
memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh
Samaniyyah.[7]
Setelah
Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn
Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan
bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar
Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti
Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah,
kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan
lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada
periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan
Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan
memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul
memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti
ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan
Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi.
Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan
Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9]
Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh
al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium
Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.
Saljuk
Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril
Bek merencanakan dua hal
a.
Melakukan
konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.
Memperluas
kekuasaan
Daerah
kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah
berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di
Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti
Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan
secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang
kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya
dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 –
1051 M ia berhasil merebut Isfahan dan menghancurkan kekuatan Daylamah di
Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M
dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut
Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian
hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan
ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani
Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang
timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu
Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai
kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk
jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari
Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh
panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima
Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10]
Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke
waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya
yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah
al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa
khalifah menandatangani
dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya
hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan
mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan
peninggalan-peninggalan suci lainnya.
Al-Basasiri menguasai istana selama
lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah
al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini
untuk memimpin bala tentaranya masuk
ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir
al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin
Amirul Mukminin serta meletakkan
raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di
nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan
segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di
Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M dan akhirnya
Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada
tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi
kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465
H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai
anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba
melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia
menjadikan kota Rayy sebagai ibu
kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah
Transoksania untuk mengkonsolidasi
wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan
Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan
Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai
melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan
pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah
untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi
wilayah alp-Arselan menjadikan
silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa
kerajaan Khanniyah dan putranya
yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk
menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan
Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu
dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah
Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen
kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan
itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun
harus membayar jizyah kepada kesultanan
Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan
politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke
dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan
kesultanan Saljuk dengan
kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan
menakhlukkan kesultanan Saljuk.
Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai
Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M)
naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu
oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur
Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan
Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy,
ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama,
melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua,
menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk
ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan
berhasil dipertahankan bahkan diperluas:
yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui
keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah
beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah
terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama
setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H /
1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.
2. Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117
M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan
tersebut ditandai dengan munculnya
kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari
kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia
melepaskan diri dari kekuasaan pamannya,
sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya
dipenuhi dengan menjadikan Mahmud
sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan
di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya,
Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia
merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131),
Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 –
1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah
(1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa
Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan
Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun.
Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak
asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan
administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.
3. Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin
Alp-Arselan yang telah mulai
memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078
M atas perintah Maliksyah yang
memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep
(Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai
batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya,
Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung
Tutusy dan ia melarikan diri ke
Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di
bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal
7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan
Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy
(488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah
Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan
di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya
kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah
) dan para amir Arluqiyyah ).[14]
4. Saljuk
Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga
Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari
pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan
kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah
bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke
Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan
berhasil mendirikan pemerintahan di daerah
Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap
kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah
merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba
menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan
tentara yang besar menuju Rayy unuk
memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M).
Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai
tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan
yang dipegang oleh Turan Syah
(1084-1097 M), Iran Syah (1097-1100),
Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156
M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau
Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia
adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II.
Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga
penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan
paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia
digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja
Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan.
Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186
M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187
M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.
5.
Saljuk
Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah
kesultanan kurang lebih 14 orang.
Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin
Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada
masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan
naiklah Alp-Arselan, ia melakukan
pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam
al-Mulk, keluarga ini selamat
dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai
gelar amir.
Selanjutnya,
pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia
Kecil atas perkenanan dari Malik Syah.
Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada
tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia.
Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak
penaklukan. Ada dua hal yang
perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan
kebebasan beragama pada masa
Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum
memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan
milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi
munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah
Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I, ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga
ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk
mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan
tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota
ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam
melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di
sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah
sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij
Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192
N1), Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M),
Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin
Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin
Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin
Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin
Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada
petnerintahan Alaudin Kaikobad (
1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang
melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan
membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan
Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan
intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia
kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya
mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.
C.
Kemajuan
yang dicapai Dinasti Saljuk
a.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Pada
masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami
kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham
al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas
Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah
seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama,
pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada
masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam
bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid
al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam
bidang sastra dan matematika.[19]
b.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada
masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang
sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka
melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya
seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai
seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya
pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia
Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis,
Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan
dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan
tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan
tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan
harga diri dan kaumnya.[20]
c.
Bidang
Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan
motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran
irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara
dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di
Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut
dijadikan sekolah.[21]
D. Kemunduran dan Kehancuran
Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena
fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti
kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang
melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah
ini.
a. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut.[22]
a.
Perebutan
Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara
itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak
bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada
bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi
orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami, sehingga
khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah
al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat
jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut
oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya
beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]
b.
Munculnya
Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda,
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah
yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah
hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada
kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal,
dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat
untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah dan juga para penguasa Abbasiyah
lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26]
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri
adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi
gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah
di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada
masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259
H), Shafariyah di Fars
(254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad
(320-447).
2.
Yang
berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan
(320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.
Yang
berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.
Yang
berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia
(180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah
di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.
Yang
Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]
c. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitulmal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang
drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran
ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak
dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin
mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.
Munculnya
Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk
menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah
pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat
digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang
Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan
mereka serta melakukan mihnah
dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah,
sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah
memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M), kembali memperkenankan orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah
Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah
di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran
Islam lainnya seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut
paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]
b. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan
faktor-faktor internal kemunduran dan
kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah
200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat
Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul
Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib. Perang
salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak
menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan
peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli
dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia
banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja
Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerussalem.[35]
2. Serangan Mongolia Ke Negeri
Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.
Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan
oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui sahara yang dikenal keras kepala dan suka
berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan
Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai
negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum
kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka
pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah
al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat
ke base camp pasukan mongolia.
Setelah itu para pemimpin dan fuqaha
juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan
pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan
kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang
dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang
Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
A.
Pendahuluan
Harun Nasution membagi sejarah Islam
kepda tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode
modern.[1] Cikal
bakal kekuasaan Islam di India bermula pada periode klasik yaitu pada masa Bani
Umayyah dibawah kekuasaan khalifah Walid bin Abdul Malik, yaitu pada
periode 705-715 M.
Pada periode pertengahan, muncul tiga kerajaan
besar, yakni kerajaan Usmani di turki, kerajaan Shafawi di Persia dan kerajaan
Mughal di India. Kerajaan Mughal merupakan kerajaan termuda dari ketiga
kerajaan tersebut, berdiri seperempat abad setelah berdirinya kerajaan Shafawi
di Persia.[2]
Kerajaan Mughal membawa keharuman terhadap sejarah umat Islam, dimana pada saat
itu segenap dunia Islam mengalami kemunduran. Kerajaan Mughal sempat membuat
bangsa lain tercengang, umat lain menjadi segan karena kegagahan dan kegigihan
sultan-sultannya yang membangun suatu kerajaan Islam di wilayah belahan Timur
dunia.
Maka pada makalah ini pemakalah coba
memaparkan tentang fakta sejarah yang berkaitan dengan kerajan Mughal di India,
yaitu diantaranya dengan Asal-usul berdirinya kerajaan Mughal politik dan pemerintahan, Ekonomi dan
perdagangan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan kemajuan yang telah dicapai
pada masa kerajaan tersebut dan penyebab keruntuhan kerajaan tersebut.
B.
Dinasti Islam Di India Sebelum
Pendirian Dinasti Mughal
Sejak zaman Nabi
SAW, India telah memiliki sejumlah pelabuhan sehingga terjadi interaksi antara India
dengan Nabi SAW. Oleh karena itu, dagang dan dakwah menyatu dalam satu kegiatan
sehingga raja Kadangalur, Cheraman Perumal, memeluk agama Islam dan mengganti
namanya menjadi Tajuddin, dan ia sempat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Pada
zaman Umar ibn Khatab, Mughirah berusaha menaklukan Sind, tapi usahanya gagal
(246-644). Pada zaman Usman ibn Affan dan Ali ibn Thalib, dikirim utusan untuk mempelajari
adat-istiadat dan jalan-jalan menuju India. Pada zaman Mu’awiyah I, Muhammad
ibn Qasim berhasil menaklukan dan diangkat menjadi amir Sind dan Punjab.
Kepemimpinan di Sind dan Punjab dipegang oleh Muhammad ibn Qasim setelah
berhasil memadamkan perampokan-perampokan terhadap umat Islam disana. Karena
pertikaian internal (antara al Hajjaj dan Sulaiman), dinasti ini melemah; dan
ketika keadaan lemah, dinasti ini ditaklukan oleh dinasti Gazni.[3]
Pada zaman Al-Ma’mum
(khalifah dinasti Bani Abbas), diangkat sejumlah amir untuk memimpin
daerah-daerah. Diantara yang dipercaya untuk diangkat menjadi amir
adalah Asad ibn Saman utuk daerah Transoxsiana. Ia diangkat menjadi amir
setelah berhasil membantu khalifah Bani Abbas dalam menaklukan dinasti Safahari
yang berpusat di Khurasan. [4]
Dinasty Samani
(874-999) mengangkat Alpatigin menjadi amir di Khurasan. Alpatigin
kemudian digantikan oleh anaknya, Ishak. Ishak dikudeta Baltigin; Baltiqin diganti
oleh Firri; dan Firri dijatuhkan oleh Subuktigin. Subuktigin menguasai Gazna dan
kemudian mendirikan dinasti Gaznawi (963-1191 M). Dinasty gaznawi ditaklukan
oleh dinasti Guri (1191). Setelah meninggal, Muhammad Gurri diganti oleh
panglimanya, Quthbuddin Aibek (karena Muhammad Guri tidak memiliki anak
laki-laki). Quthbuddin Aibek menjadi sultan sejak tahun 1206 M. Sejak itu
berdirilah kesultanan Delhi terdiri atas : a. Dinasti Mamluk di Delhi
(1206-1290); b. Dinasti Khalji (1290-1320); c. Dinasti Tughluq (1320-1414 M);
d. Dinasti Sayyed (1414-1451 M); dan e. Dinasti Lodi (1451-1526 M).[5]
C.
Asal
usul Kerajaan Mughal
Kerajaan
Mughal adalah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di India dari abad ke- 16
hingga abad ke- 19. Dinasti ini didirikan oleh Zaharuddin Babur yang merupakan
keturunan Timur Lenk, penguasa Islam asal Mongol.[6]
Babur adalah
nama kecil dari Zaharuddin, yang artinya singa, ia lahir pada hari Jum’at 24
Februari 1483. Ayahnya bernama Umar Mirza menjadi amir di Fergana, turunan
lagsung dari Miransyah putra ketiga dari Timur Lenk. Sedangkan ibunya berasal
dari keturunan Jengkuai, anak kedua dari Jengis Khan. Pada usia 11 tahun, Babur kehilangan ayahnya dan sekaligus
menggantikan kepemimpinan ayahnya dalam usia yang masih sangat muda. namun
demikian ia sangat pemberani sehingga kelihatan lebih matang dari usianya. Dia
mendapat latihan sejak dini, sehingga memungkinkannya untuk menjadi seorang
pejuang dan penguasa besar. [7]
Ia berusaha
menguasai Samarkand yang merupakan kota terpenting dia Asia Tengah pada saat
itu. Pertama kali ia mengalami kekalahan untuk mewujudkan cita-citanya.
Kemudian berkat bantuan Ismail I, Raja Safawi, sehingga pada tahun 1494, Babur berhasil
menaklukan kota Samarkand, dan pada dengan Tahun 1504 menaklukan Kabul, ibukota
Afganistan. Dari Kabul Babur melanjutkan ekspansi ke India yang pada saat itu
diperintah Ibrahim Lodi.[8]
Ibrahim Lodi
(cucu sultan lodi), sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan yang
menentangnya.[9]
Ketika itu kewibawaan kesultanan sedang merosot, karena ketidak mampuannya
memimpin, atas dasar itulah Alam Khan keluarga Lodi yang lain mencoba
menggulingkannya dengan meminta bantuan
Zahiruddin Babur (1482-1530 M). Permintaan itu langsung diterima oleh Babur dan
bersama pasukannya menyerang Delhi. Pada tanggal 21 April
1526 M terjadilah pertempuran yang sangat dasyat di Panipat. Ibrahim Lodi
beserta ribuan pasukannya terbunuh, dan Babur langsung mengikrarkan
kemenangannya dan mendirikannya pemerintahannya. [10]
Setelah mendirikan kerajaan Mughal,
Babur berusaha memperkuat kedudukannya. Di pihak lain raja-raja Hindu di
seluruh India menyusun angkatan perang yang besar untuk menyerang Babur dan di
Afganistan, golongan yang setia pada keluarga Ibrahim Lodi mengangkat saudara
kandung Ibrahim, Mahmud Lodi menjadi Sultan. Sultan Mahmud Lodi bergabung
dengan raja-raja Hindu tersebut. Kali ini berarti harus berhadapan dengan
pasukan koalisi, namun Babur tetap dapat mengalahkan pasukan koalisi itu dalam
pertempuran dekat Gogra tahun 1529 M. Akan tetapi ia tidak lama menikmati hasil
perjuangannya. Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Desember 1530 M pada usia 48
tahun setelah memerintah selama 30 tahun. [11]
Setelah Babur meninggal,
Zahirudin Babur digantikan oleh anaknya, Nashiruddin Humayun (1530-1539M). [12]
Humayun dalam
menjalankan roda pemerintahanya banyak menghadapi tantangan. Sepanjang masa
pemerintahanya negara tidak pernah aman. Ia senantiasa berperang melawan musuh.
Diantara tantangan yang muncul adalah Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang
memisahkan diri dari Delhi. Pemberontakan ini dapat dipadamkan, Bahadur Syah
melarikan diri dan Gujarat dapat dikuasai. Pada tahun 1540 M terjadi
pertempuran dengan Syer Khan di Kanauj, dalam peperangan ini Humayun mengalami
kekalahan. Ia terpaksa melarikan diri ke
Kandahar dan selanjutnya ke Persia ia mengenal tradisi Syi’ah, bahkan sering
dibujuk untuk memasukinya, begitu pula dengan anaknya Jalaluddin Muhammad
Akbar. Di sini pula ia membangun kekuatan militer yang telah hancur, dan berkat
bantuan Syah Tahmasph yang memberikan pasukan militer sebanyak 14.000 tentara,
maka pada tahun 1555, Humayun mencoba merebut kembali kekuasaannya dengan
menyerbu Delhi yang pada saat itu diperintah Sikandar Sur. Akhirnya, ia bisa
menaklukan kota ini dan ia memerintah kembali pada tahun 1556 M.[13]
Kemudian Humayyun digantikan oleh
anaknya, Abu al-Fath Jalal al-Din Muhammad Akbar. Lebih dikenal dengan sebutan
Akbar, dilahirkan di Amarkot, 15 Oktober 1542 M. dan memerintah (1556-1605 M)
dari usia 14 tahun. Akbar sebagai wali
sultan yang masih muda maka diangkatlah Bairam Khan. Bairam seorang yang cakap,
namun bukan orang yang bijaksana.[14]
Akbar adalah seorang laki-laki yang memiliki naluri kerajaan yang kuat ”seorang
raja katanya, harus selalu sungguh-sunguh terhadap penaklukan; jika tidak, maka
negeri tetangganyalah yang akan mengangkat senjata terhadapnya. Prinsip tersebut membuat Akbar bertekad
menjadi penguasa tertinggi di India yang tak dapat digugat. Pada tahun 1605 M.
Akbar meninggal dunia. Masa kepemimpinan Akbar adalah puncak kejayaan kerajaan
Mughal, tidak hanya dalam bidang politik dan militer saja, tapi juga dibidang
ekonomi, pendidikan, seni dan budaya, administrasi, dan keagamaan. Kemajuan
yang telah dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya,
yaitu Jehangir (1605-1628M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707
M). tiga Sultan penerus Akbar ini memang terhitung raja-raja yang besar dan
kuat. Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh
raja-raja berikutnya.[15]
Berikut ini akan dirinci fase-fase pemerintahan Mughal :
a.
1526-1530 M dipimpin oleh Zahiruddin Muhammad Babur
b.
1530-1556 M dipimpin oleh Humayun
c.
1556-1605 M dipimpin oleh Akbar Syah I
d.
1605-1627 M dipimpin oleh Jahangir
e.
1627-1658 M dipimpin oleh Syah Jehan
f.
1658-1707 M dipimpin oleh Aurangzeb (Alamgir I)
g.
1707-1712 M dipimpin oleh Bahadur Syah I
h.
1712-1713 M dipimpin oleh Jihandar Syah
i.
1713-1719 M dipimpin oleh Farrukh Siyar
j.
1719-1748 M dipimpin oleh Muhammad Syah
k.
1748-1754 M dipimpin oleh Ahmad
l.
1754-1759 M dipimpin oleh Alamgir II
m.
1759-1806 M dipimpin oleh Alam II
n.
1806-1837 M dipimpin oleh Akbar II
o.
1837-1858 M dipimpin oleh Bahadur Syah II[16]
D.
Kemajuan Kerajaan Mughal
Kejayaan kerajaan Mughal
dimulai pada masa pemerintahan Akbar, keberhasilan Ekspansi Militer Akbar
menandai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni
kota Kabul dan Turkistan oleh pemerintahan kerajaan Mughal India.[17]
Kita dapat merinci kemajuan-kemajuan kerajaan Mughal yang
dicapai oleh masing-masing raja yang memiliki kemajuan masing-masing sebagai
berikut:
1. Politik dan
Pemerintahan
a.
Akbar membentuk sitem
pemerintahan militeristik. Dalam pemerintahan tersebut, pemerintahan daerah
dipegang oleh seorang Sipah Salar (kepala komandan). Sedang wilayah listrik
dipercayakan kepada Faudjar (komandan). Jembatan-jembatan sipil juga diberi
jenjang kepangkatan yang bercorak kemiliteran, pejabat-pejabat itu harus
mengikuti latihan kemiliteran.[18]
b.
Akbar juga menerapkan politik
Sulukhul (toleransi universal). Politik
ini mengandung ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukanya. Mereka tidak
dapat dibedakan menurut etnis dan agama. Politik ini dapat menciptakan
kerukunan masyarakat India yang sangat beragam.[19]
c.
Untuk undang-undang kerajaan, Sultan Akbar membuat Din
Ilahi yaitu suatu pandangan dan sikap keagamaan resmi kerajaan yaitu
unsur-unsur agama Islam, Hindu, Persia Kristen dan sebagainya yang harus dianut
oleh setiap orang.[20]
d.
Pada masa pemerintahan Aurangzeb telah terdapat jalinan
kerjasama dengan negara-negara Islam diluar India. Sejumlah penguasa Islam
telah mengirim duta atau perwakilan negara mereka ke Delhi, misalnya Syarif
Makkah, raja-raja Persia, Balkh, Bukhara dan Kasgar; para gubernur Turki
Basrah, Yaman dan Hadmarut, para pemimpin negeri Maghiribi dan Raja Arbesinia.[21]
2. Bidang ekonomi dan perdagangan
Untuk mengelola ekonomi pertanian
pemerintah juga mengatur tentang organisasi pertanian. Setiap perkampungan
petani dikepalai oleh seorang pejabat local, yang dinamakan muqaddam, yang mana
kedudukannya dapat diwariskan, dia mempunyai tanggung jawab menyetorkan
penghasilan untuk menghindari tindak kejahatan. Kaum petani dilindungi hak
kepemilikan tanah dan pewarisan, tetapi jika tidak loyal maka pejabat lokal
berhak menyitanya.[22]
3. Bidang Pendidikan dan Iptek
Dalam bidang pendidikan, Akbar membangun
bangunan khusus untuk tempat pengajian ilmu, dia juga berusaha menarik simpati
para ulama dengan menghibahkan sejumlah madrasah dan perpustakaan..[23]
4. Bidang Seni dan Budaya
a.
Seni Budaya dan arsitektur puncaknya terjadi pada masa
sultan Syah Jahan yang ditandai dengan berbagai karya budaya fisik, seperti
karya arsitektur monumental Taj Mahal, yang merupakan bangunan indah, yang
dimaksudkan sebagai tanda cinta kasihnya kepada istri tercinta Mumtaz Mahal. Taj
Mahal juga salah satu keajaiban dunia dan merupakan lambang peradaban dan
kebudayaan Islam masa Lampau di India. Selain itu juga Shah Jahan telah
membangun Masjid Mutiara, Masjid Jami’ di Delhi, serta takhta Merak, yaitu
singgasana yang dibuat dari emas, perak, intan, serta permata cemerlang.[24]
b.
karya seni yang
menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia
maupun India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang
sastrawan sufi menghasilkan karya besar
berjudul Padmavat, sebuah karya yang mengandung pesan kebajikan jiwa
manusia. Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl
dengan karyanya bernamma Akbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah
kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya.[25]
Akbar mensponsori ajaran Din Illahi,
yaitu ajaran campuran berbagai unsur kepercayaan Hindu dan tasawuf dari unsure
syi’ah.
G. Kemunduran dan Kehancuran
kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti
Mughal berada dalam kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup
mempertahankan kebesaran yang telah dicapai oleh pendahulu-pendahulunya.
Kejayaan Mughal hilang dengan kematian Aurangzeb Satu persatu penguasa daerah
melepaskan diri dari pemerintahan pusat di Delhi.
Pengganti Aurangzeb adalah Mu’azzam,
setelah ia meninggal tahta digantikan anaknya Azhim al-syah. Akan tetapi di
tentang Zulkifar Khan, anak ‘Asad Khan (wazir Aurangzeb. Azaim al-syah
meninggal tahun 1712 M. ia digantikan oleh anaknya Jihandar Syah, tetapi ia
disingkirkan oleh adiknya sendiri Faruq Syah pada tahun 1713M. Jadi dalam dua
tahun saja telah terjadi empat kali pergantian sultan. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana kondisi
kerajaan Mughal saat itu.
Konflik-konflik yang berkepanjangan
mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu
persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat. Bahkan cenderung
memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.. disintegrasi mulai terjadi,
satu persatu daerah kekuasaan Mughal mulai melepaskan diri. Keadaan ini
diperparah lagi dengan datangnya ancaman baru yang lebih kuat, yaitu datangnya
perusahaan Inggris (EIC) yang memiliki senjata modern melawan pemerintahan
Mughal. Peperangan berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai
dengan melepaskan daerah Oudh, Bengal dan Orisa kepada Inggris.
Pada saat tiga sultan berkuasa yaitu,
Syah Alam, Akbar II dan Bahadur Syah, Inggris diberi kepercayaan untuk
mengembangkan usahanya. Dengan jaminan memberikan fasilitas kehidupan Istana
dan keluarganya.pada saat terjadinya krisis EIC mengalami kerugian dan
Inggrispun mulai mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat
dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa tertekan, maka terjadilah
pemberontakan rakyat dibawah pimpinan sultan Bahadur Syah pada bualan Mei 1857
M.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan
dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa Hindu dan
Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam kepada pemberontak.
Mereka diusir dari kota Delhi, rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan
Bahadur Syah, sultan Mughal terakhir diusir dari istana (1858 M). dengan demikian,
berakhirlah sejarah kekuasaaan kerajaan Mughal di India.[26]
Ada beberapa factor yang menyebabkab
kekuasaan kerajaan Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir, dan
membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
1. Terjadi
stagnasi dalam pembinaan kekuasaan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat dipantau oleh kekuatan maritime Mughal.
Begitu juga tidak terampilnya dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal
sendiri.
2. Kemerosotan
moral dan hidup mewah dikalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan
dalam penggunaan uang negara.
3. Kurang
cakapnya pemerintahan Aurangzeb sehingga konflik antar agama terjadi sangat
sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya
4. Semua
sultan pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam
bidang kepemimpinan.
0 komentar:
Posting Komentar