Home » » Islam Pada Abad Pertengahan & Modern (Version 2)

Islam Pada Abad Pertengahan & Modern (Version 2)

PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH BANI UMAIYAH (661-750)

A. Pendahuluan
                        Kajian tentang sejarah peradaban Islam, tidak terlepas dari keberadaan sebuah Dinasti yaitu Dinasti Bani Umaiyah yang berkuasa selama lebih kurang 90 tahun (41- 132/661-750). Dinasti ini didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan Ibn Harb Ibnu Umayyah melalui peristiwa tahkim ketika pecahnya perang Sifin di Daumatul Jandal. Kehadiran Dinasti Umayyah telah memberi warna baru dalam bebakan sejarah pemerintahan Islam dengan sistim pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistim yang diterapkan pada pemerintahan Islam yang pada masa-masa sebelumnya, baik pada masa Rasulallah SAW maupun pada masa Khulafaurrasyidin . sistim pemerintahan yang baru ini banyak sorotan dan ketidak pauasan dikalangan masyarakat Islam pada umumnya.
                        Terlepas dari persoalan sistim pemerintahan yang diterapkan, sejarah telah mencatat bahwa Dinasti Umayyah adalah Dinasti Arab pertama yang telah memainkan perang penting dalam perluasan wilayah, ketinggian peeradaban dan menyebarkan agama Islam keseluruh penjuru dunia, khususnya eropa, sampai akhirnya dinasti ini menjadi adikuasa.
                        Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak. Ia juga berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai kemakmuran dan kekayaan yang melimpah. Pemerintahan Bani Umayyah dimulai dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebalaiknya ada khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan Khalifah Umayyah adalah sebagai berikut:
41 H/661 M                 -           Muawiyah I (Muawiyah Ibn Abi Sufyan)
60 H/680 M                 -           Yazid I            (Ibn Muawiyah)
64 H/686 M                 -           Muawiyah II (Ibn Yazid)
64 H/683 M                 -           Marwan I ( Ibn Hakam)
65 H/685 M                 -           Abdul Mali (Ibnu Marwan)
86 H/705 M                 -           Al-Walid I (Ibn Abd Malik)               96 H/715 M                 -      Sulaiman (Ibn Abd Malik)
99 H/717 M                 -           Umar (Ibn Abd Azis)
101 H/720 M               -           Yazid II (Ibn Abd Malik)
105 H/ 724 M              -           Hisyam Ibn Abd Malik
125 H/743 M               -           Al-Walid II (Ibn Yazid II)
126 H744 M                -           Ibrahim (Ibn al-Walid II)
127 H-123 H/744-750-           Marwan II (Ibn Muhammad)
Ahli sejarah mencatat bahwa Khalifah terbesar adalah Muawiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[1]
                  Melihat pentingnya pembelajaran mengenai corak pemerintahan Bani Umayyah, maka pada seminar makalah kali ini penulis akan membahas sekelumit tentang Dinasti Umayyah, dari awal berdirinya sampai kepada permasalaahan yang dicapai dalam pemerintahan. Untuk itu mudah-mudahan makalah ini bermamfaat bagi penulis dan untuk kita bersama, serta penulis sangat mengharap kritik dan saran yang bersifat bisa memajukan untuk penulis.
B. Sejarah Berdirinya Bani Umayyah
Nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan.  Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy.[2]
   Setelah terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali as dengan Muawiyah  bin Abi Sofyan pada 41 H/661 M, maka secara resmi Muawiyah diangkat menjadi Khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam di pindahkan olehg Muawiyah dari kota Madinah Ke Damaskus.[3]
C. Bentuk Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
                        Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah ke Damaskus, maka pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umur Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbas setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.[4]
                        Atas perobahan bentuk pemerintahan dari demokrasi ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali dengan Abdullah bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota Madinah. Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan  (661-680 M), Abd Al-MAlik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
D. Kebijakan dan Orientasi Politik
                  Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan bermacam-macam cara dan srategi, bahkan dengan menggunakan kekerasan, deplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan dan suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan sejara turun-menurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadapnya. Muawiyah bermaksud mencontoh manarchi di Persia dan Bazantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interpristasi baru dari kata-kat untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebut “ Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah SWT.[5]
                        Selama Bani Umayyah memerintah banyak terjadi kebijakan politik yang dilakukan pada masa pemerintahannya seperti:
  1. Pemisahan kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama (spiritual pawer), dengan kekuasaan politik (timporer pawer). Sebelumnya pada masa Khalifah Rasidin belum terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan kekuasaa agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah dapat dipahami karena Muawiyah sebagai penguasa pertama Negara ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada ‘Ulama. Oleh karena itu dikota-kota besar dibentuk para qhadi/hakim, pada umumnya para Hakim menghukum sesuai dengan ijtihatnya yang sesuai dengan landasan Al-Qur’an dan Hadist.
  1. Pembagian Wilayah
Dalam hal pembagian wilayah, pada masa pemerintahan yang di pimpin oleh Muawiyah terjadi perubahan yang besar. Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, terdapat lapan provinsi. Maka pada masa pemerintahan yang di pimping Muawiyah menjadi sepuluh provinsi, seperti a. Syiria dan Palisrtina, b, Kuffah dan Irak, c. Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd, Yamamah, d. Armenia, e. Hijaz, f. Karman dan India, g. Egypt h. Afrikiyyah (Afrika utara), i. Yaman dan Arab Selatan, j. Andalus. Disini Cuma Mesir saja yang tidak terjadi perubahan, selibihnya terdapat perubahan wilayah.
Setiap provinsi tetap dikepalai oleh Gubernur yang bertanggung jawab langsung terhadap Khalifah. Gubernur berhak menunjukkan wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka dinamakan dengan  ‘Amil. Belanja daerah tiap-tiao provinsi didapatkan dari sumber yang ada di daerah itu sendiri. Sisa dari keuangan di daerah dikirimkan ke ibu kota untuk mengisi kas atau Bait Al-Mal Negara.
  1. Bidang Administrasi Pemerintah
                  Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang dipimping oleh Muawiyah dibentuk beberapa Dewan (depertemen) yang terdiri dari:
a.       Dewan Al- Rasail
                  Diistilah kan dengan Sekrataris Jenderal, berfungsi mengurus surat-surat Negara yang ditujukan kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari mereka. Dewan Al-Rasail terbagi kepada dua yaitu
1). Sekratariat Negara (di pusat) yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
2). Sekratariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan persi sebagai bahasa pengantar. Setelah bahasa arab dijadikan bahasa resmi seluruh Negara Islam, bahasaYunani dan persi yang terdapat di provinsi berubah kedalam bahasa arab.
b.   Dewan Al-Kharraj
                  Dewan ini beroperasi disektor pengambilan pajak dan keuangan. Yang dibentuk pada setiap provinsi yang dikepalai Shahib Al-Kharaj yang diangkat oleh Khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.
c.       Dewa Al-Barid
                        Disebut juga dengan Badan Intelejen Negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Kepala dewan ini memberikan emformasi tentang tingkah laku para gubernur di daerah atau hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah. Pada masa pemerintahan Abdul Maalik, berkembang menjadi Depertemen Pos khusus urusan pemerintah. Dengan demikian kerjanya semakin luas,
      d.  Dewan Al-Khatan
                        dewan Al-Khartan ( Depertemen Pencatatan), pertama didirikan oleh Muawiyah. Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Khalifah harus disalin dalam satu regester, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju
e.  Al-Imaroh Alal Buldan.
   Muawiyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah kepada lima wilayah besar yaitu:
            1). HIjaz, Yaman dan Nejid (perdalaman daerah Jazirah Arabia)
      2). Irak, Arab (negeri-negeri Babilon Asyrura Lama)
                  3). Mesir dan Sudan
                   4). Armenia, Asia Kecil
                   5). Afrika Utara, Lybia, Andalusia, Sicilia, dan Sidinia
f. Politik Arabisasi
         Pada masa pemerintahan Bani Umayya ( sejak khalifah Abd Malik bin Marwan) berkembang istilah arabisasi usaha-usaha penggaraban oleh Bani Umayyah diwilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Termasuk disini pengangkatan pengajaran bahasa arab, penerjemahan buku-pbuku asin kedalam bahasa arab[6].
g. Shurthah (Kepolisian)
                        Pada mulanya organisasi Kepolisian menjadi bagian dari organisasi Kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan Kepalanya sebagai Kepala al- Hudud. Tidak lama kemudian, maka organisasi Kopolisian terpisah dari kehakiman, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kerajaan.
D. Organisasi Negara dan Susunan Pemerintahan
      1. Kebijakan Militer Daulah Bani Umayyah
                  Organisasi meliter pada masa kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan, tidak jauh berbede dengan apa yang telah dibuat oleh Khalifah Umar Ibn Khatab. Hanya lebih disempurnakan, perbedaan terletak pada, kalau masa Umar, tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa pemerintahan yang dipimping oleh Muwawiyah yang menjadi tentara adalah orang-orang yang dipaksa atau setegah paksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan Undang-undang wajib militer yang dinamakan “Nidhamul Tajnidi Ijbari”. Politik ketenteraan muawiyah ini yaitu politik Arab. Dimana tentaranya harus berasal dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Keadaan ini terus berjalan sampai wilayahnya menjadi luas meliputi Amerika Utara dan Andalusia. Karena luasnya wilayah, maka mereka meminta bantuan bangsa Barbar untuk menjadi tentara.[7]
a. Perluasan ke Asia Kecil
                        Setelah Muawiyah berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan didalam Negeri, mulailah dia mengarahkan perhatiannya untuk mengembangkan wilayah Islam ke imperium Bazentium. Untuk itu dia mempersiapkan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan  perlengkapan dan pembekalannya. Lalu dia menyerang pulau-pulau dilaut tengah, sehinga berhasil menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Setelah berhasil menguasai pulau-pulau tersebut, Muawiyah mulai pula mengerahkan anggatan lautnya yang lebih besar untuk menggepung kota Konstatinopel dibawah pimpinan Yazid bin Muawiyah yang didampingi Abu Ayub al-Anshari, Abdulah Ibn Zuber, Abdullah Ibn Umar  dan Ibnu Abass. Pengepungan kota Konstatinopel berlangsung selama 7 tahun (54-61 H). penyeragan pertama ini gagal karena Leon Mur’asy berkhianat, berbalik menyerang kaum Muslimin, setelah mendapat bantuan kaum Muslimin untuk menyerang Bazintium.
2.  Perluasan ke Timur
            Ke arah timur, Muawiyaah dapat menaklukkan daerah Kkurasan sampai ke sungai Oxus dan dari Afganistan sampai ke Kabul (674 M). ekspansi ketimur ini diteruskan pada zaman Abd al-Malik dibawah pimpinan al-Hajaj Ibn Yusuf. Tentara yang dikirimnya menyeberagi sunag Oxus, kemudian dapat menundukkan daera Balkh, Bukhara, Khawariz, Firghana dan Samarkand. Selanjutnya pasukan muslim juga sampai di India dan serta dapat menguasai Bulukhistan, Sind, daerah Punjab sampai ke Multan (713 M)
3.   Perluasan ke Afrika Utara
                        Tugas ini dipercaya kepada Uqbah Ibn Nafi’ al-fahri. Dia berusaha menarik bangsa barbar untuk masuk Islam. Karena kemahiran dan kebaraniannya, Uqbah dapat mengalahkan armada Bazantium di daerah pantai, demikian pula bangsa Barbar diperdalaman. Dengan demikian daerah Tripoli dan Fazzan daapat dikuasai. Selanjutnya dia terus ke Selatan sampai ke Sudan, setelah itu ke Mesir. Kemudian disebuah lembah yang terletak jauh dari pantai, dia membangun kota Qairawan pada tahun 50 H/670 M. didalam kota ini di bangung Mesjid, asrama-asrama meliter, gedung-gedung pemerintahan serta perumahan perwira dan keluarganya. Pada masa pemerintahan Abdul Malik (685-750 M) dia mengirim Hasan Ibn Nu’man al-Ghasani, sehingga pasukan ini berhasil mengalahkan pasukan-pasukan Bezentium dari Afrika Utara dan menumpas perlawanan bangsa Barbar.[8] Dengan demikian, negeri-negeri dari Mesir sampai kepantai laut Atlantik menjadi bagian kekuasaan Islam.
4.  Perluasan ke Barat
            Perluasam ke Barat terjadi pada masa Khalifah Al-Walid (705-715 M) pasukan muslim yang dipimpin oleh Musa Ibn Nusyair dapat menaklukkan Jazair dan Maroko tahun 89 H. kemudian mengangkat Thariq Bin Ziyat sebagai wali pemerintahan daerah tersebut pada tahun 92 H/711 M. Thariq menyerang selat antara Meroko dengan bedua Erofa. Dia mendarat di Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spayol di bawah pimpinan Raja Rhoderic berhasil dikalahkan (95 H/714 M). Akhirnya Tolido ibu kota Spayol dapat direbut pada tahun itu juga. Demikian kota-kota lain seperti Sevele, Malaga, Elvira, dan Cordova. kemudian menjadi ibu kota propinsi wilayah islam Spayaol.
            Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M) mengirim Abd Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi untuk menyerang kota Bardean dan Politers. Namun usaha ini gagal karana Charles Martel. Dalam pertempuran tersebut dia mati terbunuh (721 M)
            Usa perluasan wilayah  ini menjadi Islam terbesar ke  penjuru dunia. Dalam masa inilah benih-benih kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Islam berkembang di Spayol lebih kurang 6 Abad. Orang-orang Erofa banayak menuntuk ilmu ke Spayol sehingga Erofa bangkit menjadi Negara maju.[9]
E.  Kedudukan Amir al-Mukmin
                        Pada masa pemerintahan yang dipimpin  Muawiyah, Amir Mukmin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang temporal (politik), sedangkan urusan keagamaan diurus oleh para ulama. Hal ini berbeda dengan Amirul Mukmin pada masa khalifah Rashydin yang mana khalifah disamping kepala politik juga kepala agama. Pada masa Muawiyah ini khalifah diangkat secara turun temurun dari keluarga Umayah.[10]
F.  Sistim Sosial (Arab Malawi)
                        Masyarakat dunia Islam begitu luas terdiri dari pelbagai kelompok etnis, Arab, Persia, Rusiah, Kopti, Barbar, Vandal, Gothik, Turki dan lain-lain. Orang-orang Arab, meskipun merupakan unsur monoritas di daerah-daerah yang ditaklukkan, tetapi mereka memengang peranan penting dalam politik dan soaial. Orang Arab menganggap bahwa mereka lebih mulia dari kaum muslimin bukan Arab sendiri. Kaum muslimin bukan Arab (non-Arab) digelar dengan nama Al-Muali (asal mula Muwali), yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan. Kemudian disebutnya Muali semua orang Islam yang bukan Arab.
                        Bahkan mereka menggelarkan “Mawali” dengan Al-Hamra (Si Merah). Orang-orang Arab memandang dirinya “Sayid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan tuan untuk memerintah. Oleh karena itu, orang-orang Arab dalam zaman ini hanya bekerja dalam bidang politik dan pemerintahan melulu, sedangkan bidang usaha-usaha lain diserahkan kepada “Mawali” seperti pertukangan dan kerajinan. Mawali ini membayar pajak jiwa (Jiziyah) sama dengan orang non-Islam yangf tinggal diwilayah Islam.
                        Akibat dari politik kasta yang dijalankan Dinasti Umayah ini, maka banyaklah kaum Muwali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij. Akhirnya kaum Mawali menjadi berani untuk menentang kesombongan Arab dengan kesombongan pula, dengan dalil Al-Qur’an dan Hadist, bahwa tidak ada kelebihan orang arab atas orang ajam (Mawali) kecuali denga bertaqwa. Di kalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan Asy-Syu’ubiyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin yang sebetulnya mereka adalah bersaudara.[11]
G. Sistim Fiskal (Keuangan ).
                        Ada beberapa tambahan sumber uang pada zaman Dinasti Umayyah, seperti al-Dharaaib, kewjiban yang harus dibayar oleh warga Negara. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang baru dilakukan, terutama yang baru masuk Islam ditetapkan pajak-pajaak istimewa. Saluran uang keluar, pada masa Daulah Bani Umayah pada umumnya sperti permulaan Islam. Yaitu untuk.
1.      Gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha Negara.
2.      Pembangunan pertanian, termasuk eregasi dan penggalian terusan-terusan.
3.      Ongkos bagi orang-orang tawanan perang.
4.      Perlengkapan perang
5.      Hadiah-hadiah kepada para pujangga
Pada masa Umayah, Khalifah Abdull Malik mencetak mata uang kaum muslimi secara teratur. Pembayaran diatur dengan menggunakan mata uang ini, walaupun pada masa Khalifah Umar Bin Khatab sudah dicetak mata uang, namun belum begitu teratur.[12]
H.  Sistim Peradilan
                        Pada masa dinasti Bani Umayah ini pengadilan dipisahkan dengan kekuasan politi. Kehakiman pada masa ini mempunyai dua cirri kahasnya, yaitu:
1.      Bahwa seorang Qadhi (Hakim) memutuskan perkara denga ijtihadnya, karena pada masa itu belum ada “Mazhab Yang Empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada masa ini para Qadhi menggali hukum sendiri dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan berijtihad.
2.      Kehakiman belum terpengaruh dengan politik. Karena para Qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh pada kehendak orang besar yang berkuasa. Mereka bebas bertindak, dan keputusan mereka berlaku atas penguasa dan petugas pajak.[13]
I.   Pembanguna, Peradaban, Pengembangan Intlektual, Bahasa dan Sastra Arab.
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini munjul ahli-ahli hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun al-Kitab untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi kahalifah Abdul Malik mengerakkan politik Arabisasi.
                  Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya bangsa Grek (Ynani)  yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliya pada maasa ini baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[14]
J. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan)
                        Interregnum (masa peralihan pemerintahan) terjadi pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Masa peralihan yang kejam, menekan rakyat dan sebagainya kepada masa yang damai, lemah lembut dan makmur.
                        Pada masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) terjadi perubahan kebijaksanaan yang telah mapan mengenai kekhalifahan, dan berusaha menyerahkan mekanismenegara adikuasa pada seorang Muslim, tidak diatas basis Arab. Ia menerapkan prinsip persamaan terhadap seluruh Muslim, baik Arab maupun non Arab dan memperkenalkan hukum-hukum barumengenai persamaan, pemberian tunjangan keuangan kepada kaum muslimin tampa memperhatikan asal usul mereka. Hal ini jauh berubah dari kebijaksanaan sebelumnya yang lebih mengutamakan orang Arab. Orang-orang muslim non-Arab dibebasakan dari pajak jiwa yang selama ini mereka bayar. Dengan demikian bertambah banyak orang masuk Islam.[15] Umara mengadakan dialog dengan orang Syi’ah  dan kaum Khawarij, sehingga mereka merasa puas dan tidak mengganggu Dinasti Bani Umayyah. Ia juga memecat pejabat dan juga Gubernur yang kejam, menindas rakyat dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Dengan dimikian dimasa ini dikenal dengan masa peralihan. 


PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750 -847 M)

A.      PENDAHULUAN
Setelah Nabi Muhammad meninggal kepemimpinan beralih kepada sahabat. Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah sahabat terdekat beliau yang pernah memimpin kaum muslim. Di masa kepemimpinan Usman timbul berbagai persoalan politik di kalangan kaum muslim, hingga membawa Syahidnya beliau. Kisruh di dalam masyarakat muslim berlanjut hingga di masa pemerintahan Ali. Pembunuhan Usman  menimbulkan pertentangan antara pihak Ali dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Sebagai gubernur Syam dan kerabat terdekat Usman, Muawiyah berupaya memplotisir peristiwa pembunuhan Usman. Melalui ini dia berupaya merebut kekuasaan dari tangan Ali bin Abi Thalib. Hingga menimbulkan pertumpahan darah yang sangat besar di antara umat Islam seperti peristiwa Perang Shiffin.
Dengan permainan politik yang licik, Muawiyah berhasil menyingkirkan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kejadian ini memicu perpecahan dalam pengikut Ali antara mendukung dan tidak mendukung kebijakan Ali Bin Abi Thalib yang mau  berunding dengan  Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perpecahan dalam pengikut Ali semakin melapangkan jalan Muawiyah menduduki khalifah, memimpin kaum muslimin.
Muawiyah Bin Abi Sufyan adalah pemimpin yang handal, cakap dalam Administrasi dan ahli strategi. Dimasa pemerintahannya dia berhasil memadamkan ketidak senangan tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan dirinya. Meskipun demikian diakhir pemerintahannya Muawiyah menyalahi janji yang sudah dibuatnya dengan Hasan Bin Ali Bin Thalib, bahwa kelak jika dia tidak memangku jabatan khalifah, maka urusan kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin baru. Muawiyah diusianya yang uzur tersebut menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan ini menandai mulainya dinasti Umayyah berkuasa, yang terambil dari nama kakek mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H / 661 M.
Penunjukkan Yazid menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan di kalangan muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa  Bani Umayyah
Perlawanan tiada henti terus dilakukan oleh pendukung Ali Bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh lini aspek kehidupan kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh  penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar –mimbar dilarang. Perubahan politik ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perobahan politik dan perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar Bin Abdul Azis, kekuasaan Bani Umayyah di damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti Umar Bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan  Abdullah As Saffah dengan strategi ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasanan kekhalifahan, Abbas berhasil menarik dukungan kaum Syiah untuk mengorbankan perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah Marwan II Bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus. Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah ini penulis membahas lebih  lanjut kiprah dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.
B.      Sejarah berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.
1.      Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan. Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M. Bani Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1] Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah.[2]  Adapun sebab dia yang disepakati pendiri dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan daulah Bani Umayyah. Jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor tegaknya Daulah Bani Abbasiyah. Seperti Imam Ibrahim yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Bani Abbasiyah. Ia  menyusun ke kuatan di Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[3]   DI bawah panglima perangnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Asaffah.[4]
Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[5] Abdullah bin Ali, salih bin Ali dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1.      Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya
2.      Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3.      Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4.      Dasar kesamaan hubungan  dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5.      Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6.      Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[6]
C.      Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Di antara situasi situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:
1.      Timbullnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bi Abi Thalib;
2.      Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, kebijakan-kebijakan yang kurang adil;
3.      Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4.      Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Quran dan oleh golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab;
5.      Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[7]
6.      Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertemburan Karbala.[8]
D.     Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/ 750-847 M
Bani Abbasiyah sebagai penguasa baru sesudah Bani Umayyah, penguasa dan bangsawannya cendrung hidup mewah. Namun tidak sangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama.[9] Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk.[10] Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:
1.      Abu Abbas as-Saffah         ( 132-137 H/ 750- 754 M
2.      Abu Ja’far al-Mansur        137-159 H/ 754-775 M
3.      Al-Mahdi                           159-169 H/ 775-785 M
4.      Al-Hadi                              169-170 H/ 785-786 M
5.      Harun ar –Rasyid              170-194 H/ 786-809 M
6.      Al-Amin                             194-198 H/ 809-813 M
7.      Al-Ma’mun                        198-218 H/ 813-833 M
8.      Al-Mu’tasim                      218-228 H/ 833-842 M
9.      Al-Wasiq                            228-232 H/ 842-847 M[11]
E.      Kebijakan-kebijakan Daulah Bani Abbasiyah periode pertama 132 -232 H/ 750- 847 M
a.      Bidang politik dan pemerintahan
Pada masa awal tegaknya pemerintahan Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan pemerintahan:
1.      Mengejar dan membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah.  Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua kelurga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai menyebut dirinya sang pengalir darah atau as-Saffar. Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.[12]
2.      Menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan  dapat merongrong wibawa khalifah.
3.      Membasmi pemberontakan.
Pada masa Al-Mahdi terjadi pemberontakan di Syria tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul pula pemberontakan yang dipimpin oleh al- Yasykuri yang berusaha merusak beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinya terbunuh. Timbul juga pemberontakan Bani Tamim.[13] Semua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh khalifah Bani Abbasiyah. Hal ini dapat dimengerti kekuasaan Bani Abbasiyah sudah mulai kuat sejak dipimpin oleh Abu Ja’far al-Mansur.
4.      Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad. Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga adalah untuk menghilangkan pengaruh Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide –ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.
5.      Menghapus politik kasta.[14] Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada Bani Abbasiyah.
6.      Merangkul orang-orang Persia, ini dalam rangka politik memperkuat diri.[15] Hal ini tindak lanjut dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat.
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:
1.       Para khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali (orang di luar Arab)
2.      Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibu kota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;
3.      Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.[16]
4.      Memperluas wilayah
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Dalam upaya melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di bagian  lain Oskus, serta India.[17]
b.      Bidang Ekonomi dan perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi. Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting.[18] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[19]
Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan  kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur.[20] Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[21] Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para ulama dan satrawan.
c.       Bidang sosial
Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi  bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah  ini dikenal dengan  periode pengaruh Persia pertama.[22] Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu.[23]
d.      Bidang pendidikan / Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu Naqliah dan ilmu aqliyah.[24] Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:
1.      Ilmu Tafsir
Pada masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari( w.3120 H)[25]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak lepas dari ke dua aliran ini.
2.      Ilmu Hadits
Pada masa ini muncul ulama-ulama hadits  yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[26]
3.      Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu  Hambal ( 780-855).[27]
4.      Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat  muslim Arab dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan  Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail (135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H).[28]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.[29]  Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatan yaitu:
1.      Maktab /kutab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama;
2.      Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[30]
Dengan dua model dua di atas system pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh  Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi  ia adalah astronom Muslim  pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa AL- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi[31]
2.      Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang  buku Fidaus al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[32]
3.      Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[33]
4.      Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
5.      Filsafat
Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan filsafat,  terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi (796 -873 M.
e.      Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mU’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[34]
f.        Kesenian
Di antara khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[35]
Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[36] Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat system meliternya.
F. Faktor – faktor kemunduran Bani Abbasiyah
  Kemunduran Bani Abbasiyah dapat dilihat dari berbagai factor, yaitu:
a. Faktor politik
1.      Ketidak mampuan khalifah dalam mengendalikan khilafah
Khalifah tidak mampu mengontrol para wazir, dan justru Khalifah menjadi boneka Wazir-wazir yang berkuasa.
2.      Wilayah yang luas dan tidak adanya sikap saling percaya.
3.      Penyisihan kaum siah dari jabatan pemerintah
4.      Tidak adanya system peralihan yang tegas tentang pewarisan kekuasaan.[37]
b.Faktor militer
Hidup dalam keadaan ekonomi yang makmur, membuat kaum elit Bani Abbasiyah enggan lagi berperang. Kaum elit hidup bermewah-mewahan. Penguasa Bani Abbasiyah amat tergantung kepada tentara Turki. Organisasi tentara yang bersandar pada kesukuan tersebut, tidak dapat diandalkan untuk menjaga wilayah yang lua tersebut.Terabainya membangun kesatuan militer yang regular membuat Bani Abbasiyah keropos dari pertahanan.
c.  Faktor ekonomi
Para Khalifah dan penjabat pemerintah telah terbiasa hidup dengan kemewah. Kebutuhan terus meningkat[38]. Ongkos dari kemewahan penguasa Bani Abbas dibebankan kepada rakyat melalui pungutan pajak yang tinggi. Ketika kas negara kosong, maka membuat pondasi negara lemah. Gejolak-gejolak terjadi ditengah masyarakat akibat pembebanan pajak yang tinggi tersebut.
G. Kejatuhan Bani Abbasiyah
Adapun yang menyebabkan jatuhnya dinasti Bani Abbasiyah secara langsung adalah akibat serbuan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Penyerbuan itu terjadi pada tanggal 17 Januari 1258 M. Khalifah Musta’sim tewas pada penyerbuan ini[39]. Kebesaran Bani Abbasiyah selama ini hilang bersamaan dengan aksi bumi hangus tentara Mongol Hulagu Khan.
 

DINASTI FATIMIYAH DI MESIR (909-1172 M)


1.     PENDAHULUAN
          Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke- VII dan ke- VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pusat peradaban Islam di mesir dengan penglima perang dinasti Fatimiyah. Diantaranya :
·         Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
·         Khalifah Daulah Fatimiyah
·         Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
·         Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
.
2.     PEMBAHASAN
A.    Awal Pembentukan dan Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dr. Aiman Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail, putra Ja’far yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih dahulu pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.[1]
            Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga datanglah Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama dan politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan disinilah mereka membuat suatu kekuatan dengan membuat pergerakan propagandis dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka secara rahasia menyusup utusan-utusan  keberbagai daerah Muslim, terutama Afrika dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir.[2]
            Pada tahun 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama Abu Abdullah al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi. Abdullah al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat baik  dan berapi-api ia berhasil mendapatkan dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K Haiti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian Said diangkat menjadi pemimpin pergerakan[3]. Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa  Aghlabid terakhir untuk keluar dari negrinya. Kemudian, Said diproklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah al-Qayrawan.
            Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya. Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke  Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dijegal oleh Abu Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.[4]
            Pada tahun 945 M bani Fatimiyah sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa  mengalami  kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[5]
B.     Khalifah Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah    (934 M -  946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid (1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar, Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a.    Mendirikan Ibu Kota baru yaitu Kairo
b.   Membina suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c.    Menyebarluaskan Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.[6]
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362 H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz. Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah mendirikan Darul Hikmah[7] yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai ilmu.
C.    Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah Terhadap Peradaban Islam
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar sekali, baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Kemajuan yang terlihat pada masa kekhalifahan al-Aziz yang bijaksana diantaranya sebagai berkut:
a.   Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah, para imam bagi fatimi memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka. Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[8] Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah  pada bulan Ramadhan tahun 367H/979 M.[9]
Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik (sekretaris) dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak) dan lain-lainnya.[10]
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil. Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a.       Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b.      Ketua dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c.       Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d.      Bendaharawan Negara, yang membidangi Baitul Mal
e.       Wakil kepala urusan rumah tangga Khalifah
f.       Qori, yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok:
1.      Amir-amir yang berdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
2.      Para Obsir Jaga
3.      Resimen yang bertugas sebagai Hafizah Juyudsiah dan Sudaniyah.
b.   Pemikiran dan Filsafat
Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[11] Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1.      Abu Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2.      Abu Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3.      Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya
4.      Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5.      Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
6.      Hamiduddin Al-Qirmani.[12]
c.    Pendidikan dan Iptek
Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang mengahabiskan ribuan Dinar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Attamimi. Disamping Attamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al Kindi dan Ibnu Salamah Al Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al Aziz yang berhasil membangun masjid Al Azhar.[13]
Kemajuan keilmuan yang peling fundamental pada masa Fatamiyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh Al Hakim pada tahun 1005 Masehi.
Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis yaitu Ali Ibnu Yunus kemudian Ali Al Hasan dan Ibnu Haitam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karyanya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Al Hakim didirikan Bait Al Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh Al Makmun di Bahgdad. Pada masa Al Muntasir terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2.400 Illuminated Al-Qur’an  ini merupakan bukti kontribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya Islam.
d.   Ekonomi dan Perdagangan
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan fitalitas kultural yang mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festival, Khalifah kelihatan sangat cerah dan berpakaian indah. Istana Khalifah yang dihuni oleh 30.000 orang terdiri dari 1.200 pelayan dan pengawal juga terdapat masjid-masjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan Khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum yang dibangun dengan baik terlibat sangat banyak disetiap tempat di kota itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Fatimiyah di Mesir.
 Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di mesir pada masa ini bisa di kelompokkan kepada dua sektor  
1.      Daerah pinggiran-pinggiran sungai Nil
2.      Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian.
Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelansungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gundukan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air takkala banjir.[14]
Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim :
1.      Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.
2.      Musim panas, (bulan april sampai bulan juli) karena air sungai nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain.[15]
Dibidang perdagangan mereka melakukan perdagangan dengan mengunjungi beberapa daerah seperti Asia, Eropa, dan daerah-daerah sekitar laut tengah.
Pada masa dinasti Fatimiyah mereka menjadikan kota Fustat sebagai kota perdagangan, dari sini semua barang akan dikirim baik dari dalam maupun dari luar Mesir.
e. Sosial Kemasyarakatan
Pada waktu orang-orang Fatimiyah memasuki Mesir, penduduk setempat ada yang beragama Kristen Qibty, dan ahlu sunnah. Mereka hidup dalam kedamaian, saling menghormati antara satu dengan yang lain. Boleh dikatakan tidak terjadi pertengkaran antara suku, maupun agama. Masyarakatnya mempunyai sosialitas yang tinggi sesama mereka.
f. Pemahaman Agama
Sesuai dengan asal usul dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari sekte syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak lansung dinasti ini sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus di ikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama  sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini.
D.    Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hakim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk sebuah gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci umat Kristen. Maklumat penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H/991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Dinasti Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.
            Al-Hakim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Muqatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak hormat olehnya.
Al-Hakim kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar namanya disebutkan dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat  kuburan suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh Al-Hakim.
             Setelah sepeninggal Az-Zahir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti Fatimiyah berobah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kewasan semenanjung arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi (komando perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustansir yaitu Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat. Al-Amin anak al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi khalifah.
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda, hingga merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zafir yang baru berusia empat tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga untuk menguasai Mesir. Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.
Semenjak itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan  khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah  untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyah.

PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SYAFAWI DI PERSIA

A.      PENDAHULUAN
Jika disinggung tentang kemajuan Islam barang kali kita sepakat bahwa Syafawi  merupakan salah satu kerajaan yang mewarnai gemilangnya Islam di masa lampau, kedigjayaan Syafawi  tidak diragukan, menghasilkan banyak kontribusi dalam berbagai aspek, namun jika diajak untuk sepakat mengatakan sepemikiran terhadap mazhab yang dianut oleh orang-orang Syafawi  waktu itu, maka banyaklah yang mengatakan kami bukan orang syi’ah. Untung saja pembahasan kali ini mengajak kita menyingkap yang tersirat baik dari ketidaktahuan atau keterlupaan kita terhadap sejarah kerajaan Syafawi, sehingga Pemahaman agama hanyalah sebahagian dari hal-hal yang akan diungkapkan.
Dalam kurun waktu 1500-1800 M, hampir secara bersamaan muncullah tiga kerajaan besar di tiga wilayah Islam yang berbeda sebagai kelanjutan dari rantai peradaban Islam yang sebelumnya telah dijalin oleh Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Ketiga kerajaan besar tersebut adalah Kerajaan Usmani  di Turki, Kerajaan Shafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Syafawi  di Persia hingga saat ini memiliki bentuk peninggalan yang unik dan variatif. Mulai dari pergantian kekuasaan dari satu pimpinan ke pemimpin yang lain dengan pola strategi pemerintahan politik yang berbeda hingga perubahan sistem pemerintahan Monarkhi menjadi Republik (Republik  Iran).
Terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul kata Shafawi. Menurut Sayid Amir Ali, kata Shafawi berasal dari kata Shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi, Sayid Amir Ali mengatakan bahwa para Musafir, Pedagang dan Penulis Eropa selalu menyebut raja-raja Shafawi dengan gelar Shafi Agung. Sedangkan menurut P. M. Holt, kata Shafi bukanlah gelar dari pemimpin seperti yang disebut, akan tetapi kata Shafi merupakan bagian dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri (1252 – 1334 M / 650 - 735 H)[1] , pendiri dan pemimpin Tarekat Shafawiyah. Satu kesimpulan yang penulis tarik adalah bahwa nama Shafawi dinisbatkan kepada Shafi al-Din Ishak al-Ardabily[2].      Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, Syafawi  dalam berbagai aspek akan dibahas, semoga ketidaktahuan kita terhadap bagian Peradaban Dinasti Syafawi  akan terjawab di sini.  
B.       PEMBAHASAN
1.    Latar Belakang
Berawal  dari masuknya Islam ke Persia pada zaman Abu bakar yang berhasil menaklukkan Qadisiah, ibu kota dinasti Sasan (637 M), bagian kecil dari Sasaniah yaitu Baduspaniah bertahan hingga abad 16 Masehi. Di samping itu sebelum Syafawi , di Persia terdapat kerajaan lokal (distrik) yang berada di bawah dinasti-dinasti yang lebih besar, hingga menjadi kekuasaan yang lebih besar seperti dinasti Saljuk, Tabaristan, Rawadiah, Thahiriyah, Safariyah, dan Buwaihi. Di masa Timur Lenk wilayah tersebut bernama dinasti Timuriah (1370-1506) sepeninggalannya (1405) Timuriah pecah menjadi dua , dipimpin oleh Ulugh Bek (1404-1449 M) dan Sultan Husen. Dinasti ini tidak stabil karena Mongol dan Turki campur tangan, oleh karena itu, kelompok yang tidak puas mencoba melakukan gerakan-gerakan. Salah satunya adalah gerakan tarekat Syafawi  yang dipimpin oleh Syaikh Syafi’ al Din (1252-1334 M)[3].
            Pada awalnya gerakan tarekat safawi ini adalah bertujuan untuk memerangi orang-orang yang ingkar. Kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid’ah. Suatu ajaran yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan para penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang terorganisir[4], fanatik dalam kepercayaan dan menantang setiap orang yang bermazhab berbeda atau selain mereka[5].
            Kecenderungan memasuki dunia politik itu dapat terwujud pada masa kepemimpinan  Juned (1447M-1460M). Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan wilayah ini menimbulkan konflik dengan Karo Koyunlu dan Juned kalah, akhirnya dia diasingkan ke suatu tempat. Ditempat itu dia mendapatkan perlindungan dan bantuan dari para penguasa Diyar Bakr, Ak-Koyulu. Selama dalam pengasingan, Juned menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan.  Juned juga berhasil mempersunting sepupu Uzun Hasan  dan memiliki Putra bernama Haidar. Kemudian Juned terbunuh pada saat mencoba merebut Sisilia[6].
            Haidar menggantikan ayahnya dalam memimpin Syafawi sebagai sebuah kekuatan politik dan militer. Dalam melanjutkan hubungan dengan Uzun Hasan tidak cukup sampai pernikahan ayahnya dengan Adik Uzun Hasan saja, bahkan Haidar menikahi salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini melahirkan  tiga orang putra Ali, Ibrahim dan Ismail[7].
            Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476 terhadap Kara Koyunlu memandang gerakan Syafawi  yang dipimpin Haidar sebagai rival politik bagi AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya[8]. Karena itu ketika Syafawi  menyerang wilayah Sircassia dan Sirwan, AK Koyunlu malah mengirimkan bantuan militer untuk membantu Sirwan sehingga pasukan Syafawi  kalah dan Haedar terbunuh. Inilah mulanya perpecahan antara dua sekutu Syafawi dan Ak Koyunlu.
            Ali, putra Haidar dintuntut pasukannya untuk menuntut balas atas kematian Haidar. Tetapi Ya’kub, pemimpin Ak Koyunlu berhasil menangkap Ali bersama saudaranya Ibrahim dan Ismail serta ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantu membebaskan sepupunya. Ali kembali ke Ardabil setelah saudara sepupu Rustam dikalahkan. Namun selanjutnya Rustam berbalik memusuhi Ali bersaudara yang menyebabkan kematian Ali (1494)[9] dan digantikan oleh adiknya Ismail, Ismail naik menggantikannya meski baru tujuh tahun. Ia menyiapkan pasukannya yang dinamai Qizilbas h (Baret Merah) yang dibentuk oleh ayahnya Haidar.
            Di bawah pimpinan Ismail pada tahun 1501 M berhasil mengalahkan Ak-Konyulu di Sharur dan berhasil merebut ibu kotanya yaitu Tabriz dan di tempat itu dia memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi (disebut Ismail I). Ismail I berkuasa selama 23 tahun. Dalam waktu 10 tahun Ismail sudah mampu memperluas kekuasannya hingga seluruh Persia[10].
            Ismail digantikan oleh anaknya Tahmasp I [11], Tahmasp merupakan pengganti Ismail yang memang sudah dipersiapkan dan diunggulkan dari saudara-saudaranya,  karena beliau adalah putra tertua[12] bahkan beliau naik tahta pada hari yang sama saat ayahnya Isma’il I mangkat, padahal saat itu  Tahmasp masih berumur sepuluh tahun[13].
            Tahmasp memerintah selama  52 tahun,  menjelang wafatnya Tahmasp mengalami sakit keras, pada masa ini pasukan Qizilbas h terpecah menjadi dua kubu, satu diantaranya kelompok yang memihak Ismail Mirza dan lainnya memihak kepada Haidar Mirza. Dalam hal ini Tahmasp memilih Haidar Mirza putra ke tiganya sebaga calon penggantinya. Namun Ismail melakukan penolakan dan perlawanan pada saat penobatan Haidar  menjadi khalifah(Syah) hingga akhirnya Haidar terbunuh, dan Isma’il naik Tahta dengan gelar Isma’il II[14].
            Setelah setahun menjabat , Isma’il wafat dan digantikan oleh Muhammad Khudabanda Putra pertama Tahmasp I atas penunjukan para pejabat Negara[15]. Khudabanda menjabat lebih kurang sepuluh tahun lamanya, kemudian digantikan oleh Syah Abbas I. Syah Abbas I memerintah selama kurang lebih 41 tahun, selama pemerintahannya, Syafawi  berada pada tatanan yang penuh dengan kemajuan, perbaikan urusan administrasi, diplomasi luar negeri dan lain-lain
            Sebelum Abbas I, Persaingan antara Syafawi  dengan Turki Usmani selalu terjadi, ditandai dengan perang yang berkepanjangan, peperangan dimulai sejak kepemimpinan Ismail I (1501-1524 M), lalu Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587) Akhirnya, Abbas I (1588-1628 M) melakukan perjanjian dengan Turki Usmani sehingga mengakhiri perang yang biasanya terjadi[16]. Secara umum di Zaman Syah Abas I terjadi stabilitas Negara dan Perdamaian dengan Turki Usmani  dan dinasti Moghul.
[
2.    Kemajuan di Bidang Politik dan Pemerintahan
            Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, pembenahan administrasi Negara, penguatan system pertahanan ibukota dan hubungan diplomasi dengan negara lain, serta menjaga agar tidak terjadinya perpecahan[17]. Inilah secara umum lima hal yang dilakukan Syah Abbas I dalam menjamin kemajuan dinasti Syafawi . Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata Dinasti Shafawi yang kuat, besar dan modern.
            Tentara Qizilbas  yang pernah menjadi tulang punggung dinasti Shafawi yang besar, seiring waktu tidak terlalu berpengaruh dalam bidang pertahanan dan keamanan, melainkan hanya menjadi semacam tentara nonreguler yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menopang citra politik syah yang besar. Untuk itu dibangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmasab (1524-1576 M), mereka diberi gelar “Ghulam”. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah Abbas mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam itu sendiri.
            Dalam membangun Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, Yaitu Sir Anthony Shearli dan saudaranya, Sir Robert Shearli. Mereka yang mengajari tentara Shafawi untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara modern. Kedatangan kedua orang Inggris tersebut oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai usaha strategis Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani  di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Namun kepercayaan diri Syah Abbas tetap ada, karena memiliki tentara (Ghulam) yang bisa diandalkan.
            Secara administrasi, struktur organisasi pemerintahan Syafawi  secara horizontal didasarkan pada garis kesukuan/kedaerahan. Dan secara vertical mencakup dua jenis, yaitu Istana dan Sekretariat Negara.
            Dalam hal kesukuan, Qizilbasy (suku Turki) merupakan bangsawan Militer, Qizilbasy mendapat posisi strategis hingga masa Muhammad Khdabanda (berakhir pada 1587 M). Suku Tajik memegang posisi di kementrian dan Sekretariat Negara (sebagai dewan Amir yang meliputi Amir, wazir, sejarawan istana, sekretaris pribadi syah, dan kepala intelijen), akuntan, pegawai administrasi, pengumpul pajak dan administrasi keuangan, dan suku Persia menjabat sebagai Sadr (ketua Lembaga Agama)[18]
3.    Ekonomi  dan Perdagangan
            Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan nama pelabuhan “Gumrun” akhirnya diubah menjadi Bandar Abbas.
            Sebagai pelabuhan utama wilayah ini mampu menjamin kehidupan perekonomian Safawi. Hal ini dikarenakan bandar tersebut merupakan salah satu jalur dagang yang strategis antara timur dan barat yang biasanya menjadi daerah perebutan belanda Inggris dan Prancis.
            Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan sabit subur (fortile crescent). Dalam masa ini juga masyarakat sudah banyak malakukan budaya wakaf bagi harta-hartanya kepada ummat[19].
4.    Sosial Kemasyarakatan
            Pada zaman Khudabanda (1666 M), Isfahan 162 Masjid, 48 perguruan, caravansaries, dan tempat pemandian umum yang seluruh nyadibangun oleh  Tahmasp I . Syah Abbas sebagai pelanjut dari keduanya berhasil membuat Syafawi secara keseluruhan menjadi negara yang hidup makmur, terhindar dari perang yang biasanya terjadi. Sehingga di masa Abbas I dinyatakan sebagai puncak keemasan kerajaan  tersebut.
5.    Pendidikan dan Iptek
            Salah satu keunggulan dinasti Syafawi dibandingkan dengan Turki Usmani adalah dibidang Ilmu pengetahuan, Syafawi  lebih menonjol daripada Dinasti Turki Usmani, khususnya ilmu filsafat yang berkembang amat pesat. Dalam bidang pendidikan terutama untuk perkembangan mazhab Syi’ah didirikan sekolah teologi serta pusat kajian Syi’ah di tiga kota, yaitu : Qum, Najaf, Masyhad[20]
            Baha al Din al-‘Amili merupakan tokoh yang dikenal sebagai generalis ilmu pengetahuan pada Zaman Itu. Selain itu seorang ilmuan, Muhammad Bagir ibn Muhammad  Damad juga pernah melakukan penelitian tentang lebah.
6.    Kesenian
            Di bidang kesenian juga sangat terasa pada zaman ini, sebuah sekolah Seni lukis yang merupakan peninggalan dari  Timuriah Yang berada di Herat, dipindahkan ke Tibriz pada tahun 1510 M oleh Ismail I. Di sekolah ini diterbitkan buku  Syah Nameh (buku tentang raja-raja) yang memuat lebih dari 250 lukisan[21]. Tahun 1522 Ismail mendatangkan Seorang pelukis yang bernama Bizhad ke Tibriz[22],  
            Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Kemajuan di bidang ini juga bisa terlihat jelas dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat di masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M, selain itu juga terlihat pula bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar dan benda seni lainnya.
7.    Pemikiran dan Filsafat
            Dalam bidang filsafat, ditandai dengan berkembangnya filsafat ketuhanan yang kemudian dikenal dengan filsafat Isyraqi (pencerahan) tercatat seorang yang bernama Sadr al Din al-‘Syirazi (Mulla Shadra) sebagai filosof, beliau wafat tahun 1641 M. selain Mulla Shadra juga disebutkan nama Muhammad Bagir ibn Muhammad  Damad juga sebagai filosof, ahli sejarah dan teolog, beliau pernah melakukan penelitian tentang lebah. Ia wafat pada tahun 1631 M.
8.    Pemahaman Agama
            Ismai’l  Khaidar (khalifah pertama) mengklaim dirinya sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam yang tersembunyi dan imam Mahdi[23].
            Dinasti Syafawi  bukanlah kerajaan yang serta merta dibangun  atas dasar kekuasaan,  berawal dari sebuah pandangan agama dalam bentuk tarekat di Ardabil(Azerbaijan). Tarekat Syafawi yah berdiri hampir bersamaan dengan kerajaan Usmani[24].
            Syafawi  merupakan penganut faham Syi’ah, bahkan dari awal berdirinya kerajaan ini Syi’ah dinyatakan sebagai mazhab resmi negara. Bahkan di zaman Abbas II (Sulaiman) dan Husein terjadi penindasan, pemerasan dan marjinalisasi terhadap ulama Sunni dan memaksa ajaran Syi’ah kepada mereka.
            Namun demikian tidak berarti seluruh Syah Syafawi beraliran demikian, dijelaskan oleh Muhammad Sahil Thaqqusy dalam Sejarah Dinasti Syafawi di Iran dalam hal pandangan agama Ismail II merupakan penganut aliran Sunni,  meskipun tidak diungkapkan secara terang-terangan, namun segala kegiatan dan tindakan kepemimpinannya mengidentifikasikan bahwa beliau adalah penganut faham Sunni[25].  Namun tetap saja dikatakan Syiah telah melingkupi perjalanan dinasti Syafawi  hingga terasa  pada sebagian besar Republik Iran sekarang. 
9.    KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI SAFAWI
            Dinasti Syafawi di Persia meraih puncak keemasan di bawah pemerintahan Syah Abbas I selama periode 1588-1628 M. Abbas I berhasil membangun kerajaan safawi sebagai kompetitor seimbang bagi Kerajaan Turki Usmani.
            Tanda-tanda kemunduran kerajaan persia mulai muncul sepeninggalan Abbas I. Secara berturut-turut syah yang menggantikan Abbas I adalah:
1. Safi Mirza (1628-1642 M)
2. Abbas II (1642-1667 M)
3. Sulaiman (1667-1694 M0
4. Husain (1694-1722 M)
5. Tahmasp II (1722-1732 M)
6. Abbas III (1733-1736 M).
            Banyak faktor yang mewarnai kemunduran kerajaan safawi, di antaranya dari perebutan kekuasaan di kalangan keluarga kerajaan. Selain itu dikarenakan bahwa Syah-syah yang menggantikan Abbas I sangat lemah dalam banyak hal terutama kepiawaian dalam memimpin dan pendekatannya terhadap pejabat, aparat dan rakyat .
            Safi Mirza, cucu Abbas I[26] merupakan pemimpin yang lemah dan kelemahan ini dilengkapinya oleh kekejaman yang luar biasa terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifatnya yang pecemburu. Pada masa pemerintahan Mirza inilah kota Qandahar lepas dari penguasaan Safawi karena direbut oleh kerajaan Mughal yang pada saat itu dipimpin oleh Syah Jehan, dan Baghdad direbut oleh Kerajaan Usmani[27].
                 Abbas II disebutkan sebagai seorang raja yang pemabuk, sehingga kebiasaan mabuk inilah yang menamatkan riwayatnya. akan tetapi di tangannya kota Qandahar bisa direbut kembali. Demikian halnya dengan Sulaiman, ia juga disebut sebagai seorang pemabuk dan selalu bertindak kejam terhadap pembesar istana yang dicurigainya. Disebutkan Selama tujuh tahun ia tak pernah memerintah kerajaan.
                 Diyakini, konflik dengan Turki Usmani adalah sebab pertama yang menjadikan Safawi mengalami kemunduran. Terlebih Turki Usmani merupakan kerajaan yang lebih kuat dan besar daripada Safawi. Hakikatnya ketegangan ini disebabkan oleh konflik Sunni-Syi’ah[28].
                 Syah Husain adalah raja yang alim akan tetapi kealiman Husain adalah suatu kefanatikan tehadap Syi’ah. Karena dia lah ulama Syi’ah berani memaksakan pendiriannya terhadap golongan Sunni. Inilah yang menyebabkan timbulnya kemarahan golongan sunni di Afganistan  sehingga menimbulkan pemberontakan-pemberontakan.
Pemberontakan bangsa Afgan dimulai pada 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Lalu disusul oleh pemberontakan suku Ardabil di Herat yang berhasil menduduki Mashad.
                 Di lain pihak Mir Vays digantikan oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Pada masa Mir Mahmud berhasil menyatukan suku Afgan dengan suku Ardabil. Dengan kekuatan yang semakin besar, Mahmud semakin terdorong untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut wilayah Afgan dari tangan Safawi. Bahkan ia melakukan penyerangan terhadap Persia untuk menguasai wilayah tersebut.
            Penyerangan demi penyerangan ini memaksa Husain untuk mengakui kekuasaan Mahmud. Oleh Husain, Mahmud diangkat menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husain Quli Khan yang berarti Budak Husain. Dengan pengakuan ini semakin mudah bagi Mahmud untuk menjalankan siasatnya. Pada 1721 M ia berhasil merebut Kirman. Lalu menyerang Isfahan, mengepung ibu kota safawi itu selama enam bulan dan memaksa Husain menyerah tanpa syarat. Pada 12 oktober 1722 M Syah Husain menyerah dan 25 Oktober menjadi hari pertama Mahmud memasuki kota Isfahan dengan kemenangan, sedangkan beberapa wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran dan Asterabad direbut oleh Rusia[29].
            Tak menerima semua ini, Tahmasp II yang merupakan salah seorang putra Husain dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamirkan diri sebagai penguasa Persia dengan ibu kota di Astarabad. Pada 1726 M, Tahmasp bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afgan yang menduduki Isfahan.
            Asyraf sebagai pengganti Mir Mahmud berhasil dikalahkan pada 1729 M, bahkan Asyraf terbunuh dalam pertempuran tersebut. Dengan kematian Asyraf, maka dinasti Safawi berkuasa lagi.
            Pada Agustus 1732 M, Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III yang merupakan putra Tahmasp II, padahal usianya masih sangat muda. Ternyata ini adalah strategi politik Nadir Khan, karena pada tanggal 8 maret 1736, dia menyatakan dirinya sebagai penguasa persia dari abbas III. Maka berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia[30].
            Kehancuran Syafawi juga dikarenakan lemahnya pasukan Ghulam yang diandalkan oleh safawi pasca penggantian tentara Qizilbash. Hal ini karena pasukan Ghulam tidak lagi dilatih secara penuh dalam memahami seni militer. Sementara sisa-sisa pasukan Qizilbash tidak memiliki mental yang kuat dibandingkan dengan para pendahulu mereka. Sehingga membuat pertahanan militer Safawi sangat lemah dan mudah diserang oleh lawan.
 

PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA

A.    Pendahuluan.
Saat ini mungkin sebagian orang masih belum menyadari arti penting sebuah negeri Spanyol (Andalusia) bagi Islam dan sebaliknya, arti sebuah Islam bagi negeri Spanyol. Andalusia pernah menorehkan tinta  sejarah dengan aneka macam warna yang amat sulit dilupakan oleh kaum muslim. Berbicara tentag Andalusia akan mendorong imajinasi seseorang , khususnya muslim. Pada abad pertengahan tepatnya pada 711, ketika pasukan Islam berjumlah 12000 orang yang dipimpin oleh Thariq Ibn Ziyad mendarat di Gibraltar, Spanyol, pasukan itu berhasil menancapkan kuku pengaruhnya di negeri yang sebelumnya berada dalam sengketa internal. Itulah awal sejarah Islam di Spanyol.
 Untuk mengenang peristiwa yang pernah terjadi di negeri ini. Untuk lebih terangnya ini dibahas dalam bentuk makalah lalu disajikan dalam bentuk diskusi. Pembahasan ini meliputi: masuknya Islam ke Spanyol, politik pemerintahan, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, kesenian, pemikiran dan filsafat dan pemahaman agama. Mudah-mudahan makalah ini dapat memperluas wawasan kita khususnya tentang sejarah Islam.
Penulis  sadar bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan, maka untuk kesempurnaannya penulis sangat mengharapkan kritik saran dari berbagai pihak.
B.     Islam masuk ke Spanyol
Sebelum Islam Masuk ke Spanyol (Andalus) di sana masyarakat mengalami perpecahan di bidang politik, kemunduran di bidang ekonomi dan kepercayaan. Secara politik Andalus terbagi ke dalam beberapa Negara kecil.[1]
Di samping itu, raja Ghothic memaksakan kepercayaannya kepada masyarakat dan orang-orang  Yahudi dipaksa untuk dibabtis menurut agama Kristen. Bagi yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara kejam. Pada ketika itu rakyatnya tertindas dan hak-hak mereka dirampas. Sementara terjadi konflik antara raja Roderick sebagai penguasa kerajaan Gothic di Spanyol dengan penguasa Toledo, Witiza. Raja Roderick memindahkan ibu kota kerajaannya dari Seville ke Toledo. Pemindahan ini mengakibatkan penguasa kota Toledo, Witiza tersingkir. Kakak dari Witiza, Oppas dan anaknya Achila mengungsi ke Afrika Utara dan bergabung dengan orang-orang Islam di sana. Hal yang sama juga dirasakan oleh pangeran Yulian, penguasa wilayah Septah. Pangeran Yulian lari ke Ceuta Afrika Utara dan bergabung dengan orang-orang Islam.
Orang-orang Spanyol yang terusir tersebut membujuk penguasa Islam di Afrika Utara, Musa bin Nusair supaya mau menaklukkan dan menguasai Spanyol. Bahkan pangeran Yulian bersedia menyediakan kapal untuk menyeberangkan pasukan Islam dari Afrika utara ke Spanyol.[2]
Dalam penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang paling berjasa memimpin pasukan kesana. Mereka adalah Tharif Ibn Malik, Thariq Ibn Ziyad  dan  Musa Ibn Nusair.[3] Musa Ibn Nusair sebagai Gubernur Afrika Utara pada waktu itu mengirim Tharif Ibn Malik sebagai perintis dan mata-mata ke Spanyol. Ia bersama pasukan yang berjumlah lima ratus orang menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa dengan menaiki empat buah kapal. Tharif dalam misinya tidak masuk ke daerah pedalaman, ia dan pasukannya hanya menyusuri pantai. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapatkan perlawanan yang brarti, sehingga mereka memperoleh kemenangan dan kembali ke Afrika membawa harta rampasan yang banyak.
Pada tanggal 19 Juli 711 M. Musa Ibn Nusair kembali mengirim pasukan yang lebih besar ke Spanyol, pasukan ini dipimpin oleh Thariq Ibn Ziyad. Thariq berlabuh di kaki gunung Gibraltar yang kemudian dinamakan Jabal Thariq. Thariq dipandang sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasil perjuangannya lebih nyata. Melihat kemenangan Thariq Musa Ibn Nusair tertarik untuk terjun ke medan perang, maka pada bulan Juni 712 M. ia berangkat  menyberangi Selat tersebut, satu persatu kota yang dilewatinya bisa ditaklukan. Setelah pasukannya bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Thariq maka Spanyol pun dapat mereka kuasi sepenuhnya, maka Spanyol dijadikan salah satu provinsi. Gubernur yang pertama kali diangkat di Spanyol adalah Abdul Aziz putra Musa Ibn Nusair pada tahun 716 M.
C.    Politik dan Pemerintahan
Islam sebagai kekuatan politik telah memperlihatkan kemampuannya yang luar biasa, sehingga dapat menguasai daerah Spanyol walaupun menghadapi rintangan dan halangan dari orang-orang Kristen dan para penguasa Spanyol.
Semenjak tahun 716 sampai tahun 756, dalam waktu yang pendek (lebih kurang 40 tahun) tidak kurang dari 20 orang Gubernur yang memerintah di Spanyol. Mulai dari Gubernur pertamanya Abdul Aziz Ibn Musa Ibn Nusair sampai Gubernur terakhir Yusuf Ibn Abd. Rahman Al-fihri dari suku Qays. Dari Gubernur terakhir inilah kekuasaan diambil oleh Abd. Rahman Al-Dakhil sebagai permulaan timbulnya dinasti Umaiyah di Andalus.[4] Ini menandakan bahwa stabilitas politik di Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elit penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan, yakni antara Barbar asal Afrika utara dan Arab. Di samping itu bangsa Barbar tidak diberi kesempatan untuk menjadi Gubernur di Spanyol, padahal Thariq Ibn Ziyad orang Barbar paling berjasa dalam penaklukan Spanyol. Dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus bersaing, yaitu suku Qays (Arab Utara) dan Arab Yaman (Arab Selatan). Di samping itu terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah di Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mereka mengaku  paling berhak menguasai daerah Spanyol. Perbedaan pandangan pilitik ini menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang tinggal di daerah pegunungan yang tidak mau tunduk pada pemerintahan Islam. Apabila kekuatan Islam sedang lemah, mereka selalu memberi perlawanan dan memperkuat diri. Gerakan mereka dilindungi oleh orang-orang Perancis. Hal inilah yang menyeabkan terjadinya kontak senjata antara orang Islam dengan orang Prancis. Oleh karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam priode ini Islam di Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan[5].
Ketika  Spanyol dalam keadaan tidak tentram datanglah Abd. Rahman Al-Dakhil. Ia adalah  keturunan bani Umaiyah. Abdurrahman Al-Dakhil mendekati pimpinan Al-Bajl bin Bisri dan suku Kalb. Kedua suku ini dimanfaatkannya untuk merebut kekuasaan dari Gubernur Yusuf Ibn Abdurrahman Al-Fihri melalui kontak senjata di Masarah bulan September 756 M. akhirnya ia berhasil mengalahkan Gubernur tersebut, Spanyol dapat dikuasainya dan Cordova dijadikannya sebagai pusat pemerintahannya. Sejak itu Spanyol menjadi dinasti Umaiyah yang bebas dari pemerintahan pusat di Baghdad. Sebelumnya Spanyol tunduk di bawah  kekuasaan dinasti bani Umaiyah di Damaskus dan  sejak  kekalahan bani Umaiyah oleh bani Abbas maka Spanyol tunduk di bawah pemerintahan bani Abbas di Baghdad.[6]  Selama pemerintahan dinasti Umaiyah berkuasa di spanyol telah melalui beberapa priode:
1.      Masa Keamiran (756-912 M)
Pada masa ini Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang Amir (artinya panglima, gubernur atau raja kecil), akan tetapi pemerintahan ini tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam  yang ada di Baghdad yang dipegang oleh Khalifah Abbasiyah. Ada tujuh amir yang memerintah di Spanyol:
1.      Abd. Rahman al-Dakhil (Abd. Rahman I) (138H/756M)
2.      Hisyam I bin Abd. Rahman (172H/788)
3.      Hakam I ibn Hisyam (180H/796)
4.      Abd. RahmanII ibn Hisyam (206H/822)
5.      Muhammad bin Abd. Rahman (238H/852)
6.      Al-Munzir ibn Muhammad (273H/886)
7.      Abdullah bin Muhammad (275-300H/888-912M)
Pada masa ini umat Islam di Spanyol sudah mulai mengalami kemajuan di bidang politik dan peradaban.[7]
2.      Masa Kekhalifahan (912-1013M)
Masa ini berlangsung dari pemerintahan Abd. Rahman III yang bergelar An-Nashir sampai munculnya raja-raja kelompok, yang dikenal dengan sebutan  Muluk al-Thawaif. Pada masa ini Spanyol diperintah oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Ini bermula dari berita yang sampai kepada Abd. Rahman III tentang kematian Al-Muktadir Khalifah Abbasiyah yang dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Maka kesempatan ini digunakan oleh Abdurrahman untuk memakai gelar khalifah, dengan maksud mengembalikan  kehalifahan Bani Umaiyyah yang telah hilang selama 150 tahun lebih. Ada pun khalifah-khalifah yang besar memerintah pada saat itu  ada tiga orang , yakni Abd. Rahman al-Nashir (912-961M), Hakam II (961-976M), dan Hisyam II (976-1009). Walaupun masih ada khalifah yang memerintah sampai tahun 1013, namun kekuasaannya sudah lemah.
Pada masa kekhalifahan  ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, dapat menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Bagdad. Kehancuran khilafah bani Umaiyah di Spanyol terjadi pada tahun 1013M, sewaktu dewan mentri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah ke dalam banyak Negara-negara kecil.[8]
3.      Priode Muluk al-Tawaif (1013-1086)
Pada priode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari 30 negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Muluk al-Tawaif. Yang terbesar di antara kerajaan tersebut adalah Ibadiyah di Seville. Untuk mempertahankan kekuasan kerajaan-kerajan kecil tidak jarang mereka mintak bantuan kepada orang kristen di bagian Utara untuk menyerang dinasti Islam lainnya. Pada masa ini umat Islam Spanyol kembali mengalami konflik intern. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa Islam di sana, orang-orang Kristen mulai mengambil inisiatif untuk melakukan penaklukan kembali terhadap Spanyol. Akan tetapi perlu dicatat meskipun  system politik sedang tidak stabil, namun  kehidupan di bidang intelektual tetap mengalami perkembamgan. Para sarjanawan dan sastrawan tetap mengembangkan keilmuannya.[9]
4.      Reconquesta (Penaklukan Kembali)
Perpecahan politik yang terjadi di kalangan umat Islam membuat orang Kristen berkeinginan untuk merebut kembali wilayah Spanyol. Memang orang-orang Kristen dari awal kedatangan Islam  kesana sudah  berrmaksud  untuk mengusir umat Islam namun niat mereka belum terlaksana. Sentimen orang-orang Kristen juga diungkapkan dalam bentuk pendirian sejumlah biara Benedictine dan kegiatan perziarahan ke Santiago de Compo Stela. Paus Gregory VII menyerukan untuk melakukan gerakan reconquesta (penaklukan kembali wilayah Spanyol dari umat Islam). Paus menjadikan reconquesta sebagai kewajiban agama bagi umat Kristen dan sebagai sebuah ambisi teritorial raja-raja Spanyol
 Disintegrasi Negara-negara muslim pada abad 11 mengantarkan pada pesatnya ekspansi sejumlah kerajaan Kristen. Dengan semangat untuk mempersatukan kerajaan Castile, Leon dan kerajaan Galicia, pada tahun 1085, Alfonso VI menaklukan Toledo. Ini merupakan awal terjadinya peperangan umat Islam dengan Kristen. Setelah Spanyol jatuh ke dalam kekuasaan umat Islam. Maka orang-orang Kristen pun membanjiri Toledo. Dalam waktu yang tidak lama kerajaan Aragon merebut Huesca (1096), Saragosa (1118M), Tortosa (1148M) dan Lerida (11149). Pada pertengan abad  ke dua belas penaklukan telah melembaga.[10]
5.      Masa Dinasti Murabitun
Murabitun berasal dari kabilah Barbar Lamtuna yang merupakan cabang kabilah terbesar dari suku Sanhajah, keturunan bangsa Arab dari kabilah Himyar yang datang dari Yaman.[11] Mereka tinggal berkelompok-kelompok. Kelompok ini merupakan perkumpulan spiritual keagamaan yang tinggal di kemah-kemah di bagian Barat gurun Sahara. Perkumpulan ini di pimpin oleh Yahya bin Ibrahim. Ketika ia pulang dari Mekkah tahun 1035 M. ia melihat pengamalan agama kaumnya berbeda dengan yang dilihatnya di Mekkah. Oleh karena itu ia punya maksud untuk memurnikan ajran keagamaan kaumnya dengan mendatangkan seorang alim yang sangat terkenal dari Maroko bermazhab Maliki yang yaitu Abdullah Ibn Yasin. Pada perkembangannya hukum Islam dilaksanakan menurut mazhab Maliki, namun al-Qur’an dan Sunnah tetap dijadikan sumber utama. Karena ketegasan dan kekerasan mereka orang-orang Barbar dan Negro yang ada di sekitar perkampungan mereka tunduk kepada mereka dan masuk Islam.[12]
Setelah Yahya Ibn Ibrahim Wafat, pimpinan Lamtuna dilanjutkan oleh Yahya Ibn Umar. Tak lama kemudian Yahya Ibn Umar pun wafat dan digantikan oleh saudaranya  Abu Bakar Ibn Umar. Dia pun memaklumkan dirinya sebagai raja Dinasti Murabitun pada tahun 448 H/1056M dan Yusuf bin Tasyufin diangkat sebagai panglima.
Pada tahun 1059M Yusuf Ibn Tasyufin bergerak kea rah Utara yautu Maroko dan Afrika Utara. Sewaktu ia kembali dari penaklukan tersebut pada tahun 1061M Abu Bakar, raja dinasti Murabitun pergi ke gurun Sahara, maka pada ketika itu Yusuf bin Tasyufin mengambil alih kekuasaan dinasti Murabitun dan pada tahun 1062M Marakesi dijadikannya sebagai ibukota.
Sewaktu dinasti Murabitun berkembang, dinasti Umaiyah di Andalusia telah terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil yang disebut dengan  Muluk al-Thawaif. Dalam perkembangannya dinasti Murabitun bisa mencapai kemajuan seperti:
1.         Pada masa Yusuf ibn Tasyufin dibangun kota Marakesy sebagai ibu kota dinasti Murabitun dan merupakan pusat pendidikan orang-orang murabitun.
2.         Wilayah Islam dapat dipertahankan dari tangan Al-fonso
3.         Di Spanyol didirikan kota Isybiliyah dekat Seville sebagai tandingan kota Cordova yang mulai suram. Di sini muncul Ibn Zuhr (Avenzoar), dia adalah seorang dokter terkemuka di Andalusia (w. 1162M). muncul penyair sufi seperti Ibn Abdun dan Ibn Zaidun (keduanya w. 1134M) dan Ibn Quzman (1087-1160)
4.         Penyiaran Islam meliputi daerah-daerah pedalaman guru Sahara di Afrika
Setelah Yusuf Ibn Tasyufin wafat pada abad 1106M, dinasti Murabitun mulai memasuki fase kemunduran dan akhirnya kehancuran. Para penggantinya yang memimpin dinasti Murabitun tidak bisa mengendalikan pemerintahan yang baik. Akhirnya datang kekuatan baru dari Afrika Utara yang dipimpin oleh Ibn Tumart. Ibn Tumart ini dapat mengalahkan dinasti Murabitun dan mengambil alih kekuasaannya. Pada tahun 541H/1147M penguasa terakhir Murabitun, Ishaq, dapat dibunuh di Markesyi dan menghabisi gubernurnya di Spanyol. Dengan demikian berakhirlah dinasti Murabitun di tangan dinasti Muwahidun[13]
Asal usul Muwahidun
1.    Adanya kelompok Mutajassimah di tengah masyarakat yang berada dalam kekhalifahan Murabitun di Afrika dan Spanyol. Tajassimah yaitu paham yang mengakui bahwa Tuhan mempunyai bentuk seperti tubuh manusia. Menurut sebagian ulama paham yang seperti ituadalah musyrik.
2.    Kemudian muncul Ibn Tumart pengikut Asy’ariyah untuk memberantas paham  Tajassimah tersebut. Pada akhirnya ia mendakwahkan dirinya sebagai al-Mahdi (juru selamat)dengan konsep muwahidun (orang-orang yang mengesakan Tuhan)
Ibn Tumart berasal dari kabilah Masmudah. Untuk mengembangkan ajarannya Ibn Tumart membentuk  tiga kelompok:
a.    Kelompok sepuluh dipimpin oleh Ibn Tumart yang dinamakan Dewan Menteri.
b.    Kelompok lima puluh dipimpin masing-masingnya oleh Dewan Menteri yang 10 (satu orang untuk lima orang),
c.    Murid Thalabah Ahl ad-Dar, keluarga al-Mahdi, ahli Tainmah, kabilah jadwiyah sampai orang awam.
Setelah Ibn Tumart wafat tahun 1130M, digantikan oleh Abdul Mukmin. Pada tahun 1144-1146 mereka berhasil menaklukkan Murabitun dan menjadikan Marakesy sebagai pusat pemerintahannya. Pada tahun 1172 M Muwahidun mampu merebut seluruh wilayah muslim yang ada di Spanyol, akan tetapi kedudukan umat muslim tetap saja dibawah tekanan pihak Kristen. Sehingga akhirya pada tahun 1212 Muwahidun dapat ditaklukkaan oleh pasukan  gabungan Leon, Castile, Navarre dan Aragon dalam perang Las Navas de Tolosa. Dengan kekalahan Muwahidun Negara-negara Muslim Spanyol kembali menjadi independen tetapi mereka jadi tidak  perdaya menghadapi penaklukan yang dilancarkan pihak Kristin. Penggabungan kekuatan Castile dan Leon  pada tahun 1230 membuka jalan bagi penaklukan Cordova pada tahun 1236 dan kota Siville pada tahun 1238 dan Murcia tahun 1243M. pada pertengahan abad ke 13 hanya Granada yang tetap bertahan dalam kekuasaan muslim. Kota Granada ini terlindung lantaran warganya yang berjumlah besar, wilayah yang berbukit dan ekonomi yang produktif yang mendorong pajak besar kepada para sultan Castile. Pada ketika itu kota Granada dipimpin oleh Banu Ahmar (1232-1492M), akan tetapi secara pilitik dinasti ini hanya bekuasa di wilayah kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahan terakhir di Spanyol berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Sehingga pada tahun 1492 berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Setelah itu umat Islam  hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol.
6.      Ekonomi dan Perdagangan
Secara umum  bisa dikatakan, dengan  melihat banyaknya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan dinasti Umaiyah di Andalusia, bahkan  pembangunan bukan hanya ada  di kota-kota tetapi juga meliputi ke pedesaan. Itu  membuktikan bahwa roda perokonomian  pada masa itu berjalan sangat bagus.  Masa pemerintahan Abdurrahman I di Andalusia dikenal oleh ahli-ahli sejarah sebagai masa pembangunan besar-besaran. Ia membangun  istana yang megah dan Masjid agung yang terkenal di Cordova, yaitu Masjid Al-Hambra. Selain itu ia juga membangun masjid-masjid lain di ibukota Cordova dan pada kota-kota lainnya, selanjutnya ia juga membangun gedung-gedung perguruan beserta lembaga-lembaga ilmiah. Ia membangun saluran-saluran air dan irigasi untuk keperluan pertanian, serta ia juga membangun sebuah taman yang sangat indah di Cordova, yaitu (Al-Risafat).[14]
             Pada masa dinasti Umaiyah ini juga telah dibangun  istana az-Zahra tempat istirahat sang khalifah dengan biaya yang besar dan waktu yang panjang. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan tersebut adalah selama 12 tahun  dan jumlah orang yang dipekerjakan untuk membangunnya adalah sebanya 12.000 orang.[15]pada masa itu Andalusia terkenal akan kemakmurannya, sehinga pada masa it orang berduyun-duyun datang untuk menetap di sana.
             Dari segi perdagangan kota Valencia merupakan pelabuhan yang makmur ketika itu, tempat persinggahan arrnada dagang Islam dari pesisir Afrika maupun dari pulau Sicily dan pulau Sardinia.
Seiring waktu permasalahan makin  banyak yang muncul, stabilitas politik tidak terjamin tentu hal itu akan berpengaruh terhadap perekonomian di sana. Afrika Utara bagian Barat merupakan daerah gurun Sahara yang gersang dan hidup di sana orang Barbar, sedang Spanyol merupakan daerah yang makmur dan maju serta berperadaban maju. Ekonomi mereka sudah maju, tetapi kekuatan militer mereka sudah lemah, sehingga tidak bisa menahan serangan musuh yang datang. Oleh karena itu mereka minta bantuan kepada Dinasti Murabitun untuk melindungi mereka dan mengusir orang-orang Kristen yang menyerang mereka. Setelah Spanyol masuk kedalam dinasti Murabitun, ekonomi Dinasti makin kuat karena mewarisi ekonomi dari kerajaan-kerajaan kecil yang makmur tadi. Dengan demikian keuangan Negara dan belanja tentara dapat diatasi dan tentara semakin semangat untuk berperang
           
7.      Sosial Kemasyarakatan
Pada awal kekuasaan Abdurrahman I terjadi perselisihan antara suku yang berbeda-beda, antara bangsa dan etnis yang berbeda-beda, antara Abbasiyah dan Umaiyah, serta antara umat Islam dan umat Kristen. Akan tetapi Abdurrahman dapat menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Andalusia. Semenjak itu Abdurrahman memperoleh rasa hormat dan kekaguman dari rakyat Andalusia, dan semenjak itu terciptalah ketenangan dan kedamaian. Bahkan orang-orang Barbar yang nomadis pun mulai bertempat tinggal secara tetap.
Sepanjang jangka waktu yang lama setelah penaklukan Spanyol, orang-orang Barbar tetap menjalani kehidupan yang nomadis, mengganti tempat tinggal dari satu tempat ke tempat yang lainnya di semenanjung dan membawa serta anak istri mereka. Abdurrahman I adalah orang pertama yang menundukkan kebiasaan mereka mengembara , membuat mereka mau membangun desa-desa dan kota-kota serta  menjalani hidup yang menetap.
Abdurrahman adalah pemimpin yang telah banyak memberikan perubahan terhadap Andalusia sehingga ia dikenal dengan sebutan Elang suku Quraiysh dan Garuda Andalusia. Kaum muslim Andalusia, yang telah lama maupun yang baru memeluk Islam, bersatu dan merasa tentram baik dan menjalani hidup sehari-hari demikian juga dalam melakukan ibadah kepada sang Khaliq.[16]
Secara umum bisa dikatakan bahwa kondisi social masyarakat pada masa dinasi Umaiyah tentram dan damai kecuali pada masa Amir ke tiga, yaitu Hakam Ibn Hisyam karena kepemimpinannya yang kurang merakyat dan suka berpoya-poya, sehingga pemerintahannya banyak disibukkan untuk menumpas pemberontakan, perlawanan baik yang datang dari umat Islam maupun yang datang dari kaum Kristen.
Pada masa Amir Hisyam bin Abdurrahman masyarakat hidup dengan tentram. Ia adalah pemimpin yang dekat kepada rakyat dan sangat perhatian kepada orang miskin. Untuk menciptakan ketertiban ia melembagakan jaga malam yang teridiri dari warga-warga yang jujur yang bertugas untuk berkeliling, dan jika ditemukan orang yang merusak ketertiban, ia akan dihukum dan didenda seseuai dengan pelanggarannya, dan dendanya akan diberikan kepada orang-orang miskin seperti orang yang menumpang di dalam masjid saat malam dan hujan.[17]Sehingga Amir Hisyam diberi gelar oleh rakyatnya ar-Radhi dan al-Adl (pemimpin yang ramah dan adil). Demikian juga pada masa Amir Abdurrahman II masyarakat hidup makmur dan damai sehingga pemerintahannya disamakan orang dengan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
8.      Pendidikan dan Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan di Spanyol bukan hanya pada bidang ilmu-ilmu tertentu, akantetapi telah mencakup kepada berbagai bidang  ilmu pengetahuan hingga ilmu sains. Sains yang berekembang di Spanyol antara lain adalah ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain. Abbas Ibn Farnas adalah yang termashur dibidang kimia dan astronomi. Dia adalah orang pertama menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim Ibn Yahya al-Naqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan kapan terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil menemukan tropong Bintang modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad Ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan.umm al-Hasan binti abi Ja’far dan saudara perempuannya al-Hafids adalah dua orang yang ahli di bidang kedokteran dari kalangan wanita.
9.      Kesenian
Dalam bidang ini tokohnya yang terkenal adalah al-Hasan Ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Zaryab sering tampil dalam perjamuan makan dan acara-acara pertemuan besar di Spanyol. Ia juga bisa menggubah lagu.
Pada masa itu bahasa arab dijadikan bahasa resmi di Spanyol, sehingg bermunculanlah orang-orang yang ahli di bidang bahasa seperti Ibn Sayidih, Ibn Malik, Ibn Khuruf Ibn al-Hajj, abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan dan yang lainnya. Di samping banyaknya orang-orang yang ahli di bidang bahasa banyak juga yang ahli di bidang sastra yang terkenal adalah Ibn Abd Rabbih dengan karyanya  Al-‘iqd al-Farid  Ibn Bassam dengan karyanya al-Dzahkirah fi Mahasin ahl al-Jazirah dan al-Fath Ib Khaqan dengan karyanya Kitab al-Qalaid dan yang lainnya.
Terinspirasi oleh antusiasme dan gairah hidup Abd ar-Rahman, kaum muslimin awal di Andalusia menjadikan negeri itu menjadi taman besar. Mereka menginpor tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dari negeri lain serta memperkenalkan metode –metode pertanian baru. Sistim irigasi yang menakjubkan, kaum muslimin memperkenalkan budidaya tebu, kapas, beras, dan  tidak ketinggalan buah-buahan seperti persik, jeruk, delima, dan kurma. Pada masa itu masyarakat Andalusia memiliki bayak keterampilan. Bahkan pada masa itu mereka telah memulai pengolahan industry sutra, dan dari merekalah lahir seni membut kertas dan gelas serta pembuatan senjata Toledo yang akhirnya sampai ke Eropa.[18] Pada puncak kejayaan Cordova di sana terdapat 15000 orang penenun.
10.  Pemikiran dan Filsafat
Ilmu filsafat dapat berkembang pada masa Islam di Spanyol. Pada waktu itu Spanyol merupakan slah satu tempat transmisi perpindahan ilmu pengetahuan Islam ke Barat.filsafat mulai dipelajari dan dikembangkan oleh umat Islam di Spanyol pada abad ke 19 M. yakni pada masa pemerintahan Muhammad Ibn Abd. Al-Rahman (832-886 M) penguasa Bani Umaiyah, kemudian berkembang pada masa al-Hakam (961-976 M) pada asa ini banyak buku-buku didatangkan dari daerah Islam di Timur, sehingga buku-buku di universitas-universitas dibanjiri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dapat menyaingi perpustakan Bait al-Hikmah di Bagdad.
Di Spanyol trkenal para filosof seperti Abu Bakar Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih terkenal dengan Ibn Bajjah (w. 1138 M) di Fez. Karyanya yang terkenal Tadbir al-Mutawahhid. Abu Bakar Ibn Thufail (w.1185 M) karyanya yang terkenal adalah Hay bin Yaqzhan. Di samping filosof dia juga seorang astronomi, kedokteran dan sebagainya. Filosof yang sangat terkenal muncul Ibn Rusyd dari Cordova (1126-1198 M). karyanya yang sangat monumental adalah Tahafud al-Tahafud. Karya ini sebagai tangkisan  terhadap kitab falsafah al-Ghazali Tahafud al-Falasifah.
11.  Pemahaman Agama
Perkembangan pengetahuan di Spanyl sangat pesat , tidak kalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan di Bagdad dan Mesir di antara ilmu yang berkembang di Spanyol adalah ilmu fiqh. Berkembangnya ilmu fiqh di Spanyol menggambarkan bahwa di Spanyol pada ketika itu sudah mulai banyak yang ahli, paham dalam bidang agama.
Mazhab fiqh yang berkembang di Spanyol adalah mazhab Malikiyah, mazhab Malikiyah ini dijadikan sebagai mazhab resmi Negara, walaupun masih ada mazhab yang lain seperti Syafi’yah. Kehidupan  masyarakat seperti perkawinan, talak, wasiat, warisan, jual beli dan sebagainya diatur berdasarkan mazhab Malikiyah.
Mazhab Malikiyah ini diperkenalkan oleh Ziyad Ibn Abd. Al-Rahman dan dikembangkan selanjutnya oleh Ibn Yahya yang menjadi qadi pada masa Hisyam ibn Abd. Al-Rahman. Di samping itu ahli fiqh yang terkenal pada masa itu seperti Abu Bakar Ibn al-Quthiyah, Munzir Ibn Sa’id al-Baluthi, Ibn Rusyd dan Ibn Hazm. Selain fuqaha yang bermazhab Maliki di Spanyol ada juga ahli-ahli fiqh yang bermazhab Syafi’iy seperti Usman ibn Abi Said al-Kinani, Ahmad Ibn Abd. Wahab bin Yunus dan sebagainya.
 

KERAJAAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN TURKI USMANI PERIODE II (1517 -1924)

A.    Kemunduran dan Kejatuhan Kerajaan Turki Usmani
1.      Proses Kemunduran
Sebagaimana kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh dan berkembang di dunia Islam, tidak terlepas dari proses pertumbuhan, perkembangan, mencapai puncak kejayaan, lalu akhirnya mangalami kemunduran dan kemusian disusul dengan kehancuran. Demikian juga dengan kerajaan turki usmani yang diproklamirkan oleh Usman I, menjadi negara adikuasa pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih), dan mencapai puncak kejayaannya dimasa Sultan Sualiman al-Qanuni. Kemudian Kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran dan pada akhirnya membawa kehancuran.
Kejatuahan Kerajaan Turki merupakan proses sejarah panjang dan tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam sejarahnya selama lima abad (akhir abad ke tiga belas hingga awal abad kesembilan belas) Kerajaan Turki Usmani mengalami pasang surut. Disatu sisi sebuah system politik yang diwarisi dari pendahulunya, Turki Saljuk, yaitu menjadikan Kerajaan adalah milik keluarga kerajaan dan menjadikan sultan sebagai sentral kekuatan politik, membuat kerajaan ini begitu rentan terhadap factor-faktor kejatuhan sebauah dinasti.seorang sultan yang lemah saja sudah dapat membuka jalan bagi proses kejatuhan kerajaan. Meskipun demikian seorang sultan yang kuat, pada masa pemerintahannya juga mampu memperlambat kehancuran suatu dinasti.
Bernard Lewis  seperti yang dikutip oleh Firdaus, M.Ag mengatakan untuk menentukan sejak kapan Kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, nempaknya Sejarawan  sepakat mengatakan awal kemunduran bermula sejak wafatnya Sultan Salim II (1566).[1] Sesudah Sultan Sulaiman Yang Agung Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai sultan-sultan yang dapat diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki Usmani sudah mulai diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan. Kerajaan Turki Usmani mulai mengalami fase kemunduran pada abad XVII.[2]
Pada akhir abad XVII Kerajaan Turki Usmani secara “bertubi-tubi “ menderita kekalahan dari pasukan Jerman, Polandia dan Rusia. Akibat dari kekalahan-kelahan yang dialami ini memaksa Kerajaan Turki Usmani untuk mengadakan perjanjian atau damai dengan negara-negara  Eropa. Perjanjian ini terjadi pada tahun 1699 yang dinamakan dengan perdamaian Karlowith. Peristiwa ini sungguh sangat menyakitkan hati orang-orang Turki Usmani karena dalam isi perdamaian itu, Turki Usmani harus rela melpaskan Translavia (wilayah Austria), Saladonia dan Karawatai serta Ukraina. Azov sendiri dapat diduduki oleh Kaisar Rusia di bawah pimpinan Peter Yang Agung pada tahun 1696 M.[3]
Kerajaan Turki  Usmani kembali harus kehilangan beberapa wilayahnya dan merelakan campur tangan kekuatan luar ke dalam wilayah yrisdiksinya. Berbagai kekalahan yang menimpa kerajaan Turki Usmani dalam operasi militer sebagai upaya merebut kembali wilayah yang hilang akibat perjanjian karlowith, memaksa Nevseherli Damat Ibrahim Pasya, penasehat Sultan Ahmad III, untuk mengakhiri peperangan pada tanggal 26 Agustus 1717. Perjanjian Passarowitz ditandatangani pada tanggal 21 Juli 1718.  Pada perjanjian itu Turki harus melepaskan Belgrade dan Senendria, wilayah utara Timok dan Una kepada imperium Habsburg, Sava dab Drina ke tangan Austria, dan Habsburg diperbolehkan membela kepentingan katolik di wilayah yurisdiksi Sultan.[4]
Rusia merupakan ancaman yang serius bagi itegrasi Kerajaan Turki Usmani, apalagi ketika Rusia mengadakan aliansi dengan Austria pada tahun 1726 M. dan Rusia segera menyerbu kerajaan Turki Usmani. Azov yang pernah direbut oleh Rusia pada tahun 1696 M, direbut kembali oleh Turki Usmani di bawah pimpinan sultan Mustafa II pada tahun 1726M. akan tetapi dapat direbut kembali oleh Rusia. Kebjakan Peter Yang Agung dilanjutkan oleh penggantinya  yang bernama Catherina Agung dengan lebih ulet dan sunggu-sungguh. Catherina berperang dengan Turki Usmani pada tahun 1768 M, ia memperoleh kemenangan baik di darat maupun laut.[5] George Lenczoski seperti yang dikutip oleh Syafiq A. Mughni mengatakan bahwa operasi angkatan laut Rusia memperagakan suatu armada yang mengepung Eropa hingga laut Medeteriana, serta operasi mengentarkan seluruh dunia.[6]
Perang antara kerajaan Turki Usmani dengan Rusia berakhir pada tahun 1777 M. dengan ditandai perjanjian Kinarca.  Perjanjian ini oleh Muhammad Farid digambarkan sebagai berikut : “yang penting dari perjanjian kinarca adalah Kerajaan Turki Usmani harus menyerahkan benteng-bentengnya yang berada di laut Hitam  diantaranya adalah benterng Azov”.[7]
Dengan demikian, berhasillah Rusia memenuhi hasratnya untuk menjadikan perairan laut hitam sebagai pangkalan militernya. Kemudian dari isi perjanjian tersebut juga dinyatakan bahwa armada laut Rusia mendapat izin dari pemerintah Turki Usmani untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih (Laut Tengah). Kemudian Kirman memerdekakan diri dari Turki Usmani, Rusia diizinkan membangun gereja di Asitnah dan menjadi pelindung orang-orang Kristen Orthodox yang berdomisili di wilayah Turki Usmani. Para Jemaat Kristen yang akan menunaikan ibadah Haji ke Palestina harus dibebaskan dari membayar pajak. Di samping itu, Turki Usmani harus memperhatikan kesejahteraan para pendeta dan umat Kristen. Pemerintah Turki Usmani harus membayar ganti rugi peperangan kepada Rusia yang tidak sedikit jumlahnya secara beransur-ansur selama tiga tahun.[8]  Berdasarkan kenyataan tersebut menunjukan bahwa kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Turki Usmani tidak penuh lagi dalam mengurusi kerajaannya.
Meskipun telah ada perjanjian  damai, ternyata Rusia tetap menaklukkan dan merebut negeri-negeri yang semula dikuasai dan ditinggalkan oleh oleh oran-orang Turki, Tartar dan muslim lainnya. Inilah yang menyebabkan timbulnya kembali peperangan antara Rusia dengan Turki Usmani pada tahun 1792 M. akan tetapi Turki Usmani tetap mengalami kekalahan, dengan ini terpaksalah ia mengakui pendudukan Rusia atas Kerajaan Tartar.[9]
Pada tahun 1801 kekuatan Prancis dikalahkan oleh Inggris  yang kemudian mengembalikan  kekuasaan Turki atas wilayah Mesir. Pada tahun berikutnya, Mesir kembali menjadi wilayah yurisdiksi sultan. Evakuasi kekuatan militer Perancis dari wilayah Mesir jelas memperbaiki hubungan kedua belah pihak yang telah terjalin lama, dan oleh sebab itu Napoleon diperbolehkan mempergunakan “the porte” sebagai kekuatan tambahan ketika Perancis berkonfrontaso dengan Rusia. Bagi Turki konfrontasi jelas menguntungkan, sebab baginya Rusia merupakan ancaman politik yang telah menganeksasi beberapa wilayahnya melalui perjanjian Kucuk Kaynarca, 1774. Akan tetapi konfontasi Rusia – Perancis berubah menjadi aliansi politik ketika Tsar Alexander dan Napoleon Bonaparte menandatangani perjanjian Tilsit pada 7 Juli 1807. Pada saat itu Perancis berkeinginan untuk membendung dominasi Inggris di benua Eropa. Perancis pada awalnya memaksa Alexander untuk tetap menghormati perjajian yang telah dibuat bersama Turki sebelumnya. Tetapi setelah itu Turki kembali terjebak dan konspirasi politik besar bangsa Eropa. Oleh sebab itu Turki melakukan negosiasi dengan Rusia atas mediasi Perancis di Slobosia, 21 Maret 1808, yang mengharuskan Rusia meninggalkan Moldova dan Wallachia, sedangkan Turki akan meninggalkan selat Danibe dan hanya meletakkan tentaranya di Ismailiya, Ibrail dan Galatz. Akan tetapi Rusia ingkar janji dengan tidak mau meninggalkan Moldova  kecuali atas perintah Tsar lansung. Apalagi Tsar dapat jaminan lesan dari Napoleon bahwa ia akam membiarkan Rusia bila berkeinginan menguasai kerajaan-kerajaan kecil. Akhirnya meletuslah perang selama lima tahun dan berakhir dengan perjanjian Bukares, Mei 1812, dan kerugian ada dipihak Turki. Lewat perjanjian tersebut Rusia dapat mencaplok Bassarabia.[10]
Dalam upaya menjaga kelansungannya, Turki Usmani semakin bertambah ketergantungannya terhadap keseimbangan kekuatan bangsa-bangsa Eropa. Hingga tahun 1878 Ingris dan Rusia saling berebut pengaruh, meskipun keduanya menghindari keterlibatan lansung dalam kerajaan Turki Usmani dan perseteruannya. Meskipun demikian , antara tahun 1878 hingga 1914 sebagian besar wilayah di semenanjung Balkan menjadi wilayah merdeka dari kekuasaan Turki, dan Inggris, Rusia dan Austria-Hungaria mengusai beberapa bekas wilayah kekuasaan Turki tersebut.
Kondisi ini semakin sulit dan rumit, dimana setelah kerajaan Turki Usmani bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I pada tahun 1914. Keterlibatan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan bergabung dengan Jerman, bukan tanpa alas an. Alas an itu antara lain pengaruh Jerman di Kerajaan Turki Usmani melebihi pengaruh Eropa lainnya. Hal ini tanpak dalam bidang militer. Pada tahun 1914 tentara Turki Usmani dilatih oleh Jerman yang terdiri dari 42 perwira di bawah pimpinan Jenderal Liman Von Sanders. Disamping itu Turki Usmani berharab dengan bergabung bersama Jerman, Turki Usmani dapat mengambil kembali wilayah-wilayahnya yang dicaplok oleh Rusia. Akan tetapi ini hanya berakibat fatal untuk Turki Usmani. Wilayah Turki Usmani semakin lama semakin kecil karena diperebutkan  oleh orang-orang Eropa.[11]  
Dalam Perang Dunia I Turki Usmani mengalami kekalahan, maka diadakan perjanjian Serves yang membuat Turki Usmani harus kehilangan wilayahnya. Dengan demikian, maka melalui perjanjian Serves ini, pada garis besarnya tercapailah segala ambisi negara-negara Eropa yang selama ini tersimpan dalam dada, terutama sekali Yunani karena dari hasil ini, ia berhasil memperoleh sebagian besar wilayah yang dikuasai oleh Turki.[12] Demikianlah proses kemunduran yang terjadi pada kerajaan Turki Usmani.
2.      Faktor-Faktor Kejatuah Turki Usmani
a.       Faktor Internal
1). Kelemahan Para Sultan dan Sistem Birokrasi
Nampaknya para sejarawan sepakat bahwa kelemahan para sultan dan system birokrasi Kerajaan Turki Usmani menjadi penyebab kejatuhannya. Seorang sultan yang lemah cukup member peluang bagi kejatuhan kerajaan Turki Usmani. Sebaliknya seorang sultan yang cakap juga mampu memperlambat proses kejatuhan pada system politik kerajaan.
Pada masa KerajaanTurki Usmani, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman I (1520-1566), tanda-tanda keruntuhan juga sudah mulai tampak ke permukaan. Pandangan tersebut lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Para sultan terdahulu telah begitu terlatih untuk menjadi seorang penguasa dan meniti puncak kekuasaan dengan terlebih dahulu menunjukkan kemampuannya  dalam mengendalikan persoalan pemerintahan dengan pengalaman yang mereka peroleh pada saat terlibat aktif dalam administrasi local dan ekspedisi militer. Mereka memperoleh kekuasaan dengan meyakinkan para pengikutnya dengan memasukkan kelas budak ke dalam struktur pemerintahan dan member mereka posisi yang berhadapan dengan para aristocrat Turki. Dengan memberikan ini sebagai kelas penguasa (rulling class) maka ada bahwa kejatuah Turki Usmani adalah akibat masuknya kelas budak ini ke dalam system birokrasi kerajaan.[13]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan serta tidak sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat lansung dalam administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh, mereka banyak larut dalam kehidupan istana.[14]
Akibat lemahny a para sultan maka menimbulkan pemberontakan-pemberontakan dalam negeri sediri, seperti di Suriah di bawah pimpinan Kurdi Jambulat, di Lebanon di bawah pimpinan Drize Amir Fakhruddin. Dengan negara-negar tetangga terjadi peperangan seperti Vinitia (1645-1664)  dan dengan syah Abbas dari Persia. Tentara Turki Usmani (Jenissari) juga memberontak, ini berakibat jelek sekali bagi kerajaan Turki Usmani.[15]
2). Kemunduran dalam bidang ekonomi
Turki Usmani pada masa kejayaannya menguasai tiga benua dan dua lautan yang merupakan negara adikuasa dalam bidang militer dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena militernya kuat dan militernya mantap. Adapun sumber pemasukan perekonomiannya antara lain dari pajak, upeti dan dari wilayah-wilayah yang ditaklukkannya. Kondisi ini berubah setelah kerajaan Turki Usmani berada dalam keadaan mundur dan lemah. Pajak-pajak dari negara bawahan sudah sangat jauh berkurang. Hal ini karena banyak wilayah tersebut yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat.
Kemampuan Turki Usmani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mulai melemah, pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Munculnya kekuatan ekonomi dan keuangan baru dibelahan Eropa merupakan buah dari perkembangan ekonomi. Ekspansi bangsa Eropa ke benua Amerika dan Afrika merupakan harapan akan bertambahnya kemakmuran dan perangkat yang dibutuhkan untuk mengembangkan sayap perdagangan kebelahan dunia sebelah timur. Rute perdagangan tersebut dengan sendirinya mematahkan tradisi dan regulasi yang diterapkan oleh kekuatan yang memegang wilayah Timut Tengah.[16]
Ditemukannya benua Amerika, telah menggeser jalur perdagangan ke Samudera Atlantik dan ke laut terbuka  di sekeliling Afrika Selatan dan Asia Selata. Laut Tengah dan Timur Tengah, sekalipun dalam beberapa hal masih berpengaruh namun sudah kehilangan kedudukan ekonomi. Perkembangan dibelahan dunia lain telah menempatkan mereka pada kedudukan kelas dua diantara tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan dibukanya rute Samudera, maka laut Tengah dan Timur Tengah tidak dipersoalkan lagi. Kerajaan Turki Usmani sebagai kekuatan Laut Tengah dan Timur Tengah, akhirnya mulai menurun dari kedudukan yang tinggi.[17]
3). Wilayah yang Luas dan Ledakan Penduduk
Wilayah Kerajaan Turki Usmani ketika berada pada puncak kejayaannya meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Hijaz, serta Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunisia, serta AlJazair di Afrika dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.[18] Wilayah yang sangat luas itu dihuni oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari segi agama, ras maupun adat istiadat. Untuk mengatur wilayah yang besar ini, pada posisi yang lemah sangatlah sulit sekali.
Penduduk Kerajaan Turki Usmani pada abad ke eman belas bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Problem kependudukan pada saat itu lebih banyak disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditam bah menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman. Untuk mengatur penduduk  yang beraneka ragam dan tersebar luas di tiga benua diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang baik dan teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik Kerajaan Turki Usmani hanya akan menanggung beban  yang sangat berat akibatnya.  Perbedaan ras, bangsaq dan agama juga memicu mengantarkan pemberontakan dan peperangan yang akhirnya menjadi kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani.[19]
4). Budaya Korupsi Para Sultan
Pada umumnya moral pejabat negara di Kerajaan Turki Usmani tidak baik, menipulasi dan kolusi merupakan suatu pekerjaan yang lumrah dan sering mereka lakukan. Oleh karena itu terjadilah jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan Turki Usmani. Untuk dapat  menduduki Kursi Shadrul al-A’zam seorang calon, harus memberikan sekian banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.[20]
Demikian juga Gubernur sebagai kepada pemerintahan di propinsi. Seorang calon gubernur tidak akan dipilih dan diangkat sebelun ia memberikan sogokan yang banyak kepada Shadrul al-A’zam.  Oleh kerena pengangkatan seorang calon pejabat bukan berdasarkan keahlian dan keterampilannya, bahkan jabatan itu diraih dengan jalan menyogok, maka tidak mengherankan seorang gubernur hanya berfikir bagaimana ia dapat mengembalikan dan memperolleh kekayaan sebanyak-banyaknya dan masalah rakyat bukan menjadi persoalan yang mereka utamakan.[21]
5)  Pengaruh Para Isteri-isteri Sultan
Setelah pemerintahan Sultan Muhammad II, istana Kerajaan Turki Usmani selalu terjadi kecemburuan, intrik dan percekcokan karena pengaruh isteri-isteri sultan berkebangsaan Eropa. Melalui mereka raja-raja Eropa dapat mengirim mata-mata masuk ke istana kerajaan. Di samping itu, istri-istri sultan terdiri dari berbagai ragam wanita dengan kulit dan kasta yang berbeda bahkan ada juga yang di beli oleh sultan. Dengan demikian tidak jarang isteri-isteri sultan tersebut yang memberikan informasi penting kepada musuh. Oleh karena itu banyak rencana yang dilakukan oleh kerajaan selalu mengalami kegagalan karena sudah diketahui oleh musuh terlebih dahulu. Tentu saja mereka sudah mempersiapkan taktik dan strategi untuk mengantisipasi rencana yang dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani.[22]
6). Keterbelakangan dalam Industri Perang
Pada masa Turki Usmani kemerosotan kaum muslimin tidak hanya terbatas pada bidang pengetahuan saja, melainkan dalam segala bidang termasuk dalam bidang industry perang, padalah keunggulan Turki Usmani pada bidang itu pada masa sebelumnya telah diakui oleh seluruh dunia. Tidak berkembangnya industry sangat berpegaruh terhadap kerajaan Turki Usmani yang sangat mengandalkan militer sebagai tulang punggu kerajaan.
Sementara bangsa Eropa berhasil menciptakan senjata baru, melancarkan modernisasinya angkatan perangnya serta memantapkan organisasinya, sehingga pasukannya mampu melancarkan pukulan terhadap kerajaan Turki Usmani pada tahun 1774 M.[23]
7). Munculnya Gerakan Nasionalisme
Dari sekian banyak factor yang menyebabkan kemunduran bagi Kerajaan Turki Usmani adalah tumbuhnya paham nasionalis bangsa-bangsa yang berada di bawah kuasa Turki Usmani. Berbagai suku bangsa yang hidup dibawah pemerintahan Turki Usmani mulai terusik nasionalismenya.  Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, mohon bantuan bagi kemerdekaan bangsa dan tanah airnya. Bangsa Kurdi dipengunungan dan bangsa Arab di padang pasir dan di lembah-lembah, mereka juga sama bangkit hendak melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Turki Usmani.[24]
Paham nasionalis yang muncul di wilayah-wilayah Kerajan Turki Usmani tidak terlepas dari persentuhan umat Islam dengan orang-orang Barat. Hal ini dapat dibuktikan ketika Napolion melakukan ekspedisi,  dimana is mengembangkan ide kebangsaan dengan menyatakan bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation)[25]
Dengan adanya paham nasionalis ini menimbulkan kesadaran rakyat akibat dari tekanan pemerintah, bahkan mereka sebenarnya bukanlah orang-orang Turki, maka untuk itu mereka berusaha untuk bisa melepaskan diri dari kerajaan Turki  Usmani.
b.      Faktor Eksternal
Kebangkitan Eropa
Ketika kemunduran Kerajaan Turki Usmani pada periode pertengan dari sejarah Islam, negara-negara Eropa Barat sedang mengalami kemajuan pesat. Hal ini berbeda dengan masa Klasik Islam. Ketika Islam berada dalam kejayaan, eropa masih berada dalam kebodohan dan keterbelakangan seperti halnya negara terbelakang sekarang dan miskin dewasa ini di Asia dan Afrika.
Kemajuan Eropa sebenarnya bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berfikir rasional orang-orang islam. Sebagaimana deketahui, bahwa saluran tempat ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa bersumber di Spanyol, dimana pada masa kejayaannya banyak pelajar-pelajar Eropa datang untuk menuntut ilmu pengetahuan di unuversitas-universitas di sana. Setelah mereka menamatkan sekolah, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan universitas sebagaimana yang ada di dunia Islam. Dalam perkembangan selanjutnya mereka inilah yang melahirkan renaissance dan reformasi di Eropa.[26]
Abad ke 16 dan 17 M. merupakan abad yang penting dalam sejarah. Pada masa itu Eropa bangkit dengan segala kekuatan untuk mengejar keterbelakangannya pada zaman klasik. Orang-orang Eropa bangkit menyelidiki rahasia alam semesta, menaklukkan lautan dan menjajahi benua yang sebelumnya masih diliputi oleh kegelapan. Mereka membuat penemuan baru dalam segala lapangan ilmu dan seni serta dalam segala kehidupan. Dengan demikian, muncul tokoh-tokoh cemerlang dalam berbagai ilmu pengetahuan , seperti Copernicus, Bruno, Galileo, Kepler, Newton, dan lain-lain yang telah meletakkan prinsip-rinsip lama dibidang ilmu pengetahuan. Di bidang penjelajahan dan penemuan daerah-daerah baru tercatat nama-nama tokohnya seperti; Colombus, Vasco da Gama, Magelhens dan lain-lain sebagainya.[27]
Dengan demikian factor-faktor diatas sejak abad XVI telah menjadi penyebab lemahnya Imperium Turki Usmani, satu demi satu wilayahnya lepas dan akhirnya Turki Usmani runtuh. Perang militer antara Turki Usmani dengan orang Eropa berubah menjadi perang agama. Ketika terbentuk persekutuan suci (Haf Miqadd) antara Austria, Polandia, dam Bundukia untuk bersama-sama menyerang Turki Usmani, maka pengaruh sangat dalam bagi kekalahan Turki Usmanidan sangat memperlemah kekuatannya. Selanjutnya atas nama agama Kristen, Rusia juga bersama-sama dengan negara Kristen lainnya menyatakan perang terhadap Turki Usmani. Akibat serangan negara-negara Kristen ini Turki Usmani mendapat pukulan keras dan menderita kerugian besar.[28]
B.     Pembaharuan Turki Usmani
Pada permulaan abad ke XVII, Turki Usmani mulai memperdebatkan cara terbaik bagi program restorasi integritas politik dan efektivitas kukuatan militer yang dimiki kerajaan. Para pembaharu pada awalnya berlandaskan kepada aturan yang digariskan Sultan Sulaiman yang menentang kemungkinan pengaruh kekuatan Kristen Eropa atas kaum Muslimin. Para modernis menganggap perlunya kekhilafahan Turki untuk mengabsi metode yang dimiliki bangsa Eropa dalam pendidikan kemiliteran, organisasi dan administrasi untuk menciptakan suatu perubahan di bidang pendidikan, ekonomi dan social yang mendukung terbentuknya negara modern. Pada abad ke delapan belas dan terutama pada abad kesembilan belas, kelompok modernis muncul dengan terang-terangan, dan akhirnya menjadi pemenang.[29]
Semenjak abad ke delapan belas, penasehat militer Eropa telah mulai diperjakan untuk memberikan latihan kemiliteran bagi pejabat militer kerajaan. Percetakan juga didirikan untuk menerbitkan beberapa terjemahan kerya Eropa di bidang teknik, militer dan geografi. Sultan Salim III (1789-1807) memperkenalkan program pembaharuan yang pertama, dikebal dengan nama Nizam-i Jedid. Rencana pembaharuan itu meliputi pembentukan korp militer baru, perluasan system perpajakan dan pelatihan untuk mendidik para kaderbagi rezim baru. Rencana yang dikemukakan oleh Sultan Salim tidak mendapatkan dukungan dari para Ulama dan kelompok militer Janissari, yang akhirnya ia menjadi kurban rencana pembaharuan tersebut. Ia kemudian digulingkan pada tahun 1807. Meskipun demikian program pembaharuan tersebut dilakasanakan pada periode Sultan Mahmud II.
1.      Sultan Mahmud II (1808-1839)
Mahmud II adalah putera Sultan Abd al-Hamid dan memperoleh pendidikan di istana di bidang bahasa-bahasa Islam klasik, agama, hokum, sastra dan sejarah. kerajaan Turki Usmani pada awal abad ke Sembilan belas dalam kondisi yang berantakan dan terpecah-belah, mengingat minimnya control politik pemerintah pusat terdapa pemerintah daerah. Didamping lemahnya konsolidasi politik internal diperburuk dengan keterlibatan kekuatan militer Turki dalam berbagai negara asing, baik dengan Perancis, Rusia, Inggris dan lain-lain seperti yang telah dikemukakan diatas tadi.
Ketika ia naik tahta dan menjadi sultan di kerajaan Turki, Mahmud II memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal. Perubahan internal itu dipusatkan pada rekonstruksi kekuatan angkatan bersenjata sehingga menjadi kekuatan yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. Selain itu perbaikan tersebut dimaksudkan untuk mengkonsolidasi seluruh potensi local. Pada tahun 1826, ia merombak Janissari menjadi kekuatan militer model Eropa. Kebijakan ini akhirnya diprotes oleh Janissari yang telah berdiri pada abad keempat belas oleh Sultan Orkhan, pada tanggal 16 Juni 1826. Akhirnya pemberontakan tersebut dikenal dengan The Auspicious Incident dalam sejarah Turki.[30]
Sentralisasi kekuatan yang menjadi program utama Sultan Mahmud II secara beransur-ansur dilaksanakan. Sistem militer lama lenyap secara total pada tahun 1831 bersamaan dengan dihapusnya system feudal, timar. Kekuatan militer baru tersebut menjadi semakin loyal terhadap sultan dan menjadi alat proses sentralisasi politik dan menjadi pendorong proses modernisasi. Selanjutnya yang dilakukannya adalah tetap menjalin hubungan damai dengan kekuatan asing di Eropa. Kemudian perbaikan dibidang pendidikan bagi para pejabat militer, dokter militer dan di bidang administrasi didorong untuk memenuhi tuntutan atas pembayaran bagi para tentara dengan mendirikan berbagai sekolah baik dibidang kedokteran, sekolah music kerajaan, akademi militer kerajaan, sekolah tinggakt menengah bagi masyarakat yang akan dipersipkan untuk menjadi pegawai sipil. Selain itu didirikan juga sekolah ilmu pengetahuan umum. Terhadap system pendidikan tradisional, madrasah, ia berusaha memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikannya.
Selain itu administrasi pusat juga dibenahi. System kementrian medel Eropa di perkenalkan dan seluruh menteri bertanggung jawab kepada seorang perdana menteri. Selain itu untuk membantu dalam meletakkan dasar strategi perencanaan jangka panjang ia mendirikan sebuah lembaga legislative dan dikenal dengan meclis-i Ahkam-i Adliye pada 1838. Begitu juga dibuka lembaga penerjemahan pada tahun 1833. Kedutaan Besar kerajaan Turki di berbagai negara asing dibuka kembali.[31]
Kekuatan militer dan system administrasi yang telah diperbaharui tersebut pada gilirannya menjadi ujung tombak bagi perluasan kekuasaan Sultan terhadap beberapa penguasa wilayah taklukan yang hendak memerdekakan diri, dan memperkokoh kekuatan politik kerajaan.
2.         Tanzimat
Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan pembaharu di Turki yang dikenalkan kedalam system birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani semenjak pemerintahan Abd al-Majid (1839-1861), putra sultan Mahmud II, dan Sultan Abd al-Aziz (1861-1876). Pada periode ini diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses pembaharuan. Pembaharuan tersebut dimulai dengan diumumkannya deklarasi Gulkhane, Katti-i Syerif Gulkhane, pada tanggal 3 November 1839. Tanzimat ini ditindak lanjuti oleh Khatt-i Humayun yang diumumkan pada tanggal 18 Pebruari 1856.[32]
Tokoh utama pada periode tanzimat adalah Mustafa Pasya, yang dikenal dengan gelar Bayrakdar. Reformasi yang ia lakukan semasa ia menjadi perdana mentri adalah melakukan perubahan pada lembaga militer. Ia membentuk tentara Nizam dalam bentuk yang baru dan membentuk suatu lembaga kerajaan yang besar. Lembaga tersebut terdiri dari para pejabat tinggi, gubernur, pasya dan ayan yang berasal dari seluruh penjuru negeri.
Tokoh lain pada periode ini adalah Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858), yang dalam banyak hal sering disebut sebagai arsitek pembaharuan abad kesembilan belas di Turki. Perkenalannya dengan dunia Barat dimulai saat ia diangkat menajdai duta besar di Paris 1834. Jabatannya sebagai duta besar di Italia memungkinkannya memungkinkannya mempelajari bahasa perancis dan melihat menajuan yang terjadi di dunia Barat. Pada masa berikutnya ia diangkat menjadi menteri luar negeri, dan sekembalinya dari London untuk misi khusus, ia mengambil inisiatif untuk mengumumkan suatu perubahan yang dikenal dalam sejarah Turki dengan nama tanzimat.
Tokoh tanzimat yang pemikirannya banyak diketahui adalah Mehmed Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Untuk menyalurkan dan melaksanakan ide pembaharuannya, ia mendirikan Dewan Tanzimat dan ia sendiri menjadi ketuanya. Untuk menjadikan Turki sebagai kerajaan yang maju, ia mengajukan beberapa pokok pikiran. Pertama, Turki hanya dapat mencapai peradaban modern Barat bila dapat menciptakan suasana damai dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat. Untuk menjadikan Turki sebagai negara yang makmur, maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan menghilangkan pemerintahan yang absolute, sebab, dalam tekanan pemerintahan yang otoriter, rakyat akan mengurangi semangat kerja, mengikis watak kejujuran dalam bekerja sehingga kepentingan pribadi menjadi lebih penting ketimbang kepentingan negara.
Ide pembaharuan yang mereka lontarkan mendapat sambutan dari pusat kekuasaan. Sultan Abd al-Majid, pada tanggal 3 Nofember 1839 mengumumkan deklarasi Gulkhane yang dimaksudkan untuk melakukan reorganisasi secara structural dan konprehensif atas rezim lama. Deklarasi tersebut mempunyai dua tujuan yang bersamaan; pertama, untuk memenuhi keinginan kekuatan-kekuatan bangsa Eropa, yang secara serius telah melakukan intervensi dalam beberapa urusan dalam negeri Turki sebagai pemecahan krisis Yunani. Kedua, untuk menumbuhkan rasa percaya diri pemerintahan dalam negeri.
Periode tanzimat diwanai dengan sentralisasi kekuasaan negara dan pengenalan norma-norma modern Eropa. Untuk mengenalkan norma-norma modern Eropa itu, kaidah-kaidah hokum Eropa dioerkenalkan dengan intensif, beberapa mahasiswa dikirim untuk belajar ke Eropa, dan bahkan para pejabat militer dididik di sana atau di Turki di bawah bimbingan instruktur Eropa.[33] 
3.         Usmani Muda
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, periode tanzimat telah mengakibatkan terakumulasinya sebagian besar kekuatan di tangan Sultan. Tanzimat juga melahirkan perkembangan politik yang unik dengan munculnya tiga kelompok masyarakat yang memandang program itu secara kritis. Perama, kelompok oposisi dari kalangan tradisionalis. Kedua, kelompok intelektual yang telah mengenyam berbagai pelatihan birokrasi dan menguasai ide-ide Barat. Sedangkan kelompok yang ke tiga adalah mereka yang berkeinginan untuk menghapuskan Sultan sebagai sebuah kekuatan politik.
Kelompok intelektuan yang merupakan kelompok kedua dikenal dengan Umani Muda, Young Ottomans. Kelompok ini merupakan sebuah komunitas yang telah mengadakan pertemuan di Paris dan London antara tahun 1867-1871. Pandagan politik mereka banyak dipengaruhi oleh faham secular dan revolusioner terhadap ajaran Islam tradisional. Di antara tokoh Usmani Muda adalah Namik Kemal dan Midhat Pasya.[34]
Bersama Midhat Pasya dan Ziya Pasya, Namik Kemal menyiapkan perundang-undangan dan proses liberalisasi. Untuk mewujudkan peradaban Islam yang benar dengan ide pan Islam yang kuat, ia mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam salaf dan menolak ajaran Islam lama yang tidak memuaskannya. Ia juga yang pertama mengenalkan kepada bangsa Turki konsep tanah air, wathan, konsep negara, milet, dan konsep kebebasab, hurriyet. Ketiga konsep tersebut menjadi jargon para pendukun Turki Muda.
4.      Turki Muda
Diantara tokoh Turki Muda adalah Murad Bey (1853-1912), Ahmad Reza (1859-1931) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Murad Bey, dalam pandangannya, sebab kemunduran Turki Usmani bukanlah disebabkan ajaran islam yang diadopsinya, bukan juga rakyatnya, akan tetapi yang menjadi penyebab kemunduran Turki Usmani adalah absolutism kekuasaan sultan. Untuk itu, kekuatan sultan harus dibatasi, dan selanjutnya ia mengatakan bahwa seharusnya Turki mengadopsi system kenstitusional Barat yang ada, karena system tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Untuk mengadakan konsolidasi politik di wilayah Kekuasaan Turki, ia menyodorkan faham Pan-Islam yang akan mengikat wilayah kekuasaan Turki dalam satu kesatuan agama, Islam.
Ahmad Reza berpendapat bahwa penyebab kesengsaraan rakyat bukan saja disebab oleh rendahnya teknologi. Tetapi lebih banyak oleh lemahnya system birokrasi yang ada. Dalam perjalanan intelektualnya ia berkesimpulan bahwa diantara cara untuk menjaga keruntuhan Turki Usmani adalah dengan meningkatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangannya tentang sentralisasi dan penolakannya terhadap campur tangan asing di Turki membuatnya berseberangan dengan Pangeran Sabahuddin yang menginginkan sebaliknya. Ia mengiginkan proses desentralisasi kekuasaan dan cacpur tangan kekuatan asing untuk membantu proses reformasi di Turki.
Dalam pandangan Sabahuddin, keperluan mendesak saat itu bagi masyarakat Turki bukanlah sebuah reformasi politik melainkan sebuah revolusi social. Sebagaimana Ahmad Reza, ia berpendapat bahwa jalan yang ditempuh untuk melakukan revolusi social tersebut adalah pendidikan.
Kaum wanita pada masa Turki Muda memperoleh perhatian besar. Di bidang pendidikan, kesempatan bagi keum wanita untuk mendapatkan pendidikan juga dibuka lebar. Kalau periode tanzimat kaum wanita telah memperoleh kesempatan belajar tingkat dasar, maka pada periode Turki Muda kesempatan bagi wanita untuk belajar tingkat menengah dan tinggi juga terbuka lebar. Pada tahun 1917 undang-undang keluarga family low, disahkan oleh pemerintah.[35]
5.      Mustafa Kemal Ataturk
Gerakan tanzimat menumbuhkan bibit-bibit nasionalisme bangsa Turki di kemudian hari. Semenjak tahun 1860, kalangan intelektual yang merupakan produk tanzimat mulai mengemukakan pendapatnya melalui gerakan Usmani Muda. Mereka berkeyakinan bahwa kerajaan Turki hanya akan dapat dipertahankan bila mau mengadopsi peradaban Eropa tanpa perobahan dari sisi struktur. Gerakan ini muncul pada saat Sultan Hamid II naik tahta dan ditindak lanjuti dengan gerakan Turki Muda tahun 1880. Mereka bersatu untuk melawan despotisme Sultan Hamid yang berbasiskan interpretasi baru atas Faham Ottomanisme. Mereka tidak lagi diikat oleh kesatuan agama melainkan ide multi-negara.[36]
Setelah kelompok Turki Muda berhasil mengalahkan gerakan pro-Abd al-Hamid tahun 1909 dengan bantuan pejabat berkebangsaan Arab, mereka melontarkan ide nasionalisme yang dikenal dengan Turanisme. Gerakan Turanisme melahirkan kebijakan Turkifikasi yang hakikatnya merupakan proses penindasan sistematis terhadap budaya dan bahasa bangsa lain yang akhirnya menimbulkan semangat nasionalisme baru dikalangan bangsa Arab lainnya. Mereka mengharapkan proses transpormasi system pemerintahan kerajaan Turki Usmani dari system otokrasi-monarkis menjadi monarki-kostitusional, dengan memberikan kepada mereka otonemi pemerintahan dan kebudayaan.Dampak nyata dari idiologi nasionalisme adalah runtuhnya system Khilafah Usmani, yang dibangun atas pemikiran politik keagamaan yang bersifat supra nasional.
Tokoh utama gerakan nasionelisme Turki adalah Mustafa Kemal, tetpi ia bukan satu-satunya pemikir yang melahirkan isiologi nasionalisme Turki. Mustafa Kemal sendiri medapatkan inspirasi dari para tokoh USmani Muda dan Turki Muda yang merupakan produk dari kebijakan reorganisasi yang dicanangkan oleh sultan Mahmud II. Di antara pemikir Turki yangmeletakkan dasar semagat nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933) dan Zia Gokalp (1875-1924).
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian hari dikenal dengan Kemal Ataturk, di Anatolia, ia bekerja giat untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mewujudkan negara Turki yang modern. Di kota tersebut ia berkiprah di Association for the Defence of the Right of Eastern Anatolia, sebuah gerakan untuk mempertahankan hak-hak masyarakat Anatolia Timur dan didirikan di Erzurum 3 Maret 1919. Asosiasi ini kemudian hari meluas menjadi asosiasi pembebasan masyarakat Anatolia dan Rumella dan Mustafa Kemal menjadi ketuanya.
Dengan ditanda tanganinya perjanjian Lausanne tanggal 24 Juli 1923, maka secara internasional Pakta Nasional Turki diakui. Berdasarkan kesepakatan grand Nasional Assembly, disebutkan bahwa yang menjadi penguasa adalah mereka yang menjadi perwakilan rakyat.
Pada tanggal 6 Desember 1922, Mustafa Kemal mendirikan Partai Rakyat dan mengundang seluruh kangan terpelajar untuk berkomunikasi lansung dengannya. Pada tanggal 16 April 1923 Grand Nasional Assembly membubarkan diri dan mempersiapkan pengadaan pemilu. Anggota Assembly baru hasil pemilu memiliki anggota 286 dan pada taggal 11 Agustus 1923 memilih Mustafa Kemal sebagai presiden dan Fethi sebagai perdana mentri. Dengan ini negara baru Turki berdiri tidak atas dasar dinasti, kerajaan, maupun agama melainkan atas dasar nation (bangsa) dengan ibukota ditengah-tengah negara Turki, yakni Ankara.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Grand Naional Assembly, secara resmi menghapus lembaga kesultanan dan khilafah. Tidak lama kemudian kebijaksanaan hari libur nasional dirubah dari hari jum’at ke hari Minggu, dan keluar peraturan keharusan memakai busana Barat
 

DINASTI SALJUK DAN KEMUNDURAN SERTA KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH



A.    Pendahuluan
Keruntuhan kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini  menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania, dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.
B.     Sejarah Pembentukan Dinasti Saljuk
Bangsa Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz. Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn Tukak (Dukak).[3] Ia merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas terpisah dari kerajaan.  Versi kedua adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5] Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah dengan dinasti Khaniyyah.[6] Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh Samaniyyah.[7]
Setelah Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi. Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9] Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.      Saljuk Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril Bek merencanakan dua hal
a.    Melakukan konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.      Memperluas kekuasaan
Daerah kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 – 1051 M ia berhasil merebut Isfahan  dan menghancurkan kekuatan Daylamah di Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10] Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa khalifah menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan peninggalan-peninggalan suci lainnya. Al-Basasiri menguasai istana selama lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini untuk memimpin bala tentaranya masuk ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin Amirul Mukminin serta meletakkan raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M  dan akhirnya Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465 H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia menjadikan kota Rayy sebagai ibu kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah Transoksania untuk mengkonsolidasi wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi wilayah alp-Arselan menjadikan silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa kerajaan Khanniyah dan putranya yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun harus membayar jizyah kepada kesultanan Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan kesultanan Saljuk dengan kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan menakhlukkan kesultanan Saljuk. Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M) naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy, ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama, melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua, menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan berhasil dipertahankan bahkan diperluas: yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H / 1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.
2.      Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117 M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan tersebut ditandai dengan munculnya kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia melepaskan diri dari kekuasaan pamannya, sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya dipenuhi dengan menjadikan Mahmud sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya, Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131), Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 – 1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah (1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun. Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.
3.      Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin Alp-Arselan yang telah mulai memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078 M atas perintah Maliksyah yang memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep (Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya, Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung Tutusy dan ia melarikan diri ke Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal 7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy (488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah ) dan para amir Arluqiyyah ).[14]
4.      Saljuk Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan tentara yang besar menuju Rayy unuk memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M). Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan yang dipegang oleh Turan Syah (1084-1097 M), Iran Syah (1097-­1100), Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156 M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II. Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan. Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186 M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187 M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.
5.      Saljuk Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah kesultanan kurang lebih 14 orang. Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan naiklah Alp-Arselan, ia melakukan pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam al-Mulk, keluarga ini selamat dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai gelar amir.
Selanjutnya, pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia Kecil atas perkenanan dari Malik Syah. Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia. Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak penaklukan. Ada dua hal yang perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan kebebasan beragama pada masa Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I,  ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192 N1),  Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M), Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada petnerintahan Alaudin Kaikobad ( 1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.
C.    Kemajuan yang dicapai Dinasti Saljuk
a.       Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan matematika.[19] 
b.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan harga diri dan kaumnya.[20]
c.       Bidang Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut dijadikan sekolah.[21]
D.    Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah ini.
a.      Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.[22]
a.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang­ orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-­budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]
b.      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.    Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.    Yang berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.    Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.    Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia (180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.    Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]
c.       Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul­mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-­marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M), kembali memperkenankan orang syi’ahmenziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]
b.      Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1.      Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang­-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[35]
2.      Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui­ sahara yang dikenal keras kepala dan suka berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base camp pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.
 

PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN MUGHAL DI INDIA

A.    Pendahuluan
Harun Nasution membagi sejarah Islam kepda tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.[1] Cikal bakal kekuasaan Islam di India bermula pada periode klasik yaitu pada masa Bani Umayyah dibawah kekuasaan khalifah Walid bin Abdul Malik, yaitu pada periode  705-715 M.
Pada periode pertengahan, muncul tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Usmani di turki, kerajaan Shafawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Kerajaan Mughal merupakan kerajaan termuda dari ketiga kerajaan tersebut, berdiri seperempat abad setelah berdirinya kerajaan Shafawi di Persia.[2] Kerajaan Mughal membawa keharuman terhadap sejarah umat Islam, dimana pada saat itu segenap dunia Islam mengalami kemunduran. Kerajaan Mughal sempat membuat bangsa lain tercengang, umat lain menjadi segan karena kegagahan dan kegigihan sultan-sultannya yang membangun suatu kerajaan Islam di wilayah belahan Timur dunia.
Maka pada makalah ini pemakalah coba memaparkan tentang fakta sejarah yang berkaitan dengan kerajan Mughal di India, yaitu diantaranya dengan Asal-usul berdirinya kerajaan Mughal  politik dan pemerintahan, Ekonomi dan perdagangan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan kemajuan yang telah dicapai pada masa kerajaan tersebut dan penyebab keruntuhan kerajaan tersebut.
B.     Dinasti Islam Di India Sebelum Pendirian Dinasti Mughal
Sejak zaman Nabi SAW, India telah memiliki sejumlah pelabuhan sehingga terjadi interaksi antara India dengan Nabi SAW. Oleh karena itu, dagang dan dakwah menyatu dalam satu kegiatan sehingga raja Kadangalur, Cheraman Perumal, memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Tajuddin, dan ia sempat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Pada zaman Umar ibn Khatab, Mughirah berusaha menaklukan Sind, tapi usahanya gagal (246-644). Pada zaman Usman ibn Affan dan Ali ibn Thalib, dikirim utusan untuk mempelajari adat-istiadat dan jalan-jalan menuju India. Pada zaman Mu’awiyah I, Muhammad ibn Qasim berhasil menaklukan dan diangkat menjadi amir Sind dan Punjab. Kepemimpinan di Sind dan Punjab dipegang oleh Muhammad ibn Qasim setelah berhasil memadamkan perampokan-perampokan terhadap umat Islam disana. Karena pertikaian internal (antara al Hajjaj dan Sulaiman), dinasti ini melemah; dan ketika keadaan lemah, dinasti ini ditaklukan oleh dinasti Gazni.[3]
Pada zaman Al-Ma’mum (khalifah dinasti Bani Abbas), diangkat sejumlah amir untuk memimpin daerah-daerah. Diantara yang dipercaya untuk diangkat menjadi amir adalah Asad ibn Saman utuk daerah Transoxsiana. Ia diangkat menjadi amir setelah berhasil membantu khalifah Bani Abbas dalam menaklukan dinasti Safahari yang berpusat di Khurasan. [4]
Dinasty Samani (874-999) mengangkat Alpatigin menjadi amir di Khurasan. Alpatigin kemudian digantikan oleh anaknya, Ishak. Ishak dikudeta Baltigin; Baltiqin diganti oleh Firri; dan Firri dijatuhkan oleh Subuktigin. Subuktigin menguasai Gazna dan kemudian mendirikan dinasti Gaznawi (963-1191 M). Dinasty gaznawi ditaklukan oleh dinasti Guri (1191). Setelah meninggal, Muhammad Gurri diganti oleh panglimanya, Quthbuddin Aibek (karena Muhammad Guri tidak memiliki anak laki-laki). Quthbuddin Aibek menjadi sultan sejak tahun 1206 M. Sejak itu berdirilah kesultanan Delhi terdiri atas : a. Dinasti Mamluk di Delhi (1206-1290); b. Dinasti Khalji (1290-1320); c. Dinasti Tughluq (1320-1414 M); d. Dinasti Sayyed (1414-1451 M); dan e. Dinasti Lodi (1451-1526 M).[5]
C.    Asal usul Kerajaan Mughal
Kerajaan Mughal adalah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di India dari abad ke- 16 hingga abad ke- 19. Dinasti ini didirikan oleh Zaharuddin Babur yang merupakan keturunan Timur Lenk, penguasa Islam asal Mongol.[6] 
Babur adalah nama kecil dari Zaharuddin, yang artinya singa, ia lahir pada hari Jum’at 24 Februari 1483. Ayahnya bernama Umar Mirza menjadi amir di Fergana, turunan lagsung dari Miransyah putra ketiga dari Timur Lenk. Sedangkan ibunya berasal dari keturunan Jengkuai, anak kedua dari Jengis Khan. Pada usia 11 tahun,  Babur kehilangan ayahnya dan sekaligus menggantikan kepemimpinan ayahnya dalam usia yang masih sangat muda. namun demikian ia sangat pemberani sehingga kelihatan lebih matang dari usianya. Dia mendapat latihan sejak dini, sehingga memungkinkannya untuk menjadi seorang pejuang dan penguasa besar. [7]
Ia berusaha menguasai Samarkand yang merupakan kota terpenting dia Asia Tengah pada saat itu. Pertama kali ia mengalami kekalahan untuk mewujudkan cita-citanya. Kemudian berkat bantuan Ismail I, Raja Safawi, sehingga pada tahun 1494, Babur berhasil menaklukan kota Samarkand, dan pada dengan Tahun 1504 menaklukan Kabul, ibukota Afganistan. Dari Kabul Babur melanjutkan ekspansi ke India yang pada saat itu diperintah Ibrahim Lodi.[8]
Ibrahim Lodi (cucu sultan lodi), sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan yang menentangnya.[9] Ketika itu kewibawaan kesultanan sedang merosot, karena ketidak mampuannya memimpin, atas dasar itulah Alam Khan keluarga Lodi yang lain mencoba menggulingkannya  dengan meminta bantuan Zahiruddin Babur (1482-1530 M). Permintaan itu langsung diterima oleh Babur dan bersama pasukannya menyerang Delhi. Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran yang sangat dasyat di Panipat. Ibrahim Lodi beserta ribuan pasukannya terbunuh, dan Babur langsung mengikrarkan kemenangannya dan mendirikannya pemerintahannya. [10]
Setelah mendirikan kerajaan Mughal, Babur berusaha memperkuat kedudukannya. Di pihak lain raja-raja Hindu di seluruh India menyusun angkatan perang yang besar untuk menyerang Babur dan di Afganistan, golongan yang setia pada keluarga Ibrahim Lodi mengangkat saudara kandung Ibrahim, Mahmud Lodi menjadi Sultan. Sultan Mahmud Lodi bergabung dengan raja-raja Hindu tersebut. Kali ini berarti harus berhadapan dengan pasukan koalisi, namun Babur tetap dapat mengalahkan pasukan koalisi itu dalam pertempuran dekat Gogra tahun 1529 M. Akan tetapi ia tidak lama menikmati hasil perjuangannya. Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Desember 1530 M pada usia 48 tahun setelah memerintah selama 30 tahun. [11] Setelah Babur meninggal, Zahirudin Babur digantikan oleh anaknya, Nashiruddin Humayun (1530-1539M).  [12]
Humayun dalam menjalankan roda pemerintahanya banyak menghadapi tantangan. Sepanjang masa pemerintahanya negara tidak pernah aman. Ia senantiasa berperang melawan musuh. Diantara tantangan yang muncul adalah Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi. Pemberontakan ini dapat dipadamkan, Bahadur Syah melarikan diri dan Gujarat dapat dikuasai. Pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Syer Khan di Kanauj, dalam peperangan ini Humayun mengalami kekalahan.  Ia terpaksa melarikan diri ke Kandahar dan selanjutnya ke Persia ia mengenal tradisi Syi’ah, bahkan sering dibujuk untuk memasukinya, begitu pula dengan anaknya Jalaluddin Muhammad Akbar. Di sini pula ia membangun kekuatan militer yang telah hancur, dan berkat bantuan Syah Tahmasph yang memberikan pasukan militer sebanyak 14.000 tentara, maka pada tahun 1555, Humayun mencoba merebut kembali kekuasaannya dengan menyerbu Delhi yang pada saat itu diperintah Sikandar Sur. Akhirnya, ia bisa menaklukan kota ini dan ia memerintah kembali pada tahun 1556 M.[13]  
Kemudian Humayyun digantikan oleh anaknya, Abu al-Fath Jalal al-Din Muhammad Akbar. Lebih dikenal dengan sebutan Akbar, dilahirkan di Amarkot, 15 Oktober 1542 M. dan memerintah (1556-1605 M) dari usia 14 tahun. Akbar  sebagai wali sultan yang masih muda maka diangkatlah Bairam Khan. Bairam seorang yang cakap, namun bukan orang yang bijaksana.[14] Akbar adalah seorang laki-laki yang memiliki naluri kerajaan yang kuat ”seorang raja katanya, harus selalu sungguh-sunguh terhadap penaklukan; jika tidak, maka negeri tetangganyalah yang akan mengangkat senjata terhadapnya.  Prinsip tersebut membuat Akbar bertekad menjadi penguasa tertinggi di India yang tak dapat digugat. Pada tahun 1605 M. Akbar meninggal dunia. Masa kepemimpinan Akbar adalah puncak kejayaan kerajaan Mughal, tidak hanya dalam bidang politik dan militer saja, tapi juga dibidang ekonomi, pendidikan, seni dan budaya, administrasi, dan keagamaan. Kemajuan yang telah dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707 M). tiga Sultan penerus Akbar ini memang terhitung raja-raja yang besar dan kuat. Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.[15]
Berikut ini akan dirinci fase-fase pemerintahan Mughal :
a.       1526-1530 M dipimpin oleh Zahiruddin Muhammad Babur
b.      1530-1556 M dipimpin oleh Humayun
c.       1556-1605 M dipimpin oleh Akbar Syah I
d.      1605-1627 M dipimpin oleh Jahangir
e.       1627-1658 M dipimpin oleh Syah Jehan
f.       1658-1707 M dipimpin oleh Aurangzeb (Alamgir I)
g.      1707-1712 M dipimpin oleh Bahadur Syah I
h.      1712-1713 M dipimpin oleh Jihandar Syah
i.        1713-1719 M dipimpin oleh Farrukh Siyar
j.        1719-1748 M dipimpin oleh Muhammad Syah
k.      1748-1754 M dipimpin oleh Ahmad
l.        1754-1759 M dipimpin oleh Alamgir II
m.    1759-1806 M dipimpin oleh Alam II
n.      1806-1837 M dipimpin oleh Akbar II
o.      1837-1858 M dipimpin oleh Bahadur Syah II[16]
D.    Kemajuan Kerajaan Mughal
Kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada masa pemerintahan Akbar, keberhasilan Ekspansi Militer Akbar menandai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul dan Turkistan oleh pemerintahan kerajaan Mughal India.[17]
            Kita dapat merinci kemajuan-kemajuan kerajaan Mughal yang dicapai oleh masing-masing raja yang memiliki kemajuan masing-masing sebagai berikut:
1.      Politik dan Pemerintahan
a.       Akbar membentuk sitem pemerintahan militeristik. Dalam pemerintahan tersebut, pemerintahan daerah dipegang oleh seorang Sipah Salar (kepala komandan). Sedang wilayah listrik dipercayakan kepada Faudjar (komandan). Jembatan-jembatan sipil juga diberi jenjang kepangkatan yang bercorak kemiliteran, pejabat-pejabat itu harus mengikuti latihan kemiliteran.[18]  
b.      Akbar juga menerapkan politik Sulukhul (toleransi universal). Politik ini mengandung ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukanya. Mereka tidak dapat dibedakan menurut etnis dan agama. Politik ini dapat menciptakan kerukunan masyarakat India yang sangat beragam.[19]
c.       Untuk undang-undang kerajaan, Sultan Akbar membuat Din Ilahi yaitu suatu pandangan dan sikap keagamaan resmi kerajaan yaitu unsur-unsur agama Islam, Hindu, Persia Kristen dan sebagainya yang harus dianut oleh setiap orang.[20]
d.      Pada masa pemerintahan Aurangzeb telah terdapat jalinan kerjasama dengan negara-negara Islam diluar India. Sejumlah penguasa Islam telah mengirim duta atau perwakilan negara mereka ke Delhi, misalnya Syarif Makkah, raja-raja Persia, Balkh, Bukhara dan Kasgar; para gubernur Turki Basrah, Yaman dan Hadmarut, para pemimpin negeri Maghiribi dan Raja Arbesinia.[21]
2.      Bidang ekonomi dan perdagangan
Untuk mengelola ekonomi pertanian pemerintah juga mengatur tentang organisasi pertanian. Setiap perkampungan petani dikepalai oleh seorang pejabat local, yang dinamakan muqaddam, yang mana kedudukannya dapat diwariskan, dia mempunyai tanggung jawab menyetorkan penghasilan untuk menghindari tindak kejahatan. Kaum petani dilindungi hak kepemilikan tanah dan pewarisan, tetapi jika tidak loyal maka pejabat lokal berhak menyitanya.[22]
3.      Bidang Pendidikan dan Iptek
Dalam bidang pendidikan, Akbar membangun bangunan khusus untuk tempat pengajian ilmu, dia juga berusaha menarik simpati para ulama dengan menghibahkan sejumlah madrasah dan perpustakaan..[23]
4.      Bidang Seni dan Budaya
a.       Seni Budaya dan arsitektur puncaknya terjadi pada masa sultan Syah Jahan yang ditandai dengan berbagai karya budaya fisik, seperti karya arsitektur monumental Taj Mahal, yang merupakan bangunan indah, yang dimaksudkan sebagai tanda cinta kasihnya kepada istri tercinta Mumtaz Mahal. Taj Mahal juga salah satu keajaiban dunia dan merupakan lambang peradaban dan kebudayaan Islam masa Lampau di India. Selain itu juga Shah Jahan telah membangun Masjid Mutiara, Masjid Jami’ di Delhi, serta takhta Merak, yaitu singgasana yang dibuat dari emas, perak, intan, serta permata cemerlang.[24]
b.      karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi menghasilkan karya besar  berjudul Padmavat, sebuah karya yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia. Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya bernamma Akbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya.[25]
Akbar mensponsori ajaran Din Illahi, yaitu ajaran campuran berbagai unsur kepercayaan Hindu dan tasawuf dari unsure syi’ah.
G. Kemunduran dan Kehancuran kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada dalam kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dicapai oleh pendahulu-pendahulunya. Kejayaan Mughal hilang dengan kematian Aurangzeb Satu persatu penguasa daerah melepaskan diri dari pemerintahan pusat di Delhi.
Pengganti Aurangzeb adalah Mu’azzam, setelah ia meninggal tahta digantikan anaknya Azhim al-syah. Akan tetapi di tentang Zulkifar Khan, anak ‘Asad Khan (wazir Aurangzeb. Azaim al-syah meninggal tahun 1712 M. ia digantikan oleh anaknya Jihandar Syah, tetapi ia disingkirkan oleh adiknya sendiri Faruq Syah pada tahun 1713M. Jadi dalam dua tahun saja telah terjadi empat kali pergantian sultan.  Sehingga dapat dibayangkan bagaimana kondisi kerajaan Mughal saat itu.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat. Bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.. disintegrasi mulai terjadi, satu persatu daerah kekuasaan Mughal mulai melepaskan diri. Keadaan ini diperparah lagi dengan datangnya ancaman baru yang lebih kuat, yaitu datangnya perusahaan Inggris (EIC) yang memiliki senjata modern melawan pemerintahan Mughal. Peperangan berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan melepaskan daerah Oudh, Bengal dan Orisa kepada Inggris.
Pada saat tiga sultan berkuasa yaitu, Syah Alam, Akbar II dan Bahadur Syah, Inggris diberi kepercayaan untuk mengembangkan usahanya. Dengan jaminan memberikan fasilitas kehidupan Istana dan keluarganya.pada saat terjadinya krisis EIC mengalami kerugian dan Inggrispun mulai mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa tertekan, maka terjadilah pemberontakan rakyat dibawah pimpinan sultan Bahadur Syah pada bualan Mei 1857 M.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam kepada pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, sultan Mughal terakhir diusir dari istana (1858 M). dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaaan kerajaan Mughal di India.[26]
Ada beberapa factor yang menyebabkab kekuasaan kerajaan Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir, dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
1.      Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuasaan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat dipantau oleh kekuatan maritime Mughal. Begitu juga tidak terampilnya dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2.      Kemerosotan moral dan hidup mewah dikalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3.      Kurang cakapnya pemerintahan Aurangzeb sehingga konflik antar agama terjadi sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya
4.      Semua sultan pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.  
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Destroyer Organization Of School Quraisy - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger