Kekhalifahan Umayyah
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali
namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada
Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang
pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak
terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah,[rujukan?] dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti
pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan
kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya
yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun
barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat
luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa
dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya,
jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin
Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini
dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M)
meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang
cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti
bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin
Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis
(kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika
dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap
anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan Hadits Nabi yang mendukung pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali
ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian
kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa
kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah,
Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa
Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang
tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah
sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin
Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya
adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga
negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh
Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai
khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak
berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah
secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan
bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini
terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara
Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah
juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan
Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah
kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz
(717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan
memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam
agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana
pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat,
kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Penurunan
Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik
(720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang
dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan
dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut
hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik
(724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian
hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan
itu berasal dari kalangan Bani Hasyim
yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin
Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi,
karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil
dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik
wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan
hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat
golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah
digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad,
khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke
Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian
Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur
(Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era
baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
Bani Umayyah di Andalus
Al-Andalus atau (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), dimana tentara Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah.
Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam dibawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 99 H/717 M, dimana sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pirenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordeaux, Poitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours, di kota ini ia ditahan oleh Charles Martel, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Tours, al-Ghafiqi terbunuh sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara muslim mundur kembali ke Spanyol.
Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan
menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan
terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu
penguasa Goth bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut
oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama
lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama
disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi
pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Goth terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic
yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai
semangat perang, selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga
mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum
Muslimin.
Sewaktu penaklukan itu para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari
tokoh-tokoh yang kuat, yang mempunyai tentara yang kompak, dan penuh
percaya diri. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam
yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan
tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat
dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
Kronologi Bani Ummayyah
- 661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah.
- 670 M- Perluasan ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
- 677 M- Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Serangan ke Konstantinopel.
- 680 M- Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki takhta. Peristiwa pembunuhan Husain.
- 685 M- Khalifah Abdul-Malik menegaskan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
- 700 M- Kampanye menentang kaum Barbar di Afrika Utara.
- 711 M- Penaklukan Spanyol, Sind, dan Transoxiana.
- 713 M- Penaklukan Multan.
- 716 M- Serangan ke Konstantinopel.
- 717 M- Umar bin Abdul-Aziz menjadi khalifah. Reformasi besar-besaran dijalankan.
- 725 M- Tentara Islam merebut Nimes di Perancis.
- 749 M- Kekalahan tentara Ummayyah di Kufah, Iraq terhadap tentara Abbasiyyah.
- 750 M- Damsyik direbut oleh tentara Abbasiyyah. Kejatuhan Kekhalifahan Bani Ummaiyyah.
- 756 M- Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi khalifah Muslim di Kordoba.Memisahkan diri dari Abbasiyyah.
Kekhalifahan Utama di Damaskus
- Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
- Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
- Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
- Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
- Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
- Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
- Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
- Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
- Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
- Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
- Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
- Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
- Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M
Keamiran di Kordoba
- Abdur-rahman I, 756-788
- Hisyam I, 788-796
- Al-Hakam I, 796-822
- Abdur-rahman II, 822-888
- Abdullah bin Muhammad, 888-912
- Abdur-rahman III, 912-929
Kekhalifahan di Kordoba
- Abdur-rahman III, 929-961
- Al-Hakam II, 961-976
- Hisyam II, 976-1008
- Muhammad II, 1008-1009
- Sulaiman, 1009-1010
- Hisyam II, 1010-1012
- Sulaiman, dikembalikan, 1012-1017
- Abdur-rahman IV, 1021-1022
- Abdur-rahman V, 1022-1023
- Muhammad III, 1023-1024
- Hisyam III, 1027-1031
Kekhalifahan Abbasiyah
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai
pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan
Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk.
Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan
dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat,
yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang
sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai
daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh
pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah.
Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M)
s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan
terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi
saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan
Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai
gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada
tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk
Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa
al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur
berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan
diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah
perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
“ | Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya) | ” |
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah,
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur,
dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang
sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan
dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas,
tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat
juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun
(813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,
dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun,
pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti
Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini
banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik
dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu
seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas,
revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi,
tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan
Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga
pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani
Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada
masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama
melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang
tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi,
yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan
pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali
bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia
yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih
tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran
rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah
(780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata
kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang
kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping
empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas
banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan
mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak
berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun,
pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka
rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah
terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari
(873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali
terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam
bidang sastra. Penulisan hadits,
juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama
disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga
memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar
dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai
kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina.
Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim
cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti
kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan.
Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat
diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.
Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan
besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada
masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan,
sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa.
Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu
Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan
penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu.
Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan
peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan,
kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama
pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode
ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
Pengaruh Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah
yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani
Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu
kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan
kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah
kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap
sebagai kepala negara.
Pengaruh Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan
tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi,
sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari
pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di
antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun
adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya
juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi,
apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi
sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering
terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa
berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun
khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya
dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini
terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang
sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat
didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki
berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan
boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan
menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada
periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
Pengaruh Bani Seljuk
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau
Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah
Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang
agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan
untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut
oleh mereka.
Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
- Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
- Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
- Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
- 750 - Abu al-Abbas al-Saffah menjadi Khalifah pertama Bani Abbasiyah.
- 752 - Bermulanya Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
- 755 - Pemberontakan Abdullah bin Ali. Pembunuhan Abu Muslim.
- 756 - Abd ar-Rahman I mendirikan kerajaan Bani Umayyah di Spanyol.
- 763 - Pembangunan kota Bagdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol.
- 786 - Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.
- 792 - Serangan ke utara Perancis.
- 800 - Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar diciptakan oleh Al-Khawarizmi.
- 805 - Kampanye melawan Byzantium. Merebut Pulau Rhodes dan Siprus.
- 809 - wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin dilantik menjadi khalifah.
- 814 - Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma'mun. al-Amin terbunuh dan al-Ma'mun menjadi khalifah.
- 1000 - Masjid Besar Cordoba dibangun.
- 1005 - Multan dan Ghur ditawan.
- 1055 - Baghdad dikuasai oleh tentara Turki Seljuk. Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika tentara Mongol menghancurkan Baghdad.
- 1071 - Peristiwa Manzikert. Sulthan Alp Arselan beserta pasukannya yang hanya berjumlah 15.000 tentara berhasil mengalahkan gabungan tentara salib yang dipimpim oleh Kaisar Romanus IV yang berjumlah 200.000 tentara.
- 1072 - Sulthan Alp Arselan berhasil menguasai Asia Tengah (Anatolia). dan meneruskan kepungannya terhadap kerajaan Byzantium.
- 1085 - Tentara Kristen menawan Toledo, Spanyol.
- 1091 - Bangsa Norman merebut Sisilia, pemerintahan Muslim di sana berakhir.
- 1095 - Perang Salib pertama dimulai.
- 1099 - Tentara Salib merebut Baitulmuqaddis. Mereka membunuh semua penduduknya.
- 1144 - Nur al-Din merebut Edessa dari tentara Salib. Perang Salib Kedua dimulai.
- 1187 - Salahuddin Al-Ayubbi merebut Baitulmuqaddis dari tentara Salib. Perang Salib Ketiga dimulai.
- 1194 - Tentara Muslim merebut Delhi, India.
- 1236 - Tentara Salib merebut Cordoba, Spanyol.
- 1258 - Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan Baghdad. Ribuan penduduk terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah di Baghdad.
Kekhalifahan Utsmaniyah
Kebangkitan (1299–1453)
Pasca pembubaran Kesultanan Rum yang dipimpin dinasti Seljuq Turki, pendahulu Utsmaniyah, pada tahun 1300-an, Anatolia terpecah menjadi beberapa negara merdeka (kebanyakan Turki) yang disebut emirat Ghazi. Salah satu emirat Ghazi dipimpin oleh Osman I (1258[13] – 1326) dan namanya menjadi asal usul nama Utsmaniyah. Osman I memperluas batas permukiman Turki sampai pinggiran Kekaisaran Bizantium.
Tidak jelas bagaimana Osmanli berhasil menguasai wilayah tetangganya
karena belum banyak diketahui soal sejarah Anatolia abad pertengahan.[14]
Pada abad setelah kematian Osman I, kekuasaan Utsmaniyah mulai meluas sampai Mediterania Timur dan Balkan. Putra Osman, Orhan, menaklukkan kota Bursa
pada tahun 1324 dan menjadikannya ibu kota negara Utsmaniyah. Kejatuhan
Bursa menandakan berakhirnya kendali Bizantium atas Anatolia Barat
Laut. Kota Thessaloniki direbut dari Republik Venesia pada tahun 1387. Kemenangan Utsmaniyah di Kosovo tahun 1389 secara efektif mengawali kejatuhan pemerintahan Serbia di wilayah itu dan membuka jalan untuk perluasan wilayah Utsmaniyah di Eropa. Pertempuran Nicopolis tahun 1396 yang dianggap luas sebagai perang salib besar terakhir pada Abad Pertengahan gagal menghambat laju bangsa Turki Utsmaniyah.
Seiring meluasnya kekuasaan Turki di Balkan, penaklukan strategis Konstantinopel menjadi tugas penting. Kesultanan ini mengendalikan nyaris seluruh bekas tanah Bizantium di sekitar kota, namun warga Yunani Bizantium sempat luput ketika penguasa Turk-Mongolia, Tamerlane, menyerbu Anatolia dalam Pertempuran Ankara tahun 1402. Ia menangkap Sultan Bayezid I.
Penangkapan Bayezid I menciptakan kekacauan di kalangan penduduk Turki.
Negara pun mengalami perang saudara yang berlangsung sejak 1402 sampai
1413 karena para putra Bayezid memperebutkan takhta. Perang berakhir
ketika Mehmet I naik sebagai sultan dan mengembalikan kekuasaan Utsmaniyah. Kenaikannya juga mengakhiri Interregnum yang disebut Fetret Devri dalam bahasa Turki Utsmaniyah.
Sebagian teritori Utsmaniyah di Balkan (seperti Thessaloniki,
Makedonia, dan Kosovo) sempat terlepas setelah 1402, tetapi berhasil
direbut kembali oleh Murad II antara 1430-an dan 1450-an. Pada tanggal 10 November 1444, Murad II mengalahkan pasukan Hongaria, Polandia, dan Wallachia yang dipimpin Władysław III dari Polandia (sekaligus Raja Hongaria) dan János Hunyadi di Pertempuran Varna, pertempuran terakhir dalam Perang Salib Varna.[15][16][halaman dibutuhkan]
Empat tahun kemudian, János Hunyadi mempersiapkan pasukannya (terdiri
dari pasukan Hongaria dan Wallachia) untuk menyerang Turki, namun
dikalahkan oleh Murad II dalam Pertempuran Kosovo Kedua tahun 1448.
Perkembangan (1453–1683)
Perluasan dan puncak (1453–1566)
Putra Murad II, Mehmed II, menata ulang negara dan militernya, lalu menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453. Mehmed mengizinkan Gereja Ortodoks mempertahankan otonomi dan tanahnya dengan imbalan mengakui pemerintahan Utsmaniyah.[17]
Karena hubungan yang buruk antara negara-negara Eropa Barat dan
Kekaisaran Romawi Timur, banyak penduduk Ortodoks yang mengakui
kekuasaan Utsmaniyah alih-alih Venesia.[17]
Pada abad ke-15 dan 16, Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode ekspansi. Kesultanan ini berhasil makmur di bawah kepemimpinan sejumlah Sultan
yang tegas dan efektif. Ekonominya juga maju karena pemerintah
mengendalikan rute-rute perdagangan darat utama antara Eropa dan Asia.[18][dn 7]
Sultan Selim I (1512–1520) memperluas batas timur dan selatan Kesultanan Utsmaniyah secara dramatis dengan mengalahkan Shah Ismail dari Persia Safavid dalam Pertempuran Chaldiran.[19] Selim I mendirikan pemerintahan Utsmaniyah di Mesir dan mengerahkan angkatan lautnya ke Laut Merah. Setelah ekspansi tersebut, persaingan pun pecah antara Kekaisaran Portugal dan Kesultanan Utsmaniyah yang sama-sama berusaha menjadi kekuatan besar di kawasan itu.[20]
Suleiman Agung (1520–1566) mencaplok Belgrade tahun 1521, menguasai wilayah selatan dan tengah Kerajaan Hongaria sebagai bagian dari Peperangan Utsmaniyah–Hongaria.[22][23][tak ada di rujukan] Setelah memenangkan Pertempuran Mohács
tahun 1526, ia mendirikan pemerintahan Turki di wilayah yang sekarang
disebut Hongaria (kecuali bagian baratnya) dan teritori Eropa Tengah
lainnya. Ia kemudian mengepung Wina tahun 1529, tetapi gagal.[24] Tahun 1532, ia melancarkan serangan lain ke Wina, namun dikalahkan pada Pengepungan Güns.[25][26][27] Transylvania, Wallachia, dan Moldavia (sementara) menjadi kepangeranan bawahan Kesultanan Utsmaniyah. Di sebelah timur, bangsa Turk Utsmaniyah merebut Baghdad dari Persia pada tahun 1535, menguasai Mesopotamia, dan mendapatkan akses laut ke Teluk Persia.
Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah bersatu karena sama-sama menentang pemerintahan Habsburg dan menjadi sekutu yang kuat. Penaklukan Nice (1543) dan Corsica (1553) oleh Perancis adalah hasil kerja sama antara pasukan raja Francis I dari Perancis dan Suleiman. Pasukan tersebut dipimpin oleh laksamana Utsmaniyah Barbarossa Hayreddin Pasha dan Turgut Reis.[28] Satu bulan sebelum pengepungan Nice, Perancis membantu Utsmaniyah dengan mengirimkan satu unit artileri pada penaklukan Esztergom tahun 1543. Setelah bangsa Turk membuat serangkaian kemajuan tahun 1543, penguasa Habsburg Ferdinand I secara resmi mengakui pemerintahan Utsmaniyah di Hongaria pada tahun 1547.
Pada tahun 1559, setelah perang Ajuuraan-Portugal pertama, Kesultanan Utsmaniyah menganeksasi Kesultanan Adal yang lemah ke dalam wilayahnya. Ekspansi ini mengawali pemerintahan Utsmaniyah di Somalia dan Tanduk Afrika. Aneksasi tersebut juga meningkatkan pengaruh Utsmaniyah di Samudra Hindia untuk bersaing dengan Portugal.[29]
Pada akhir masa kekuasaan Suleiman, jumlah penduduk Kesultanan Utsmaniyah mencapai 15.000.000 orang dan tersebar di tiga benua. [30] Selain itu, kesultanan ini menjadi kekuatan laut besar yang mengendalikan sebagian besar Laut Mediterania.[31]
Saat itu, Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian utama dari lingkup
politik Eropa. Kesuksesan politik dan militernya sering disamakan dengan
Kekaisaran Romawi, salah satunya oleh cendekiawan Italia Francesco Sansovino dan filsuf politik Perancis Jean Bodin.[32]
Pemberontakan dan pemulihan (1566–1683)
Struktur militer dan birokrasi yang efektif pada abad sebelumnya
terancam gagal ketika sultan-sultan selanjutnya tidak tegas memimpin.
Kesultanan Utsmaniyah perlahan dikalahkan bangsa Eropa dari segi
teknologi militer karena inovasi yang mendorong perluasan kesultanan ini
dihambat oleh paham konservatisme agama dan intelektual yang terus
berkembang.[33] Meski mengalami kesulitan, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansionis besar sampai Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan akhir ekspansi Utsmaniyah ke Eropa.
Penemuan rute dagang laut baru oleh negara-negara Eropa Barat
memungkinkan mereka menghindari monopoli dagang Utsmaniyah. Penemuan Tanjung Harapan Baik oleh Portugal tahun 1488 merintis serangkaian perang laut Utsmaniyah-Portugal di Samudra Hindia sepanjang abad ke-16. Dari segi ekonomi, pemasukan perak Spanyol dari Dunia Baru mengakibatkan mata uang Utsmaniyah mengalami devaluasi tajam dan inflasi tinggi.[rujukan?]
Di bawah kepemimpinan Ivan IV (1533–1584), Kekaisaran Rusia meluas sampai kawasan Volga dan Kaspia dengan menaklukkan beberapa kekhanan Tatar. Pada tahun 1571, khan Krimea Devlet I Giray yang didukung Utsmaniyah membakar Moskwa.[34] Tahun berikutnya, invasi diulang namun digagalkan pada Pertempuran Molodi. Kekhanan Krimea terus menyerbu Eropa Timur melalui serangkaian serangan budak[35] dan menjadi kekuatan besar di Eropa Timur sampai akhir abad ke-17.[36]
Di Eropa Selatan, koalisi Katolik yang dipimpin Philip II dari Spanyol mengalahkan armada Utsmaniyah di Pertempuran Lepanto. Ini merupakan pukulan telak dan simbolis[37]
terhadap citra kehebatan Utsmaniyah. Memudarnya citra ini diawali oleh
kemenangan Ksatria Malta atas pasukan Utsmaniyah dalam Pengepungan Malta
tahun 1565.[38]
Pertempuran Lepanto membuat Angkatan Laut Utsmaniyah kehilangan banyak
tenaga ahlinya, sedangkan kapal-kapalnya masih bisa diperbaiki.[39]
Angkatan Laut Utsmaniyah pulih dengan cepat dan memaksa Venesia
menandatangani perjanjian damai tahun 1573 yang mengizinkan Kesultanan
Utsmaniyah memperluas dan memperkuat posisinya di Afrika Utara.[40]
Sebaliknya, wilayah Habsburg tidak berubah setelah pertahanan Habsburg diperkuat.[41] Perang Panjang melawan Austria Habsburg
(1593–1606) membuat pemerintah melengkapi infanterinya dengan senjata
api dan melonggarkan kebijakan perekrutan. Keputusan ini menciptakan
masalah ketidakpatuhan dan pemberontakan di dalam tubuh militer yang
tidak pernah terselesaikan.[42] Penembak jitu ireguler (Sekban) juga direkrut. Demobilisasi pun berubah menjadi brigandase (perampokan) dalam pemberontakan Jelali (1595–1610) yang memperluas aksi anarkis di Anatolia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.[43] Ketika populasi kesultanan mencapai 30.000.000 jiwa pada tahun 1600, kelangkaan tanah membuat pemerintah ditekan habis-habisan.[44]
Pada masa kekuasaannya yang singkat, Murad IV (1612–1640) membentuk kembali pemerintahan pusat dan merebut Yerevan (1635) dan Baghdad (1639) dari Safavid.[45] Kesultanan wanita
(1648–1656) adalah periode ketika ibu para sultan muda berkuasa atas
nama putranya. Tokoh wanita yang paling berpengaruh waktu itu adalah Kösem Sultan dan menantunya Turhan Hatice. Persaingan politik mereka berujung pada pembunuhan Kösem pada 1651.[46] Selama Era Köprülü (1656–1703), pemerintahan efektif dijalankan oleh sejumlah Wazir Agung dari keluarga Köprülü. Kewaziran Köprülü mengalami kesuksesan militer dengan didirikannya pemerintahan di Transylvania, penaklukan Kreta tahun 1669, dan ekspansi ke Ukraina selatan Polandia. Pertahanan terakhir Khotyn dan Kamianets-Podilskyi dan teritori Podolia bergabung dengan Kesultanan Utsmaniyah tahun 1676.[47]
Periode ketegasan baru ini berakhir pada Mei 1683 saat Wazir Agung Kara Mustafa Pasha memimpin pasukan besar untuk mengepung Wina kedua kalinya dalam Perang Turki Besar
1683–1687. Serangan terakhir mereka tertunda karena pasukan Utsmaniyah
didesak mundur oleh pasukan sekutu Habsburg, Jerman, dan Polandia yang
dipimpin Raja Polandia Jan III Sobieski pada Pertempuran Wina. Aliansi Liga Suci terus melaju pasca kekalahan di Wina dan memuncak pada Perjanjian Karlowitz (26 Januari 1699) yang mengakhiri Perang Turki Besar.[48] Kesultanan Utsmaniyah menyerahkan sejumlah wilayah pentingnya, kebanyakan diserahkan secara permanen.[49] Mustafa II (1695–1703) memimpin serangan balasan terhadap Wangsa Habsburg di Hongaria pada 1695–96, namun kalah besar di Zenta (11 September 1697).[50]
Kemandekan dan reformasi (1683–1827)
Pada periode ini, ekspansi Rusia membawa ancaman besar yang terus berkembang.[51] Karena itu, Raja Charles XII dari Swedia diterima sebagai sekutu Kesultanan Utsmaniyah setelah pasukannya dikalahkan Rusia pada Pertempuran Poltava tahun 1709 (bagian dari Perang Utara Besar 1700–1721.)[51] Charles XII mendesak Sultan Utsmaniyah Ahmed III untuk menyatakan perang terhadap Rusia. Utsmaniyah berhasil memenangkan Kampanye Sungai Pruth yang berlangsung pada 1710–1711.[52] Pasca Perang Austria-Turki 1716–1718, Perjanjian Passarowitz mencantumkan penyerahan wilayah Banat, Serbia, dan "Walachia Kecil" (Oltenia)
ke Austria. Perjanjian ini juga menyebutkan bahwa Kesultanan Utsmaniyah
mengambil sikap defensif dan tidak mungkin melakukan agresi lagi di
Eropa.[53]
Perang Austria-Rusia–Turki yang diakhiri oleh Perjanjian Belgrade
1739 berujung pada kembalinya Serbia dan Oltenia, namun pelabuhan Azov
berhasil direbut Rusia. Setelah perjanjian ini, Kesultanan Utsmaniyah
menikmati masa perdamaian karena Austria dan Rusia terpaksa menghadapi
kebangkitan Prusia.[54]
Sejumlah reformasi pendidikan dan teknologi dilaksanakan, termasuk pendirian institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Teknik Istanbul.[55]
Pada tahun 1734, sebuah sekolah artileri didirian untuk memperkenalkan
metode artileri Barat, namun kalangan ulama Islam mengajukan keberatan
atas dasar teodisi.[56] Tahun 1754, sekolah artileri tersebut dibuka kembali secara setengah rahasia.[56] Tahun 1726, Ibrahim Muteferrika meyakinkan Wazir Agung Nevşehirli Damat İbrahim Pasha, Mufti Agung,
dan para ulama tentang efisiensi percetakan. Muteferrika pun diizinkan
Sultan Ahmed III untuk menerbitkan buku-buku non-religius meski
ditentang sejumlah kaligrafer dan pemuka agama.[57]
Percetakan Muteferrika menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1729.
Pada 1743, jumlah karya yang dicetaknya mencapai 17 buah dalam 23 volume
dan masing-masing karya dicetak sebanyak 500 sampai 1.000 eksemplar.[57][58]
Pada 1768, para Haidamak, pemberontak konfederasi Polandia yang dibantu Rusia, memasuki Balta,
kota Utsmaniyah di perbatasan Bessarabia, dan membantai warganya dan
membumihanguskan kota tersebut. Tindakan ini memaksa Kesultanan
Utsmaniyah memulai Perang Rusia-Turki 1768–1774. Perjanjian Küçük Kaynarca tahun 1774 mengakhiri perang ini dan memberikan kebebasan beribadah bagi warga Kristen di provinsi Wallachia dan Moldavia.[59]
Pada akhir abad ke-18, serangkaian kekalahan perang melawan Rusia
membuat beberapa kalangan di Kesultanan Utsmaniyah yakin bahwa reformasi
yang dijalankan Peter Agung memberi keunggulan bagi Rusia, dan Utsmaniyah harus menggunakan teknologi Barat untuk menghindari kekalahan lebih lanjut.[56]
Selim III (1789–1807) melakukan upaya besar pertama dalam memodernisasi pasukannya, tetapi reformasi ini terhambat oleh kepemimpinan yang religius dan korps Yanisari. Karena iri dengan hak-hak militer dan menolak perubahan, Yanisari pun merintis pemberontakan.
Semua upaya Selim membuat dirinya kehilangan takhta dan nyawanya. Akan
tetapi, pemberontakan ini berhasil diredam dengan spektakuler dan kejam
oleh penggantinya yang dinamis, Mahmud II. Ia menghapus korps Yanisari pada tahun 1826.
Revolusi Serbia (1804–1815) menjadi awal era kebangkitan nasional di kawasan Balkan pada masa Pertanyaan Timur. Suzeraintas Serbia sebagai monarki herediter dengan dinastinya sendiri diakui secara de jure pada tahun 1830.[60][61] Pada 1821, bangsa Yunani menyatakan perang terhadap Sultan. Pemberontakan yang pecah di Moldavia sebagai bentuk pengalihan diikuti oleh revolusi utama di Peloponnesos. Peloponnesos dan bagian utara Teluk Korintus
menjadi wilayah Kesultanan Utsmaniyah pertama yang merdeka, tepatnya
pada tahun 1829. Pada pertengahan abad ke-19, Kesultanan Utsmaniyah
dijuluki "orang sakit" oleh bangsa Eropa. Negara-negara suzerain (Kepangeranan Serbia, Wallachia, Moldavia, dan Montenegro) meraih kemerdekaan de jure pada 1860-an dan 1870-an.
Kemunduran dan modernisasi (1828–1908)
Pada masa Tanzimat (1839–1876), serangkaian reformasi konstitusional pemerintah membuahkan hasil, yaitu pasukan wajib militer modern, reformasi sistem perbankan, dekriminalisasi kaum homoseksual, perubahan hukum agama menjadi hukum sekuler,[62] dan gilda yang memiliki pabrik modern. Kementerian Pos Utsmaniyah dibentuk di Istanbul pada tanggal 23 Oktober 1840.[63][64]
Samuel Morse menerima paten telegraf pertamanya tahun 1847. Paten tersebut dikeluarkan oleh Sultan Abdülmecid yang secara langsung menguji penemuan baru itu.[65] Setelah uji coba berhasil, jalur kabel telegraf pertama di dunia (Istanbul-Adrianopel-Şumnu)[66] mulai dipasang pada 9 Agustus 1847.[67] Periode reformis ini memuncak dengan penyusunan Konstitusi yang disebut Kanûn-u Esâsî. Era Konstitusional Pertama kesultanan ini tidak berlangsung lama. Parlemennya hanya bertahan selama dua tahun sebelum dibubarkan sultan.
Dikarenakan tingkat pendidikannya yang lebih tinggi, penduduk Kristen
di kesultanan ini mulai unggul ketimbang penduduk Muslim yang
mayoritas, sehingga penduduk Muslim merasa tidak puas.[68]
Pada tahun 1861, ada 571 sekolah dasar dan 94 sekolah menengah Kristen
Utsmaniyah dengan 140.000 siswa. Jumlah itu jauh melampaui siswa Muslim
di sekolah pada saat yang sama. Kemajuan siswa Muslim terus melambat
dikarenakan lamanya waktu mata pelajaran bahasa Arab dan teologi Islam.[68] Tingkat pendidikan siswa Kristen yang lebih tinggi memungkinkan mereka memainkan peran penting dalam perekonomian negara.[68] Pada tahun 1911, 528 dari 654 perusahaan grosir di Istanbul dimiliki etnis Yunani.[68]
Perang Krimea (1853–1856) adalah bagian dari persaingan panjang antara kekuatan-kekuatan besar Eropa yang memperebutkan pengaruh di teritori Kesultanan Utsmaniyah yang melemah. Beban perang dari segi finansial memaksa pemerintah Utsmaniyah mengajukan pinjaman luar negeri senilai 5 juta pound sterling pada 4 Agustus 1854.[69][70] Perang ini mengakibatkan eksodus warga Tatar Krimea. Sekitar 200.000 di antaranya pindah ke Kesultanan Utsmaniyah dalam bentuk gelombang emigrasi.[71] Menjelang akhir Peperangan Kaukasus, 90% etnis Sirkasia dilenyapkan,[72] diusir dari tanah airnya di Kaukasus, dan terpaksa mengungsi ke Kesultanan Utsmaniyah.[73] Sekitar 500.000 sampai 700.000 orang Sirkasia berlindung di Turki.[74][halaman dibutuhkan][75][76] Beberapa sumber memberi angka yang lebih tinggi, yaitu 1 juta-1,5 juta orang dideportasi dan/atau dibunuh.[77]
Perang Rusia-Turki (1877–1878) berakhir dengan kemenangan mutlak bagi Rusia. Akibatnya, wilayah Utsmaniyah di Eropa menyusut dengan cepat. Bulgaria didirikan sebagai kepangeranan merdeka di dalam Kesultanan Utsmaniyah, Rumania mendapat kemerdekaan penuh. Serbia dan Montenegro mendapat kemerdekaan penuh dengan wilayah yang lebih kecil. Pada tahun 1878, Austria-Hongaria bersama-sama menduduki provinsi Bosnia-Herzegovina dan Novi Pazar. Walaupun pemerintah Utsmaniyah menentang tindakan ini, pasukannya dikalahkan dalam kurun tiga minggu.
Sebagai imbalan atas bantuan Perdana Menteri Britania Raya Benjamin Disraeli
dalam pengembalian teritori Utsmaniyah di Semenanjung Balkan saat
Kongres Berlin, Britania Raya mendapatkan hak pemerintahan di Siprus pada tahun 1878.[78] Britania kemudian mengirimkan tentaranya ke Mesir pada tahun 1882 untuk membantu pemerintah Utsmaniyah meredam Pemberontakan Urabi. Britania pun memegang kendali penuh di Siprus dan Mesir.
Pada 1894–96, sekitar 100.000 sampai 300.000 etnis Armenia yang
tinggal di seluruh kesultanan dibunuh dalam sebuah peristiwa yang
disebut pembantaian Hamidian.[79]
Seiring menyusutnya wilayah Kesultanan Utsmaniyah, banyak Muslim
Balkan pindah ke teritori Utsmaniyah yang tersisa di Balkan atau ke
jantung kesultanan di Anatolia.[80] Per 1923, hanya Anatolia dan Thracia Timur yang dikuasai Muslim.[81]
Kekalahan dan pembubaran (1908–1922)
Era Konstitusional Kedua dimulai pasca Revolusi Turk Muda (3 Juli 1908) melalui pengumuman sultan tentang penggunaan kembali konstitusi 1876 dan pembentukan kembali Parlemen Utsmaniyah. Pengumuman ini menjadi awal pembubaran Kesultanan Utsmaniyah. Era ini didominasi oleh politik Komite Persatuan dan Kemajuan serta gerakan yang kelak dikenal dengan sebutan Turk Muda.
Memanfaatkan perpecahan sipil, Austria-Hongaria secara resmi menganeksasi Bosnia dan Herzegovina tahun 1908, tetapi mereka menarik tentaranya dari Sanjak Novi Pazar, wilayah lain yang diperebutkan Austria dan Utsmaniyah, untuk menghindari perang. Pada Perang Italia-Turki (1911–12), Kesultanan Utsmaniyah kehilangan Libya dan Liga Balkan menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Utsmaniyah kalah dalam Peperangan Balkan (1912–13) dan kehilangan teritori Balkan-nya kecuali Thracia Timur dan ibu kota historis Adrianopel.
Sekira 400.000 Muslim yang khawatir menghadapi kekerasan etnis Yunani,
Serbia, atau Bulgaria, mengungsi mundur bersama pasukan Utsmaniyah.[82]
Menurut perkiraan Justin McCarthy, sejak 1821 sampai 1922, pembersihan
etnis Muslim Utsmaniyah di Balkan mengakibatkan kematian dan pengusiran
sekian juta orang dari kawasan itu.[83][84][85]
Per 1914, Kesultanan Utsmaniyah sudah dipuul mundur dari hampir seluruh
Eropa dan Afrika Utara. Meski begitu, kesultanan ini masih dihuni 28
juta orang. 15,5 juta di antaranya di Turki modern, 4,5 juta di Suriah,
Lebanon, Palestina, dan Yordania, dan 2,5 juta di Irak. 5,5 juta sisanya
berada di bawah pemerintahan bayangan Utsmaniyah di jazirah Arab.[86]
Pada November 1914, Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam Perang Dunia I di blok Kekuatan Tengah. Kesultanan ini ambil bagian dalam teater Timur Tengah. Utsmaniyah sempat beberapa kali menang pada tahun-tahun pertama perang, misalnya di Pertempuran Gallipoli dan Pengepungan Kut, namun ada juga kekalahan seperti pada Kampanye Kaukasus melawan Rusia. Amerika Serikat tidak pernah mengeluarkan pernyataan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah.[87]
Tahun 1915, saat Angkatan Darat Kaukasus Rusia terus merangsek ke Anatolia timur,[88] dibantu sejumlah milisi Armenia Utsmaniyah, pemerintah Utsmaniyah mulai mendeportasi dan membantai penduduk etnis Armenia. Aksi ini kemudian dikenal dengan nama Genosida Armenia.[89] Aksi genosida juga dilakukan terhadap etnis minoritas Yunani dan Assyria.[90]
Pemberontakan Arab
yang dimulai tahun 1916 berbalik melawan Utsmaniyah di front Timur
Tengah. Utsmaniyah sempat unggul di Timur Tengah selama dua tahun
pertama perang. Gencatan Senjata Mudros yang ditandatangani pada 30 Oktober 1918 mengakhiri peperangan di teater Timur Tengah, diikuti pendudukan Konstantinopel dan pemecahan Kesultanan Utsmaniyah. Dengan Perjanjian Sèvres,
pemecahan Kesultanan Utsmaniyah menjadi resmi. Pada kuartal terakhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, sekitar 7–9 juta pengungsi Muslim Turki
dari wilayah Kaukasus, Krimea, Balkan, dan pulau-pulau Mediterania pindah ke Anatolia dan Thracia Timur.[91]
Pendudukan Konstantinopel dan İzmir melahirkan gerakan nasional Turki yang memenangkan Perang Kemerdekaan Turki (1919–22) di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha (atau Mustafa Kemal Atatürk). Kesultanan dibubarkan tanggal 1 November 1922, dan sultan terakhirnya, Mehmed VI (berkuasa 1918–22), meninggalkan negara ini pada 17 November 1922. Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Kekhalifahan dibubarkan tanggal 3 Maret 1924.[92]
Dinasti Mughal
Mughal
merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai
ibukotanya, berdiri antara tahun (1526-1858 M). Dinasti Mughal di India
didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu
dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan. Ekspansinya ke
India dimulai dengan penundukan penguasa setempat yaitu Ibrahim Lodi dengan Alam Khan (Paman Lodi) dan gubernur Lohere[1].
Ia berhasil munguasai Punjab dan berhasil menundukkan Delhi, sejak saat
itu ia memproklamirkan berdirinya kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M
yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga
didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat Islam setempat yang
belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus berhadapan
langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi
Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur
memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah Nashiruddin Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M)[2],
puteranya sendiri. Sepanjang pemerintahanya tidak stabil, karna banyak
terjadi perlawanan dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau sempat mengungsi
ke Persia karna mengalami kekalahan saat melawan pemberontakan Sher Khan
di Qonuj, tetapi beliau berhasil merebut kembali kekuasaanya pada tahun
1555 M berkat bantuan dari kerajaan safawi. Namun setahun kemudian 1556
M beliau meninggal karna tertimpa tangga pepustakaan, dan tahta
kerajaan selanjutnya dipegang oleh putranya yang bernama Akbar.
2.2 PERKEMBANGAN DAN KEJAYAAN KERAJAAN MUGHAL
Masa
kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar (1556-1506 M),
dan tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan
(1628-1658 M), Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuaan kerajaan
Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar
mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan
diserahkan kepada Bairam Khahan, seorang syi’i. Pada masa
pemerintahanya, Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan
sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab.
Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra.
Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadi
peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu dapat
dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan
Kwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudun Nasir,1981:265-266).
Setelah
Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah
mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran
syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di
Jullandur tahun 1561 M.
Setelah
itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra
beliau yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M).
Namun Jehangir adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga
Din-i-Illahi yang dibentuk ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[3]
Sepeninggalan
Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang
memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa
pemerintahanya banyak muncul pemberontakan dan perselisihan dalam
internal keluarga istana. Namun semua itu dapat diatasi oleh beliau,
bahkan beliau berhasil memperluas kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan
Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk kepada pemerintahan Mughal.
Keberhasilan itu tidak bias lepas dari peran Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti
Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan
setelah berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada
masanya kebesaran Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran
namanya-pun disejajarkan dengan pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku di India yang dinamakan fatwa alamgiri sampai
akhirnya meninggal pada tahun 1707 M. Selama satu setengah abad, India
di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negara adikuasa. Ia menguasai
perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang
mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India
juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan
kebudayaan yang tinggi.[4]
Dengan besarnya nama kerajaan Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan pada masa itu telah muncul
seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan
Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan
figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati sampai
sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah
karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada
masa Shah jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra,
Masjid Raya Delhi dan Istana Indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
2.3 KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para
pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah
dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini
memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot,
suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan
separatis Hindu di India tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di
bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para
pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir
menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata
semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada
masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah
muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari
tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua
Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.[5]
Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia
menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan yang
berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai
akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan
penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah
kepada mereka.[6]
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi
perebutan kekuasaan di kalangan istana. Bahadur Syah diganti oleh
anaknya, Azimus Syah. Akan tetapi, pemerintahannya oleh Zulfiqar Khan,
putra Azad Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M an
diganti oleh putranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari
Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah apat disingkirkan oleh
Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh
Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid,
tapi tewas di tangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai
gantinya diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan
pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang
sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia.
Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena
menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantual kepada
pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu, ada tahun 1739 M,
dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal.
Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah.
Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member
hadiah yang sangat banyak keada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat
melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang
Chin Qilich Khan yang bergelar Nizam Al-Mulk (1722-732 M) karena
mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi, tahun 1732 M, Nizam
Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabat dan menetap di sana.
Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari
pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya
masing-masing. Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai
Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan
Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Mughal secara detail, yaitu :
1. Terjadinya stagnasi pembinaan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat dipantau.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan dan penggunaan uang Negara.
3. Pendekatan Aurengzeb yang terkesan kasar dalam mendakwahkan agama.
4. Pewaris tahta pada paroh terakhir adalah pribadi-pribadi lemah.
2.4 HASIL-HASIL KEBUDAYAAN KERAJAAN MUGHAL
A. Bidang Poitik dan Militer
Sistim
yang menonjol adalah politik Sulh-E-Kul atau toleransi universal.
Sistem ini sangat tepat karena mayoritas masyarakat India adalah Hindu
sedangkan Mughal adalah Islam. Disisi lain terdapat juga ras atau etnis
lain yang juga terdapat di India. Lembaga yang produk dari Sistim ini
adalah Din-I-Ilahi dan Mansabhadari. Dibidang militer, pasukan Mughal
dikenal pasukan yang sangat kuat. Mereka terdiri dari pasukan gajah
berkuda dan meriam. Wilayahnya dibagi distrik-distrik.
Setiap distrik dikepalai oleh sipah salar dan sub distrik di kepalai
oleh faudjar. Dengan sistim ini pasukan Mughal berhasil menahlukan
daerah-daera di sekitarnya.
B. Bidang Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Mughal tertumpu pada bidang agrari, mengingat keadaan Geografi
dan Geologi wilayah India. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang
terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu,
sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan
celupan.[7]
Di
samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu diekspor ke
Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil
kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang
banyak diproduksi di Gujarat dan Bengawan. Untuk meningkatkan produksi,
Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan
pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
C. Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan
dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang.
Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana,
baik yang berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang
terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang
menghasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijakan jiwa manusia.[8]
Karya
seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni
terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang
indah dan mengagumkan. Pada masa akbar dibangun istana Fatpur Sikri di
Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syah Jehan,
dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, masjid raya
Delhi dan istana indah di Lahore.[9]
D. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti
Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan.
Sejak berdiri, banyak ilmuan yang datang ke India untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Bahkan Istana Mughal-pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan.
Hal ini adanya dukungang dari penguasa dan bangsawan seta Ulama.
Aurangzeb misalnya membelikan sejumlah uang yang besar dan tanah untuk
membangun sarana pendidikan.
Pada
tiap-tiap masjid memiliki lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh
seorang guru. Pada masa Shah Jahan didirikan sebuah Perguruan Tinggi di
Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintah di pegang oleh
Aurangzeb. Dibidang ilmu agama berhasil dikondifikasikan hukum islam
yang dikenal dengan sebutan Fatawa-I-Alamgiri.
A.
Pendahuluan
Keruntuhan
kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul
bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi
yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer
Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa
Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam
perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan
besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih
mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para
hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para
tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan
al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini
merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada
awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di
samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan
bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga
meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan
fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri
dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada
akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini
menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian
yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia
seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania,
dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di
Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti
Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak
perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini
dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.
Dinasti Saljuk
Bangsa
Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz.
Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn
Tukak (Dukak).[3] Ia
merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya
menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua
versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana
dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama
Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya
ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas
terpisah dari kerajaan. Versi kedua
adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya
dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di
mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa
Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk
Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan
besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan
masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia
mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk
agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan
dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan
Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan
mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5]
Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah
Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah
dengan dinasti Khaniyyah.[6]
Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan
memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh
Samaniyyah.[7]
Setelah
Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn
Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan
bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar
Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti
Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah,
kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan
lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada
periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan
Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan
memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul
memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti
ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan
Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi.
Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan
Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9]
Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh
al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium
Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.
Saljuk
Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril
Bek merencanakan dua hal
a.
Melakukan
konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.
Memperluas
kekuasaan
Daerah
kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah
berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di
Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti
Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan
secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang
kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya
dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 –
1051 M ia berhasil merebut Isfahan dan menghancurkan kekuatan Daylamah di
Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M
dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut
Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian
hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan
ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani
Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang
timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu
Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai
kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk
jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari
Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh
panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima
Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10]
Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke
waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya
yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah
al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa
khalifah menandatangani
dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya
hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan
mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan
peninggalan-peninggalan suci lainnya.
Al-Basasiri menguasai istana selama
lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah
al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini
untuk memimpin bala tentaranya masuk
ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir
al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin
Amirul Mukminin serta meletakkan
raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di
nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan
segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di
Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M dan akhirnya
Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada
tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi
kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465
H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai
anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba
melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia
menjadikan kota Rayy sebagai ibu
kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah
Transoksania untuk mengkonsolidasi
wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan
Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan
Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai
melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan
pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah
untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi
wilayah alp-Arselan menjadikan
silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa
kerajaan Khanniyah dan putranya
yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk
menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan
Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu
dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah
Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen
kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan
itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun
harus membayar jizyah kepada kesultanan
Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan
politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke
dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan
kesultanan Saljuk dengan
kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan
menakhlukkan kesultanan Saljuk.
Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai
Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M)
naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu
oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur
Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan
Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy,
ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama,
melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua,
menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk
ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan
berhasil dipertahankan bahkan diperluas:
yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui
keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah
beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah
terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama
setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H /
1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.
2. Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117
M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan
tersebut ditandai dengan munculnya
kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari
kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia
melepaskan diri dari kekuasaan pamannya,
sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya
dipenuhi dengan menjadikan Mahmud
sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan
di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya,
Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia
merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131),
Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 –
1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah
(1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa
Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan
Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun.
Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak
asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan
administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.
3. Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin
Alp-Arselan yang telah mulai
memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078
M atas perintah Maliksyah yang
memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep
(Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai
batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya,
Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung
Tutusy dan ia melarikan diri ke
Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di
bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal
7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan
Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy
(488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah
Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan
di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya
kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah
) dan para amir Arluqiyyah ).[14]
4. Saljuk
Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga
Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari
pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan
kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah
bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke
Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan
berhasil mendirikan pemerintahan di daerah
Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap
kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah
merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba
menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan
tentara yang besar menuju Rayy unuk
memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M).
Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai
tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan
yang dipegang oleh Turan Syah
(1084-1097 M), Iran Syah (1097-1100),
Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156
M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau
Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia
adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II.
Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga
penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan
paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia
digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja
Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan.
Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186
M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187
M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.
5.
Saljuk
Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah
kesultanan kurang lebih 14 orang.
Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin
Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada
masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan
naiklah Alp-Arselan, ia melakukan
pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam
al-Mulk, keluarga ini selamat
dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai
gelar amir.
Selanjutnya,
pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia
Kecil atas perkenanan dari Malik Syah.
Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada
tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia.
Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak
penaklukan. Ada dua hal yang
perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan
kebebasan beragama pada masa
Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum
memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan
milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi
munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah
Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I, ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga
ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk
mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan
tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota
ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam
melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di
sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah
sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij
Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192
N1), Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M),
Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin
Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin
Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin
Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin
Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada
petnerintahan Alaudin Kaikobad (
1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang
melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan
membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan
Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan
intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia
kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya
mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.
C.
Kemajuan
yang dicapai Dinasti Saljuk
a.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Pada
masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami
kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham
al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas
Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah
seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama,
pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada
masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam
bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid
al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam
bidang sastra dan matematika.[19]
b.
Bidang Politik
dan Pemerintahan
Pada
masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang
sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka
melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya
seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai
seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya
pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia
Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis,
Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan
dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan
tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan
tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan
harga diri dan kaumnya.[20]
c.
Bidang
Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan
motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran
irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara
dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di
Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut
dijadikan sekolah.[21]
D. Kemunduran dan Kehancuran
Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena
fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti
kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang
melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah
ini.
a. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian,
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut.[22]
a.
Perebutan
Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara
itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak
bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada
bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi
orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami, sehingga
khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah
al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat
jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut
oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya
beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]
b.
Munculnya
Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda,
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India.
Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah
yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah
hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada
kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal,
dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat
untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah dan juga para penguasa Abbasiyah
lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26]
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri
adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa
Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.
Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi
gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah
di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada
masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.
Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259
H), Shafariyah di Fars
(254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad
(320-447).
2.
Yang
berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan
(320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.
Yang
berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.
Yang
berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia
(180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah
di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.
Yang
Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]
c. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitulmal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang
drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran
ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak
dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin
mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.
Munculnya
Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk
menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah
pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat
digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang
Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan
mereka serta melakukan mihnah
dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
zindiq berlanjut mulai dari bentuk
yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan
Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut,
pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah,
sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah
memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang
juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan.
Namun anaknya, al-Muntashir (861-862
M), kembali memperkenankan orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah
Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah
di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad
yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran
Islam lainnya seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah
sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut
paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]
b. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan
faktor-faktor internal kemunduran dan
kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah
200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat
Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul
Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib. Perang
salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak
menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan
peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli
dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa
Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia
banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja
Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerussalem.[35]
2. Serangan Mongolia Ke Negeri
Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah.
Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan
oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui sahara yang dikenal keras kepala dan suka
berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan
Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai
negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum
kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka
pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah
al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat
ke base camp pasukan mongolia.
Setelah itu para pemimpin dan fuqaha
juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan
pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan
kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang
dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang
Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar