Home » » Islam Pada Abad Pertengahan

Islam Pada Abad Pertengahan

Kekhalifahan Umayyah


Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah,[rujukan?] dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah padahal tidak ada satu dalil pun dari al-Qur'an dan Hadits Nabi yang mendukung pendapatnya.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri, yang tertindas setelah kesyahidan pemimpin mereka Husain bin Ali, terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan di antaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah secara biadab seperti yang diriwayatkan dalam sejarah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu, gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjutnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (717-720 M), di mana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali disejajarkan dengan Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Penurunan

Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus.

Bani Umayyah di Andalus

Al-Andalus atau (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), dimana tentara Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah.
Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam dibawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 99 H/717 M, dimana sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pirenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordeaux, Poitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours, di kota ini ia ditahan oleh Charles Martel, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Tours, al-Ghafiqi terbunuh sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara muslim mundur kembali ke Spanyol.
Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Goth bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Goth terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang, selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin.
Sewaktu penaklukan itu para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari tokoh-tokoh yang kuat, yang mempunyai tentara yang kompak, dan penuh percaya diri. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

Kronologi Bani Ummayyah

Kekhalifahan Utama di Damaskus

  1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
  2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
  3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
  4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
  5. Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
  6. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
  7. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
  8. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
  9. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
  10. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
  11. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
  12. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
  13. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
  14. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
  15. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M

Keamiran di Kordoba

Kekhalifahan di Kordoba



Kekhalifahan Abbasiyah


Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.

Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
  1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
  2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
  3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
  1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
  2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
  1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
  2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.

Pengaruh Mamluk

Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.


Pengaruh Bani Buwaih

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.

Pengaruh Bani Seljuk

Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.

Kemunduran

Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

Kekhalifahan Utsmaniyah

Kebangkitan (1299–1453)


 
Pertempuran Nicopolis, 1396. Lukisan tahun 1523
Pasca pembubaran Kesultanan Rum yang dipimpin dinasti Seljuq Turki, pendahulu Utsmaniyah, pada tahun 1300-an, Anatolia terpecah menjadi beberapa negara merdeka (kebanyakan Turki) yang disebut emirat Ghazi. Salah satu emirat Ghazi dipimpin oleh Osman I (1258[13] – 1326) dan namanya menjadi asal usul nama Utsmaniyah. Osman I memperluas batas permukiman Turki sampai pinggiran Kekaisaran Bizantium. Tidak jelas bagaimana Osmanli berhasil menguasai wilayah tetangganya karena belum banyak diketahui soal sejarah Anatolia abad pertengahan.[14]
Pada abad setelah kematian Osman I, kekuasaan Utsmaniyah mulai meluas sampai Mediterania Timur dan Balkan. Putra Osman, Orhan, menaklukkan kota Bursa pada tahun 1324 dan menjadikannya ibu kota negara Utsmaniyah. Kejatuhan Bursa menandakan berakhirnya kendali Bizantium atas Anatolia Barat Laut. Kota Thessaloniki direbut dari Republik Venesia pada tahun 1387. Kemenangan Utsmaniyah di Kosovo tahun 1389 secara efektif mengawali kejatuhan pemerintahan Serbia di wilayah itu dan membuka jalan untuk perluasan wilayah Utsmaniyah di Eropa. Pertempuran Nicopolis tahun 1396 yang dianggap luas sebagai perang salib besar terakhir pada Abad Pertengahan gagal menghambat laju bangsa Turki Utsmaniyah.
Seiring meluasnya kekuasaan Turki di Balkan, penaklukan strategis Konstantinopel menjadi tugas penting. Kesultanan ini mengendalikan nyaris seluruh bekas tanah Bizantium di sekitar kota, namun warga Yunani Bizantium sempat luput ketika penguasa Turk-Mongolia, Tamerlane, menyerbu Anatolia dalam Pertempuran Ankara tahun 1402. Ia menangkap Sultan Bayezid I. Penangkapan Bayezid I menciptakan kekacauan di kalangan penduduk Turki. Negara pun mengalami perang saudara yang berlangsung sejak 1402 sampai 1413 karena para putra Bayezid memperebutkan takhta. Perang berakhir ketika Mehmet I naik sebagai sultan dan mengembalikan kekuasaan Utsmaniyah. Kenaikannya juga mengakhiri Interregnum yang disebut Fetret Devri dalam bahasa Turki Utsmaniyah.
Sebagian teritori Utsmaniyah di Balkan (seperti Thessaloniki, Makedonia, dan Kosovo) sempat terlepas setelah 1402, tetapi berhasil direbut kembali oleh Murad II antara 1430-an dan 1450-an. Pada tanggal 10 November 1444, Murad II mengalahkan pasukan Hongaria, Polandia, dan Wallachia yang dipimpin Władysław III dari Polandia (sekaligus Raja Hongaria) dan János Hunyadi di Pertempuran Varna, pertempuran terakhir dalam Perang Salib Varna.[15][16][halaman dibutuhkan] Empat tahun kemudian, János Hunyadi mempersiapkan pasukannya (terdiri dari pasukan Hongaria dan Wallachia) untuk menyerang Turki, namun dikalahkan oleh Murad II dalam Pertempuran Kosovo Kedua tahun 1448.

Perkembangan (1453–1683)

Perluasan dan puncak (1453–1566)

Angkatan Darat Utsmaniyah di Konstantinopel tahun 1453, Biara Moldovița
Putra Murad II, Mehmed II, menata ulang negara dan militernya, lalu menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453. Mehmed mengizinkan Gereja Ortodoks mempertahankan otonomi dan tanahnya dengan imbalan mengakui pemerintahan Utsmaniyah.[17] Karena hubungan yang buruk antara negara-negara Eropa Barat dan Kekaisaran Romawi Timur, banyak penduduk Ortodoks yang mengakui kekuasaan Utsmaniyah alih-alih Venesia.[17]
Pada abad ke-15 dan 16, Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode ekspansi. Kesultanan ini berhasil makmur di bawah kepemimpinan sejumlah Sultan yang tegas dan efektif. Ekonominya juga maju karena pemerintah mengendalikan rute-rute perdagangan darat utama antara Eropa dan Asia.[18][dn 7]
Sultan Selim I (1512–1520) memperluas batas timur dan selatan Kesultanan Utsmaniyah secara dramatis dengan mengalahkan Shah Ismail dari Persia Safavid dalam Pertempuran Chaldiran.[19] Selim I mendirikan pemerintahan Utsmaniyah di Mesir dan mengerahkan angkatan lautnya ke Laut Merah. Setelah ekspansi tersebut, persaingan pun pecah antara Kekaisaran Portugal dan Kesultanan Utsmaniyah yang sama-sama berusaha menjadi kekuatan besar di kawasan itu.[20]

 
Suleiman Agung (1520–1566) mencaplok Belgrade tahun 1521, menguasai wilayah selatan dan tengah Kerajaan Hongaria sebagai bagian dari Peperangan Utsmaniyah–Hongaria.[22][23][tak ada di rujukan] Setelah memenangkan Pertempuran Mohács tahun 1526, ia mendirikan pemerintahan Turki di wilayah yang sekarang disebut Hongaria (kecuali bagian baratnya) dan teritori Eropa Tengah lainnya. Ia kemudian mengepung Wina tahun 1529, tetapi gagal.[24] Tahun 1532, ia melancarkan serangan lain ke Wina, namun dikalahkan pada Pengepungan Güns.[25][26][27] Transylvania, Wallachia, dan Moldavia (sementara) menjadi kepangeranan bawahan Kesultanan Utsmaniyah. Di sebelah timur, bangsa Turk Utsmaniyah merebut Baghdad dari Persia pada tahun 1535, menguasai Mesopotamia, dan mendapatkan akses laut ke Teluk Persia.
Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah bersatu karena sama-sama menentang pemerintahan Habsburg dan menjadi sekutu yang kuat. Penaklukan Nice (1543) dan Corsica (1553) oleh Perancis adalah hasil kerja sama antara pasukan raja Francis I dari Perancis dan Suleiman. Pasukan tersebut dipimpin oleh laksamana Utsmaniyah Barbarossa Hayreddin Pasha dan Turgut Reis.[28] Satu bulan sebelum pengepungan Nice, Perancis membantu Utsmaniyah dengan mengirimkan satu unit artileri pada penaklukan Esztergom tahun 1543. Setelah bangsa Turk membuat serangkaian kemajuan tahun 1543, penguasa Habsburg Ferdinand I secara resmi mengakui pemerintahan Utsmaniyah di Hongaria pada tahun 1547.
Pada tahun 1559, setelah perang Ajuuraan-Portugal pertama, Kesultanan Utsmaniyah menganeksasi Kesultanan Adal yang lemah ke dalam wilayahnya. Ekspansi ini mengawali pemerintahan Utsmaniyah di Somalia dan Tanduk Afrika. Aneksasi tersebut juga meningkatkan pengaruh Utsmaniyah di Samudra Hindia untuk bersaing dengan Portugal.[29]
Pada akhir masa kekuasaan Suleiman, jumlah penduduk Kesultanan Utsmaniyah mencapai 15.000.000 orang dan tersebar di tiga benua. [30] Selain itu, kesultanan ini menjadi kekuatan laut besar yang mengendalikan sebagian besar Laut Mediterania.[31] Saat itu, Kesultanan Utsmaniyah adalah bagian utama dari lingkup politik Eropa. Kesuksesan politik dan militernya sering disamakan dengan Kekaisaran Romawi, salah satunya oleh cendekiawan Italia Francesco Sansovino dan filsuf politik Perancis Jean Bodin.[32]

Pemberontakan dan pemulihan (1566–1683)

Miniatur tentang kampanye Szigetvár ini memperlihatkan tentara Utsmaniyah dan Tatar lebih unggul.
Struktur militer dan birokrasi yang efektif pada abad sebelumnya terancam gagal ketika sultan-sultan selanjutnya tidak tegas memimpin. Kesultanan Utsmaniyah perlahan dikalahkan bangsa Eropa dari segi teknologi militer karena inovasi yang mendorong perluasan kesultanan ini dihambat oleh paham konservatisme agama dan intelektual yang terus berkembang.[33] Meski mengalami kesulitan, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansionis besar sampai Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan akhir ekspansi Utsmaniyah ke Eropa.
Penemuan rute dagang laut baru oleh negara-negara Eropa Barat memungkinkan mereka menghindari monopoli dagang Utsmaniyah. Penemuan Tanjung Harapan Baik oleh Portugal tahun 1488 merintis serangkaian perang laut Utsmaniyah-Portugal di Samudra Hindia sepanjang abad ke-16. Dari segi ekonomi, pemasukan perak Spanyol dari Dunia Baru mengakibatkan mata uang Utsmaniyah mengalami devaluasi tajam dan inflasi tinggi.[rujukan?]
Di bawah kepemimpinan Ivan IV (1533–1584), Kekaisaran Rusia meluas sampai kawasan Volga dan Kaspia dengan menaklukkan beberapa kekhanan Tatar. Pada tahun 1571, khan Krimea Devlet I Giray yang didukung Utsmaniyah membakar Moskwa.[34] Tahun berikutnya, invasi diulang namun digagalkan pada Pertempuran Molodi. Kekhanan Krimea terus menyerbu Eropa Timur melalui serangkaian serangan budak[35] dan menjadi kekuatan besar di Eropa Timur sampai akhir abad ke-17.[36]
Di Eropa Selatan, koalisi Katolik yang dipimpin Philip II dari Spanyol mengalahkan armada Utsmaniyah di Pertempuran Lepanto. Ini merupakan pukulan telak dan simbolis[37] terhadap citra kehebatan Utsmaniyah. Memudarnya citra ini diawali oleh kemenangan Ksatria Malta atas pasukan Utsmaniyah dalam Pengepungan Malta tahun 1565.[38] Pertempuran Lepanto membuat Angkatan Laut Utsmaniyah kehilangan banyak tenaga ahlinya, sedangkan kapal-kapalnya masih bisa diperbaiki.[39] Angkatan Laut Utsmaniyah pulih dengan cepat dan memaksa Venesia menandatangani perjanjian damai tahun 1573 yang mengizinkan Kesultanan Utsmaniyah memperluas dan memperkuat posisinya di Afrika Utara.[40]
Sebaliknya, wilayah Habsburg tidak berubah setelah pertahanan Habsburg diperkuat.[41] Perang Panjang melawan Austria Habsburg (1593–1606) membuat pemerintah melengkapi infanterinya dengan senjata api dan melonggarkan kebijakan perekrutan. Keputusan ini menciptakan masalah ketidakpatuhan dan pemberontakan di dalam tubuh militer yang tidak pernah terselesaikan.[42] Penembak jitu ireguler (Sekban) juga direkrut. Demobilisasi pun berubah menjadi brigandase (perampokan) dalam pemberontakan Jelali (1595–1610) yang memperluas aksi anarkis di Anatolia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.[43] Ketika populasi kesultanan mencapai 30.000.000 jiwa pada tahun 1600, kelangkaan tanah membuat pemerintah ditekan habis-habisan.[44]
Pada masa kekuasaannya yang singkat, Murad IV (1612–1640) membentuk kembali pemerintahan pusat dan merebut Yerevan (1635) dan Baghdad (1639) dari Safavid.[45] Kesultanan wanita (1648–1656) adalah periode ketika ibu para sultan muda berkuasa atas nama putranya. Tokoh wanita yang paling berpengaruh waktu itu adalah Kösem Sultan dan menantunya Turhan Hatice. Persaingan politik mereka berujung pada pembunuhan Kösem pada 1651.[46] Selama Era Köprülü (1656–1703), pemerintahan efektif dijalankan oleh sejumlah Wazir Agung dari keluarga Köprülü. Kewaziran Köprülü mengalami kesuksesan militer dengan didirikannya pemerintahan di Transylvania, penaklukan Kreta tahun 1669, dan ekspansi ke Ukraina selatan Polandia. Pertahanan terakhir Khotyn dan Kamianets-Podilskyi dan teritori Podolia bergabung dengan Kesultanan Utsmaniyah tahun 1676.[47]
Periode ketegasan baru ini berakhir pada Mei 1683 saat Wazir Agung Kara Mustafa Pasha memimpin pasukan besar untuk mengepung Wina kedua kalinya dalam Perang Turki Besar 1683–1687. Serangan terakhir mereka tertunda karena pasukan Utsmaniyah didesak mundur oleh pasukan sekutu Habsburg, Jerman, dan Polandia yang dipimpin Raja Polandia Jan III Sobieski pada Pertempuran Wina. Aliansi Liga Suci terus melaju pasca kekalahan di Wina dan memuncak pada Perjanjian Karlowitz (26 Januari 1699) yang mengakhiri Perang Turki Besar.[48] Kesultanan Utsmaniyah menyerahkan sejumlah wilayah pentingnya, kebanyakan diserahkan secara permanen.[49] Mustafa II (1695–1703) memimpin serangan balasan terhadap Wangsa Habsburg di Hongaria pada 1695–96, namun kalah besar di Zenta (11 September 1697).[50]

Kemandekan dan reformasi (1683–1827)

 
Selim III menyambut para tamu penting di Gerbang Kebahagiaan, Istana Topkapı.
Pada periode ini, ekspansi Rusia membawa ancaman besar yang terus berkembang.[51] Karena itu, Raja Charles XII dari Swedia diterima sebagai sekutu Kesultanan Utsmaniyah setelah pasukannya dikalahkan Rusia pada Pertempuran Poltava tahun 1709 (bagian dari Perang Utara Besar 1700–1721.)[51] Charles XII mendesak Sultan Utsmaniyah Ahmed III untuk menyatakan perang terhadap Rusia. Utsmaniyah berhasil memenangkan Kampanye Sungai Pruth yang berlangsung pada 1710–1711.[52] Pasca Perang Austria-Turki 1716–1718, Perjanjian Passarowitz mencantumkan penyerahan wilayah Banat, Serbia, dan "Walachia Kecil" (Oltenia) ke Austria. Perjanjian ini juga menyebutkan bahwa Kesultanan Utsmaniyah mengambil sikap defensif dan tidak mungkin melakukan agresi lagi di Eropa.[53]

 
Tentara Utsmaniyah berupaya menahan laju Rusia saat Pengepungan Ochakov tahun 1788.
Perang Austria-Rusia–Turki yang diakhiri oleh Perjanjian Belgrade 1739 berujung pada kembalinya Serbia dan Oltenia, namun pelabuhan Azov berhasil direbut Rusia. Setelah perjanjian ini, Kesultanan Utsmaniyah menikmati masa perdamaian karena Austria dan Rusia terpaksa menghadapi kebangkitan Prusia.[54]
Sejumlah reformasi pendidikan dan teknologi dilaksanakan, termasuk pendirian institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Teknik Istanbul.[55] Pada tahun 1734, sebuah sekolah artileri didirian untuk memperkenalkan metode artileri Barat, namun kalangan ulama Islam mengajukan keberatan atas dasar teodisi.[56] Tahun 1754, sekolah artileri tersebut dibuka kembali secara setengah rahasia.[56] Tahun 1726, Ibrahim Muteferrika meyakinkan Wazir Agung Nevşehirli Damat İbrahim Pasha, Mufti Agung, dan para ulama tentang efisiensi percetakan. Muteferrika pun diizinkan Sultan Ahmed III untuk menerbitkan buku-buku non-religius meski ditentang sejumlah kaligrafer dan pemuka agama.[57] Percetakan Muteferrika menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1729. Pada 1743, jumlah karya yang dicetaknya mencapai 17 buah dalam 23 volume dan masing-masing karya dicetak sebanyak 500 sampai 1.000 eksemplar.[57][58]
Pada 1768, para Haidamak, pemberontak konfederasi Polandia yang dibantu Rusia, memasuki Balta, kota Utsmaniyah di perbatasan Bessarabia, dan membantai warganya dan membumihanguskan kota tersebut. Tindakan ini memaksa Kesultanan Utsmaniyah memulai Perang Rusia-Turki 1768–1774. Perjanjian Küçük Kaynarca tahun 1774 mengakhiri perang ini dan memberikan kebebasan beribadah bagi warga Kristen di provinsi Wallachia dan Moldavia.[59] Pada akhir abad ke-18, serangkaian kekalahan perang melawan Rusia membuat beberapa kalangan di Kesultanan Utsmaniyah yakin bahwa reformasi yang dijalankan Peter Agung memberi keunggulan bagi Rusia, dan Utsmaniyah harus menggunakan teknologi Barat untuk menghindari kekalahan lebih lanjut.[56]
Selim III (1789–1807) melakukan upaya besar pertama dalam memodernisasi pasukannya, tetapi reformasi ini terhambat oleh kepemimpinan yang religius dan korps Yanisari. Karena iri dengan hak-hak militer dan menolak perubahan, Yanisari pun merintis pemberontakan. Semua upaya Selim membuat dirinya kehilangan takhta dan nyawanya. Akan tetapi, pemberontakan ini berhasil diredam dengan spektakuler dan kejam oleh penggantinya yang dinamis, Mahmud II. Ia menghapus korps Yanisari pada tahun 1826.
Revolusi Serbia (1804–1815) menjadi awal era kebangkitan nasional di kawasan Balkan pada masa Pertanyaan Timur. Suzeraintas Serbia sebagai monarki herediter dengan dinastinya sendiri diakui secara de jure pada tahun 1830.[60][61] Pada 1821, bangsa Yunani menyatakan perang terhadap Sultan. Pemberontakan yang pecah di Moldavia sebagai bentuk pengalihan diikuti oleh revolusi utama di Peloponnesos. Peloponnesos dan bagian utara Teluk Korintus menjadi wilayah Kesultanan Utsmaniyah pertama yang merdeka, tepatnya pada tahun 1829. Pada pertengahan abad ke-19, Kesultanan Utsmaniyah dijuluki "orang sakit" oleh bangsa Eropa. Negara-negara suzerain (Kepangeranan Serbia, Wallachia, Moldavia, dan Montenegro) meraih kemerdekaan de jure pada 1860-an dan 1870-an.

Kemunduran dan modernisasi (1828–1908)

Pada masa Tanzimat (1839–1876), serangkaian reformasi konstitusional pemerintah membuahkan hasil, yaitu pasukan wajib militer modern, reformasi sistem perbankan, dekriminalisasi kaum homoseksual, perubahan hukum agama menjadi hukum sekuler,[62] dan gilda yang memiliki pabrik modern. Kementerian Pos Utsmaniyah dibentuk di Istanbul pada tanggal 23 Oktober 1840.[63][64]
Samuel Morse menerima paten telegraf pertamanya tahun 1847. Paten tersebut dikeluarkan oleh Sultan Abdülmecid yang secara langsung menguji penemuan baru itu.[65] Setelah uji coba berhasil, jalur kabel telegraf pertama di dunia (Istanbul-Adrianopel-Şumnu)[66] mulai dipasang pada 9 Agustus 1847.[67] Periode reformis ini memuncak dengan penyusunan Konstitusi yang disebut Kanûn-u Esâsî. Era Konstitusional Pertama kesultanan ini tidak berlangsung lama. Parlemennya hanya bertahan selama dua tahun sebelum dibubarkan sultan.
Dikarenakan tingkat pendidikannya yang lebih tinggi, penduduk Kristen di kesultanan ini mulai unggul ketimbang penduduk Muslim yang mayoritas, sehingga penduduk Muslim merasa tidak puas.[68] Pada tahun 1861, ada 571 sekolah dasar dan 94 sekolah menengah Kristen Utsmaniyah dengan 140.000 siswa. Jumlah itu jauh melampaui siswa Muslim di sekolah pada saat yang sama. Kemajuan siswa Muslim terus melambat dikarenakan lamanya waktu mata pelajaran bahasa Arab dan teologi Islam.[68] Tingkat pendidikan siswa Kristen yang lebih tinggi memungkinkan mereka memainkan peran penting dalam perekonomian negara.[68] Pada tahun 1911, 528 dari 654 perusahaan grosir di Istanbul dimiliki etnis Yunani.[68]
Prajurit Turki menyerang Benteng Shefketil saat Perang Krimea
Perang Krimea (1853–1856) adalah bagian dari persaingan panjang antara kekuatan-kekuatan besar Eropa yang memperebutkan pengaruh di teritori Kesultanan Utsmaniyah yang melemah. Beban perang dari segi finansial memaksa pemerintah Utsmaniyah mengajukan pinjaman luar negeri senilai 5 juta pound sterling pada 4 Agustus 1854.[69][70] Perang ini mengakibatkan eksodus warga Tatar Krimea. Sekitar 200.000 di antaranya pindah ke Kesultanan Utsmaniyah dalam bentuk gelombang emigrasi.[71] Menjelang akhir Peperangan Kaukasus, 90% etnis Sirkasia dilenyapkan,[72] diusir dari tanah airnya di Kaukasus, dan terpaksa mengungsi ke Kesultanan Utsmaniyah.[73] Sekitar 500.000 sampai 700.000 orang Sirkasia berlindung di Turki.[74][halaman dibutuhkan][75][76] Beberapa sumber memberi angka yang lebih tinggi, yaitu 1 juta-1,5 juta orang dideportasi dan/atau dibunuh.[77]
Upacara peresmian Parlemen Utsmaniyah Pertama di Istana Dolmabahçe tahun 1876
Perang Rusia-Turki (1877–1878) berakhir dengan kemenangan mutlak bagi Rusia. Akibatnya, wilayah Utsmaniyah di Eropa menyusut dengan cepat. Bulgaria didirikan sebagai kepangeranan merdeka di dalam Kesultanan Utsmaniyah, Rumania mendapat kemerdekaan penuh. Serbia dan Montenegro mendapat kemerdekaan penuh dengan wilayah yang lebih kecil. Pada tahun 1878, Austria-Hongaria bersama-sama menduduki provinsi Bosnia-Herzegovina dan Novi Pazar. Walaupun pemerintah Utsmaniyah menentang tindakan ini, pasukannya dikalahkan dalam kurun tiga minggu.
Sebagai imbalan atas bantuan Perdana Menteri Britania Raya Benjamin Disraeli dalam pengembalian teritori Utsmaniyah di Semenanjung Balkan saat Kongres Berlin, Britania Raya mendapatkan hak pemerintahan di Siprus pada tahun 1878.[78] Britania kemudian mengirimkan tentaranya ke Mesir pada tahun 1882 untuk membantu pemerintah Utsmaniyah meredam Pemberontakan Urabi. Britania pun memegang kendali penuh di Siprus dan Mesir.
Pada 1894–96, sekitar 100.000 sampai 300.000 etnis Armenia yang tinggal di seluruh kesultanan dibunuh dalam sebuah peristiwa yang disebut pembantaian Hamidian.[79]
Seiring menyusutnya wilayah Kesultanan Utsmaniyah, banyak Muslim Balkan pindah ke teritori Utsmaniyah yang tersisa di Balkan atau ke jantung kesultanan di Anatolia.[80] Per 1923, hanya Anatolia dan Thracia Timur yang dikuasai Muslim.[81]

Kekalahan dan pembubaran (1908–1922)

 
Deklarasi Revolusi Turk Muda oleh para pemimpin millet Utsmaniyah.
Era Konstitusional Kedua dimulai pasca Revolusi Turk Muda (3 Juli 1908) melalui pengumuman sultan tentang penggunaan kembali konstitusi 1876 dan pembentukan kembali Parlemen Utsmaniyah. Pengumuman ini menjadi awal pembubaran Kesultanan Utsmaniyah. Era ini didominasi oleh politik Komite Persatuan dan Kemajuan serta gerakan yang kelak dikenal dengan sebutan Turk Muda.
Memanfaatkan perpecahan sipil, Austria-Hongaria secara resmi menganeksasi Bosnia dan Herzegovina tahun 1908, tetapi mereka menarik tentaranya dari Sanjak Novi Pazar, wilayah lain yang diperebutkan Austria dan Utsmaniyah, untuk menghindari perang. Pada Perang Italia-Turki (1911–12), Kesultanan Utsmaniyah kehilangan Libya dan Liga Balkan menyatakan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Utsmaniyah kalah dalam Peperangan Balkan (1912–13) dan kehilangan teritori Balkan-nya kecuali Thracia Timur dan ibu kota historis Adrianopel. Sekira 400.000 Muslim yang khawatir menghadapi kekerasan etnis Yunani, Serbia, atau Bulgaria, mengungsi mundur bersama pasukan Utsmaniyah.[82] Menurut perkiraan Justin McCarthy, sejak 1821 sampai 1922, pembersihan etnis Muslim Utsmaniyah di Balkan mengakibatkan kematian dan pengusiran sekian juta orang dari kawasan itu.[83][84][85] Per 1914, Kesultanan Utsmaniyah sudah dipuul mundur dari hampir seluruh Eropa dan Afrika Utara. Meski begitu, kesultanan ini masih dihuni 28 juta orang. 15,5 juta di antaranya di Turki modern, 4,5 juta di Suriah, Lebanon, Palestina, dan Yordania, dan 2,5 juta di Irak. 5,5 juta sisanya berada di bawah pemerintahan bayangan Utsmaniyah di jazirah Arab.[86]

Mehmed VI, Sultan Utsmaniyah terakhir, 1922
Pada November 1914, Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam Perang Dunia I di blok Kekuatan Tengah. Kesultanan ini ambil bagian dalam teater Timur Tengah. Utsmaniyah sempat beberapa kali menang pada tahun-tahun pertama perang, misalnya di Pertempuran Gallipoli dan Pengepungan Kut, namun ada juga kekalahan seperti pada Kampanye Kaukasus melawan Rusia. Amerika Serikat tidak pernah mengeluarkan pernyataan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah.[87]
Tahun 1915, saat Angkatan Darat Kaukasus Rusia terus merangsek ke Anatolia timur,[88] dibantu sejumlah milisi Armenia Utsmaniyah, pemerintah Utsmaniyah mulai mendeportasi dan membantai penduduk etnis Armenia. Aksi ini kemudian dikenal dengan nama Genosida Armenia.[89] Aksi genosida juga dilakukan terhadap etnis minoritas Yunani dan Assyria.[90]
Pemberontakan Arab yang dimulai tahun 1916 berbalik melawan Utsmaniyah di front Timur Tengah. Utsmaniyah sempat unggul di Timur Tengah selama dua tahun pertama perang. Gencatan Senjata Mudros yang ditandatangani pada 30 Oktober 1918 mengakhiri peperangan di teater Timur Tengah, diikuti pendudukan Konstantinopel dan pemecahan Kesultanan Utsmaniyah. Dengan Perjanjian Sèvres, pemecahan Kesultanan Utsmaniyah menjadi resmi. Pada kuartal terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sekitar 7–9 juta pengungsi Muslim Turki dari wilayah Kaukasus, Krimea, Balkan, dan pulau-pulau Mediterania pindah ke Anatolia dan Thracia Timur.[91]
Pendudukan Konstantinopel dan İzmir melahirkan gerakan nasional Turki yang memenangkan Perang Kemerdekaan Turki (1919–22) di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha (atau Mustafa Kemal Atatürk). Kesultanan dibubarkan tanggal 1 November 1922, dan sultan terakhirnya, Mehmed VI (berkuasa 1918–22), meninggalkan negara ini pada 17 November 1922. Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Kekhalifahan dibubarkan tanggal 3 Maret 1924.[92]


Dinasti Mughal

Mughal merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya, berdiri antara tahun (1526-1858 M). Dinasti Mughal di India didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan. Ekspansinya ke India dimulai dengan penundukan penguasa setempat yaitu Ibrahim Lodi dengan Alam Khan (Paman Lodi) dan gubernur Lohere[1].­ Ia berhasil munguasai Punjab dan berhasil menundukkan Delhi, sejak saat itu ia memproklamirkan berdirinya kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa Mughal setelah Babur adalah Nashiruddin Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M)[2], puteranya sendiri. Sepanjang pemerintahanya tidak stabil, karna banyak terjadi perlawanan dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau sempat mengungsi ke Persia karna mengalami kekalahan saat melawan pemberontakan Sher Khan di Qonuj, tetapi beliau berhasil merebut kembali kekuasaanya pada tahun 1555 M berkat bantuan dari kerajaan safawi. Namun setahun kemudian 1556 M beliau meninggal karna tertimpa tangga pepustakaan, dan tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh putranya yang bernama Akbar.
2.2       PERKEMBANGAN DAN KEJAYAAN KERAJAAN MUGHAL
Masa kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar (1556-1506 M), dan tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuaan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khahan, seorang syi’i. Pada masa pemerintahanya, Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadi peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan Kwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudun Nasir,1981:265-266).
Setelah Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra beliau yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M). Namun Jehangir adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga Din-i-Illahi yang dibentuk ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[3]
Sepeninggalan Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa pemerintahanya banyak muncul pemberontakan dan perselisihan dalam internal keluarga istana. Namun semua itu dapat diatasi oleh beliau, bahkan beliau berhasil memperluas kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk kepada pemerintahan Mughal. Keberhasilan  itu tidak bias lepas dari peran Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan setelah berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada masanya kebesaran Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran namanya-pun disejajarkan dengan pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku  di India yang dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M. Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negara adikuasa. Ia menguasai perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.[4]
Dengan besarnya nama kerajaan Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan pada masa itu telah  muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati sampai sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan Istana Indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
2.3       KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.[5] Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka.[6]
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus Syah. Akan tetapi, pemerintahannya oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M an diganti oleh putranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah apat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi tewas di tangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai gantinya diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantual kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu, ada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal. Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member hadiah yang sangat banyak keada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang Chin Qilich Khan yang bergelar Nizam Al-Mulk (1722-732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi, tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabat dan menetap di sana.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing. Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Mughal secara detail, yaitu :
1.      Terjadinya stagnasi pembinaan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat dipantau.
2.      Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan dan penggunaan uang Negara.
3.      Pendekatan Aurengzeb yang terkesan kasar dalam mendakwahkan agama.
4.      Pewaris tahta pada paroh terakhir adalah pribadi-pribadi lemah.
2.4       HASIL-HASIL KEBUDAYAAN KERAJAAN MUGHAL
A. Bidang Poitik dan Militer
Sistim yang menonjol adalah politik Sulh-E-Kul atau toleransi universal. Sistem ini sangat tepat karena mayoritas masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah Islam. Disisi lain terdapat juga ras atau etnis lain yang juga terdapat di India. Lembaga yang produk dari Sistim ini adalah Din-I-Ilahi dan Mansabhadari. Dibidang militer, pasukan Mughal dikenal pasukan yang sangat kuat. Mereka terdiri dari pasukan gajah berkuda dan meriam.  Wilayahnya dibagi distrik-distrik. Setiap distrik dikepalai oleh sipah salar dan sub distrik di kepalai oleh faudjar. Dengan sistim ini pasukan Mughal berhasil menahlukan daerah-daera di sekitarnya.
            B. Bidang Ekonomi
Perekonomian kerajaan Mughal tertumpu pada bidang agrari, mengingat keadaan Geografi dan Geologi wilayah India. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.[7]
Di samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengawan. Untuk meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
            C. Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijakan jiwa manusia.[8]
Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, masjid raya Delhi dan istana indah di Lahore.[9]
            D. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak berdiri, banyak ilmuan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan Istana Mughal-pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan. Hal ini adanya dukungang dari penguasa dan bangsawan seta Ulama. Aurangzeb misalnya membelikan sejumlah uang yang besar dan tanah untuk membangun sarana pendidikan.
Pada tiap-tiap masjid memiliki lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh seorang guru. Pada masa Shah Jahan didirikan sebuah Perguruan Tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika pemerintah di pegang oleh Aurangzeb. Dibidang ilmu agama berhasil dikondifikasikan hukum islam yang dikenal dengan sebutan Fatawa-I-Alamgiri.


A.    Pendahuluan
Keruntuhan kekuasaan Abbasiyah sudah terlihat sejak awal abad ke-9. Fenomena ini muncul bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi yang membuat mereka benar-benar independent. Pada saat itu kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khusunya bangsa Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer ini dalam perkembangan selanjutnya merupakan ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.[1]
Kemajuan besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
Pada awal pemerintahan Abbasiyah, sudah muncul fanastisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan / anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak sungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Pada akhirnya konflik kebangsaan dan keagamaan ini  menyebabkan dinasti Abbasiyah pecah dan banyak wilayah-wilayah bagian yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Diantara wilayah-wilayah yang melepaskan diri adalah yang berbangsa Persia seperti Thahiriyah di Khurasan, Syafariyah di Fars, Samaniyah di Transoxania, dll. Yang berbangsa Turki seperti Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan, Ghaznawiyah di Afganista dan Dinasti Saljuk.[2]
Dinasti Saljuk merupakan salah satu dinasti yang utama dari bangsa Turki dan banyak perkembangan signifikan yang terjadi pada masa pemerintahan dinsti Saljuk ini dan dalam makalah ini akan diuraikan sejarah peradaban Islam pada masa dinasti Saljuk.

 Dinasti Saljuk

Bangsa Turki Saljuk merupakan kelompok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz. Dinasti Saljuk dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn Tukak (Dukak).[3] Ia merupakan salah seorang anggota suku Ghuzz yang berada di Klinik, dan akhirnya menjadi kepala suku Ghuzz yang dihormati dan dipatuhi perintahnya. Terdapat dua versi tentang terbentuknya komunitas Turki Saljuk, Ibn sl-Athir sebagaimana dikutip oleh Syafiq A. Mughni menyebutkan, ketika raja Turki yang bernama Beighu ingin menguasai wilayah kerajaan Islam, Tukak menentangnya dan akhirnya ia memisahkan diri dengan para pengikutnya dan membentuk suatu komunitas terpisah dari kerajaan.  Versi kedua adalah Saljuk ibn Tukak memisahkan diri dari kerajaan bersama para pengikutnya dan memasuki wilayah Islam dengan mendirikan pemukiman di dekat daerah Jand di mulut sungai Jaihun.[4]
Bangsa Turki Saljuk adalah pemeluk Islam yang militan. Masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam diperkirakan jauh sebelum mereka memasuki daerah Jand, tetapi kemungkinan besar mereka memeluk agama Islam setelah terjadinya interaksi sosial dengan masyarakat Islam di Jand itu sendiri. Beberapa sarjana berkebangsaan Rusia mengatakan bahwa masyarakat Turki Saljuk memeluk Islam setelah mereka memeluk agama Kristen, dengan melihat nama anak-anak Saljuk yang memiliki kemiripan dengan nama-nama yang ada di dalam kitab Injil, yaitu Mikail, Musa, Israil, dan Yunus. Akan tetapi kemungkinan ini sulit diterima, terutama setelah melihat dan mempelajari tradisi yang ada pada mereka.[5] Perkembangan Dinasti Saljuk dibantu oleh situasi politik di wilayah Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara dinasti Samaniyah dengan dinasti Khaniyyah.[6] Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Saljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil mengusai wilayah yang tadi dikusai oleh Samaniyyah.[7]
Setelah Saljuk bin Tukak meninggal, kepemimpinan bani Saljuk dipimpin oleh Israil ibn Saljuk yang juga dikenal dengan nama Arslan. Pada masa ini wilayah kekuasaan bani Saljuk sudah semakin luas hingga daerah Nur Bukhara (Nur Ata) dan sekitar Samarkhan. Setelah itu diteruskan oleh Mikail, sedangkan ketika itu dinasti Ghaznawiyah dipipin oleh sultan Mahmud. Kareana kelicikan penguasa Ghaznawiyah, kedua pemimpin dinasti Saljuk ini ditangkap dan dibunuh sehingga mengakibatkan lemahnya kekuasaan Saljuk.[8]
Pada periode berikutnya Saljuk dipimpin oleh Thugrul Bek. Ia berhasil mengalahkan Mahmud al-Ghaznawi, penguasa Ghaznawiyah pada tahun 429 H / 1036 M dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan, setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H / 1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi. Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawi, Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan.[9] Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendapat gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh al-Daulah Yamin Amir al-Muminin.
Imperium Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang:
1.      Saljuk Agung
Setelah dipilih sebagai pemimpin imperium Saljuk, Thugril Bek merencanakan dua hal
a.    Melakukan konsolidasi kekuatan militer yang dianggap menentang kekuasaan saljuk
b.      Memperluas kekuasaan
Daerah kekuasaan Saljuk Agung meliputi Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Setelah berhasil mengalahkan dinasti Ghaznawi dan menduduki singgasana kerajaan di Naisabur di bawah pimpinan Thugrul Bek saat itulah dia dianggap sebagai Dinasti Saljuk yang sebenarnya. Setelah menduduki jabatan sultan (1038 – 1063 M) dan secara resmi mendapat pengakuan dari kekhalifahan Abbasiyah. Selama memegang kekuasaan, Thugrul Bek menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada tahun 1050 – 1051 M ia berhasil merebut Isfahan  dan menghancurkan kekuatan Daylamah di Persia. Kemenangan Thugrul Bek lebih gemilang ketika Hamadan pada tahun 1055 M dapat dikuasai.
Thugrul Bek herhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Jurjan, Thabaristan, Rayy, Qazwin dan Zunian hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan ibukotanya ke Rayy.
Sementara bintang kaum Saljuk mulai terang, bintang Bani Buwaihi mula redup dan pudar. Keadaan-keadaan yang timbul semakin mempercepat lagi kaum Saljuk tiba di Baghdad. Pada waktu itu Baghdad mulai rusuh, kondisi politik mulai kacau, keamanan tidak stabil akibat terjadinya perebutan kekuasaan untuk jabatan amir al-umara. Malik ar-Rahim sebagai amir al-umara dari Bani Buwaihi saat itu dikhianati oleh panglimanya sendiri Arselan al-Basasiri (keturunan Turki). Panglima Turki ini telah memberontak menentang rajanya dan khalifah Abbasiyah, Serta mencoba berkuasa penuh.[10] Al-Basasiri mencoba menjalin berbagai persekutuan, dan dari waktu ke waktu dia berada pada posisi yang kuat. Tindakannya yang paling penting ialah menyatakan tunduk kepada khalifah Fatimiyah di Mesir untuk menggulingkan khalifah al-Qaim, dan sebagai imbalannya menerima sejumlah uang.[11]
Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa khalifah menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya turun tahta serta tidak adanya hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah al-Muntansir. Ia juga diharuskan mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan peninggalan-peninggalan suci lainnya. Al-Basasiri menguasai istana selama lebih kurang satu tahun. Untuk menghadapi permasalahan ini khalifah al-Qaim meminta pertolongan Thugrul Bek, pemimpin Saljuk dan Thugrul Bek mengambil kesempatan yang baik ini untuk memimpin bala tentaranya masuk ke Baghdad pada tahun 1055 M. Pasukan Bani Saljuk berhasil mengusir al-Basasiri dan kursi kekhalifahan diserahkan kembali kepada al-Qaim, Kemudian al-Qaim memberi gelar Yamin Amirul Mukminin serta meletakkan raja Malik ar-Rahim di bawah kekuasaannya, bahkan kemudian putri khalifah di nikahi oleh Thugrul Bek dan diboyongnya ke Rayy. Thugrul Bek dengan segera menangkap raja Malik ar-Rahim dan memenjarakannya sebagai tawanan di Rayy sampai wafat pada tahun 1058 M  dan akhirnya Bani Saljuk bisa menguasai Baghdad.
Setahun kemudian Thugrul Bek meninggal dunia tepatnya pada tanggal 8 Ramadhan 455 H/ 1062 M dan kursi kekuasaannya digantikan oleh Alp-Arselan (455-465 H/ 1063-1072 M), kemenakannya yang tertua karena Thugrul Bek tidak mempunyai anak laki-laki.
Setelah menjadi sultan Saljuk, Alp-Arselan mencoba melakukan konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk . Ia menjadikan kota Rayy sebagai ibu kota kesultanan Saljuk, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek. Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer ke wilayah Transoksania untuk mengkonsolidasi wilayah tersebut dan berusaha memisahkan diri dibawah pimpinan Musa Beghu, pamannya sendiri. Setelah melakukan konsolidasi internal kekuasaan Saljuk dengan menundukkan Musa Beghu dan Quthlumisy ibn Chaghri Bek, ia mulai melakukan ekspansi ke wilayah di luar wilayah Islam, sehingga banyak penaklukan pada masanya dinyatakan sebagai jihad fi-sabilillah untuk meninggikan bendera Islam.
Dalam melancarkan misi politiknya dalam rangka ekspansi wilayah alp-Arselan menjadikan silaturrahmi dalam bentuk perkawinan. Ia mengawinkan putranya Malik Syah dengan putri Tumghaj Khan, penguasa kerajaan Khanniyah dan putranya yang lain dengan putri Ibrahim al-Ghaznawi. Hal ini dilakukannya untuk menambah kekuatannya menghadapi kekuatan Romawi.
Konfrontasi antara Saljuk dengan Romawi terjadi pada bulan Agustus 1071 M di Manzikart. Pada pertempuran itu dimenangkan oleh tentara Saljuk, maka dipandanglah Dinasti Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen kekaisaran Romawi. Dengan kemenangan itu Ramailus Diogenus (pemimmpin pasukan Byzantium) selama 50 tahun harus membayar jizyah kepada kesultanan Saljuk. Tujuan alp-Arselan menjalin hubungan dengan Byzantium agar Saljuk lebih mudah mengembangkan kekuatan politiknya dan meraih program besar, yaitu menyatukan dunia Islam ke dalam khilafah Islam Sunni.[12]
Pada akhir masa pemerintahan Alp-Arselan, hubungan kesultanan Saljuk dengan kesultanan Ghaznawi mulai memburuk karena kematian Tumghaj Khan. Anak Tumghaj, Syams al-Din Nashir berkeinginan menakhlukkan kesultanan Saljuk. Pada pemberontakan tersebut Alp-Arselan terbunuh dan kedudukannya sebagai Sultan Saljuk digantikan oleh anaknya Malik Syah.
Malik Syah (1072-1092 M) naik tahta menggantikan ayahnya dan ia dibantu oleh wazir Nidham al-Mulk yang sudah berhubungan dengan ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur Khurasan. Pada awalnya ia menjadikan Nisapur sebagai ibukota Saljuk, tetapi kemudian memindahkannya ke Rayy, ibukota yang lama. Setelah ia naik tahta, ia melakukan tiga hal: pertama, melakukan sentralisasi kekuasaan politik, kedua, menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesultanan Saljuk ke hampir seluruh wilayah Islam.
Selama pemerintahan Malik Syah perbatasan timur kemaharajaan berhasil dipertahankan bahkan diperluas: yaitu para penguasa lokal di daerah-daerah ini dipaksa mengakui keunggulan Malik Syah dan mengirimkan upeti. Setelah beberapa waktu berlalu hubungan antara Malik Syah, dengan Nidham al-Mulk memburuk dan puncaknya adalah terbunuhnya Nidham al-Mulk. Tidak lama setelah kematian wazir Nidham al-Mulk, pada tanggal 15 Syawal 485 H / 1092 M, sultan Malik Syah juga wafat. Posisi Malik Syah, digantikan oleh putra tertuanya Rukn al-Din Barqyaruk.
2.      Saljuk Irak (1118 – 10924 M)
Setelah wafatnya Malik Syah pada tahun 1117 M, mulailah muncul perpecahan diantara kerabat Saljuk. Perpecahan tersebut ditandai dengan munculnya kesultan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa pertama kali memisahkan diri. Ia melepaskan diri dari kekuasaan pamannya, sultan Sanjar, melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak secara independen dari kekuasaan Saljuk Raya akhirya dipenuhi dengan menjadikan Mahmud sebagai waliy al-ahd untuk wilayah yang sama, dengan gelar sultan di depan namanya. Akan tetapi dia tetap memerintah di Irak atas nama pamannya, Sanjar, meskipun pada saat yang sama ia merupakan sultan bagi bangsa Saljuk di Irak.
Sepeninggal Mahmud, gelar sultan jatuh kepada putranya Dawud (1131-1131), Thugril II (1132-1134), Mas'ud ( 1134-1152). Malik Syah II (1152 – 1153 ), Muhammad II (1153-1159), Sulaiman Syah (1159-1161), Arselan Syah (1161-1175) dan Thugrul III (1175-1194).
Hampir keseluruhan penguasa Saljuk di Irak menduduki puncak kekuasaan pada usia yang sangat muda, Mahmud umpamanya, ketika menjadi sultan Saljuk Irak, ia masih berusia 13 tahun. Karna itu, penguasa Saljuk Irak hampir dapat dikatakan hanyalah sebagai Penguasa simbolik. Sedangkan secara politik kekuasaan para sultan berada di tangan atabeg[13] (bapak asuh) dan amir yang mengelilingi sultan dan mengendalikan administrasi pemerintahan dengan sekehendak hatinya.
3.      Saljuk Syiria
Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin Alp-Arselan yang telah mulai memerintah Syam pada tahun 470 H/ 078 M atas perintah Maliksyah yang memberinya wilayah kekuasaan di Damaskus dan sekitarnya. Tutusy berhasil meluaskan pengaruhnya ke halep (Aleppo), ar-Raha ( Rayy), Harran (Turki). Azerbaijan dan Hamada sebagai batu loncatan untuk menguasai Iran. Kareananya, Tutusy terlibat peperangan dengan Rukn al-Din Barqyaruk, kemenakannya. Barqyaruk tidak kuasa membendung Tutusy dan ia melarikan diri ke Isfahan untuk meminta bantuan saudaranya Nashir al-Din Mahmud. Akhimya Tutusy di bunuh keponakannya pada sebuah pertempuran besar dekat Rayy pada tanggal 7 Safar 488 H / 1095 M.
Sepeniniggal Tutusy, kesultanan Syiria dilanjutkan oleh Ridwan Fakhr al-Mulk (488 - 507 H/ 1095 - 1113 M), Syams al-Mulk Abu Nashr Duqaq ibn Tutusy (488-497 H/ 1095 - 1104 M), Taj al-Daulah Alp-Arselan al-Akhrasy ibn Ridwan (507 H/1113 M), Sultan Syah ibn Ridwan di bawah pengawasan Bad al-Din lu’lu’. Akhimya kesultanan Syiria lenyap pada tahun 511 H/1117 M pada masa kekuasaan para atabeg garis keturunan Tubtigin (Buriyyah ) dan para amir Arluqiyyah ).[14]
4.      Saljuk Kirman (1041-1186 M)
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga Qawurtiyun. Sebutan tersebut diambil dari pendiri kerajaan Saljuk di wilayah ini, yaitu 'Imad al-Din Kara Arsela Qawurt ibn Chaghri Bek dawud ibn Mikail. Sedangkan kaitan dengan Dinasti Saljuk adalah bahwa Qawurt adalah saudara Alp-Arselan ibnn Chaghri Bek yang pergi ke Kirman dengan kelompok Guzz, sekitar tahun 1041 M.
Beberapa tahun kemudian ia telah menduduki ibu kota Bardasir dan berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia. Setelah merasa kuat, Qawurt menunjukkan sikap menentang terhadap kekuasaan saudaranya Alp-Arselan tetapi kemudian surut kembali setelah merasakan keunggulan Alp-Arselan.
Sewaktu Malik Syah naik tahta, Qawurt mencoba menggulingkannya karna merasa lebih berhak atas tahta itu. Ia menyiapkan tentara yang besar menuju Rayy unuk memerangi kemenakannya. tetapi Malik Syah mencegat di Hamadan dan berhasil membunuhnya (466/1074 M). Malik Syah mengangkat Sultan Syah bin Qawurt sebagai penguasa Kirman sampai tahun 477 H/ 1084 M. Selanjutnya tahta kesultanan yang dipegang oleh Turan Syah (1084-1097 M), Iran Syah (1097-­1100), Arslan Syah (1101-1142 M), Muhammad (1142-1156 M) dan Thugrul Syah (1156-1169).
Sepeninggal Thugrul Syah, tercatat kalau Saljuk Kirman memiliki tiga orang sultan yang masing-masing mengklaim bahwa dia adalah pengusa tertinggi. Mereka adalah Bahramsyah. Arslan II dan Turan Syah II. Akibatnya, Saljuk Kirman dibagi menjadi tiga wilayah, tetapi di antara ketiga penguasa tersebut, Turan Syah memilik kekuatan paling besar. Setelah Turan Syah meninggal pada tahun 579 H/ 1183 M), ia digantikan oleh Muhammad Syah ibn Bahrain Syah (1183-1186 M).[15]
Kehancuran Saljuk Kirman disebabkan oleh kedatangan raja-raja Guzz. yang kemudian berhasil menguasai kesultanan. Bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186 M). Mulai tahun berikutnya (583 H/1187 M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.
5.      Saljuk Rum / Asia Kecil
Saljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah kesultanan kurang lebih 14 orang. Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya Abu al-Fawaris Qutulmisy bin Israil bin Saljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mousul, Irak), Diyar Bakr dan Syam pada masa penaklukan yang pertama.
Setelah mangkatnya Thrugrul Bek pada 455 H/1063 M dan naiklah Alp-Arselan, ia melakukan pemberontakan karna merasa lebih berhak atas jabatan itu. Tetapi ia berhasil di bunuh Alp-Arselan. Atas campur tangan Nizam al-Mulk, keluarga ini selamat dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperkenankan memakai gelar amir.
Selanjutnya, pimpinan pemerintahan kemudian di pegang oleh Sulaiman bin Qutlumisy yang diberi wewenang mcnguasai Asia Kecil atas perkenanan dari Malik Syah. Nama Sulaiman makin terkenal setelah berhasil merebut Antakiyah pada tahun 477 H/ 1085 M dari tangan orang-orang Philaterus, Armenia. Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy yang berakhir dengan kematiannya.
Meskipun masa pemerintahan Sulaiman diwarnai oleh banyak penaklukan. Ada dua hal yang perlu dicatat dalam sejarah, yaitu: pertama, bangsa Armenia yang tertekan akibat tekanan keagamaan Byzantium, mendapatkan kebebasan beragama pada masa Sulaiman bin Quthlumusy. Kedua, tidak lama Setelah ia naik tahta, ia membagikan tanah kepada para petani yang belum memiliki tanah. Tanah ini dahulunya merupakan milik pejabat Byzantium. Kebijakan ini memberikan konstribusi penting bagi kehidupan sosial yang harmonis dan mengeliminasi munculnya aristokrasi para pemilik tanah.[16]
Setelah Sulaiman ibn Quthlumisy wafat. Malik Syah kemudian mengangkat anak Sulaiman Qilij Arslan I,  ia menjalin hubungan dengan kaisar Byzantium sehingga ia memiliki kebebasan melebarlan pengaruh ke wilayah sebelah timur. Kemudian Qilij kembali ke ibu kota untuk mempertahankannya dari serangan tentara Salib. Ketika kota ini jatuh ketangan tentara Salib, Qilij Arslan I memindahkan ibukota ke Kenya. Setelah itu menjalin kerja sama dengan kaisar Byzantium dalam melawan tentara salib. Dalam pertempuran hebat dengan tentara Saljuk Raya di sungai Khabur, Qilij terbunuh.[17]
Secara kronologis para penguasa Saljuk Roma adalah sebagai berikut: Sulaiman bin Quthlumusy, Qilij Arslan I (1086-1107 M), Malik Syah dan Mas'ud (1107-1155 M), Qilij Arslan II (1156-1192 N1),  Rukhnudin Sulaiman II (1196-1204 M), Qilij Arslan III dun Giyasuddin Kaikhusraw (1204-1210 M), Izzuddin Kaikhusraw I (1210-1219 M), Alaudin Kaikobad (1219-1237 M), Izzuddin Kaikhusraw II (1237-1245 M), Izzudin Kaikhusraw III (1246-1256 M ), Rukhnuddin Qilij Arslan IV (1237-1266 M), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266-1282), Giyasuddir, Mas'ud II dm Alaudin Kaikobad II (1282 -1302 M).
Turki Saljuk di Anomalia mencapai masa kejayaannya pada petnerintahan Alaudin Kaikobad ( 1219-1237 M ). Ketika itu kawasan Asia berada dalam ancaman penakhlukan bangsa mongol ia membangun tembok yang melindungi kota Kenya. Dia mempekerjakan armada lautnya dengan membangun industry kapal di Kolonoros.[18]
Kesultanan Saljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan Dinasti Saljuk yang lain meskipun terjadi banyak pertentangan intern. Kehancuran dinasti Saljuk Asia kecil diawali dengan masuknya orang-orang Mongol yang lama kelamaan dapat mengusai pemerintahan, dan akhirnya mampu merebut kesultanan dihawah pimpinan Gaza Khan.
C.    Kemajuan yang dicapai Dinasti Saljuk
a.       Bidang Ilmu Pengetahuan
Pada masa pemerintahan Alp-Arselan, ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah yang memprakarsai beridirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan ilmu pasti.
Pada masa Malik syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan matematika.[19] 
b.      Bidang Politik dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan, Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hamper mengusai seluruh wilayah Iran, Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.
Puncaknya pada masa pemerintahan alp-Arselan, kekuasaan dinasti Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M), di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya untuk menentang tentara alp-Arselan dan mendengar pernyataan tersebut membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan harga diri dan kaumnya.[20]
c.       Bidang Pembangunan Fisik
Kaum Dinasti Saljuk sangat suka dan gemar pada bangunan-bangunan besar dan megah, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang dipenuhi hiasan. Karena begitu senangnya dengan karya seni, sulthan-sulthan memberikan perlindungan dan perhatian terhadap hasil karya seni serta memberikan motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya.
Bangunan yang banyak dibangun adalan jalan-jalan, mesjid jembatan dan saluran irigasi. Bahkan pada masa alp-Arselan dilakukan pemugaran benteng Bukhara dan tembok Madinah dan mendirikan sebuah mesjid yang megah dengan dua mahligai yang besar di Samarkhan, kemudian salah satu mahligai tersebut dijadikan sekolah.[21]
D.    Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah
Kehancuran Bani Saljuk merupakan tonggak kehancuran Daulah Abbasiyah, karena fakta sejarah menyebutkan bahwa setelah kehancuran Bani Saljuk, muncul dinasti-dinasti kecil tetapi tidak lagi terikat dengan Daulah Abbasiyah. Penulis akan memaparkan beberapa penyebab yang melatar belakangi kehancuran Daulah Abbasiyah ini.
a.      Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam perioderisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namur demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.[22]
a.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang­ orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-­budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[23]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[24]
b.      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[25]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[26] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[27]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.    Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.    Yang berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.
3.    Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.    Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia (180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.    Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[28]
c.       Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul­mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[29]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[30]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-­marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
d.      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[31] Setelah al-Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M), kembali memperkenankan orang syi’ahmenziarahi” makam Husein tersebut.[32] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [33]
b.      Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhimya hancur.
1.      Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp-Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang­-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[34]
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlulkitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[35]
2.      Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berak-himya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui­ sahara yang dikenal keras kepala dan suka berlaku jahat.
Sebagai awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[36] Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerang untuk menghancurkan tembok ibukota.[37] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base camp pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan apa saja di Baghdad. Mereka menghancurkan kota, dan membakamya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’i Rafidhah yaitu Ibn ‘al-Qami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Destroyer Organization Of School Quraisy - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger