PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN SYAFAWI DI PERSIA
A.
PENDAHULUAN
Jika
disinggung tentang kemajuan Islam barang kali kita sepakat bahwa Syafawi merupakan salah satu kerajaan yang mewarnai
gemilangnya Islam di masa lampau, kejayaan Syafawi tidak diragukan, menghasilkan banyak
kontribusi dalam berbagai aspek, namun jika diajak untuk sepakat mengatakan
sepemikiran terhadap mazhab yang dianut oleh orang-orang Syafawi waktu itu, maka banyaklah yang mengatakan kami
bukan orang syi’ah. Untung saja pembahasan kali ini mengajak kita menyingkap
yang tersirat baik dari ketidaktahuan atau keterlupaan kita terhadap sejarah
kerajaan Syafawi, sehingga Pemahaman agama hanyalah sebahagian dari hal-hal
yang akan diungkapkan.
Dalam kurun waktu 1500-1800 M, hampir secara
bersamaan muncullah tiga kerajaan besar di tiga wilayah Islam yang berbeda
sebagai kelanjutan dari rantai peradaban Islam yang sebelumnya telah dijalin
oleh Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Ketiga kerajaan
besar tersebut adalah Kerajaan Usmani di
Turki, Kerajaan Shafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan
Syafawi di Persia hingga saat ini
memiliki bentuk peninggalan yang unik dan variatif. Mulai dari pergantian
kekuasaan dari satu pimpinan ke pemimpin yang lain dengan pola strategi
pemerintahan politik yang berbeda hingga perubahan sistem pemerintahan Monarkhi
menjadi Republik (Republik Iran).
Terdapat perbedaan
pendapat mengenai asal usul kata Shafawi. Menurut Sayid Amir Ali, kata Shafawi
berasal dari kata Shafi, suatu gelar bagi nenek moyang raja-raja Shafawi, Sayid
Amir Ali mengatakan bahwa para Musafir, Pedagang dan Penulis Eropa selalu
menyebut raja-raja Shafawi dengan gelar Shafi Agung. Sedangkan menurut P. M.
Holt, kata Shafi bukanlah gelar dari pemimpin seperti yang disebut, akan tetapi
kata Shafi merupakan bagian dari nama Shafi al-Din Ishak al-Ardabily sendiri (1252
– 1334 M / 650 - 735 H)[1] ,
pendiri dan pemimpin Tarekat Shafawiyah. Satu kesimpulan yang penulis tarik adalah bahwa nama Shafawi
dinisbatkan kepada Shafi al-Din Ishak al-Ardabily[2]. Terlepas dari perbedaan
pendapat di atas, Syafawi dalam berbagai aspek akan dibahas, semoga ketidaktahuan
kita terhadap bagian Peradaban Dinasti Syafawi akan terjawab di sini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Latar Belakang
Berawal dari masuknya Islam ke
Persia pada zaman Abu bakar yang berhasil menaklukkan Qadisiah, ibu kota
dinasti Sasan (637 M), bagian kecil dari Sasaniah yaitu Baduspaniah bertahan
hingga abad 16 Masehi. Di samping itu sebelum Syafawi , di Persia terdapat
kerajaan lokal (distrik) yang berada di bawah dinasti-dinasti yang lebih besar,
hingga menjadi kekuasaan yang lebih besar seperti dinasti Saljuk, Tabaristan, Rawadiah,
Thahiriyah, Safariyah, dan Buwaihi. Di masa Timur Lenk wilayah tersebut bernama
dinasti Timuriah (1370-1506) sepeninggalannya (1405) Timuriah pecah menjadi dua
, dipimpin oleh Ulugh Bek (1404-1449 M) dan Sultan Husen. Dinasti ini tidak
stabil karena Mongol dan Turki campur tangan, oleh karena itu, kelompok yang
tidak puas mencoba melakukan gerakan-gerakan. Salah satunya adalah gerakan
tarekat Syafawi yang dipimpin oleh
Syaikh Syafi’ al Din (1252-1334 M)[3].
Pada awalnya gerakan tarekat safawi
ini adalah bertujuan untuk memerangi orang-orang yang ingkar. Kemudian
memerangi golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid’ah. Suatu ajaran yang
dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan
para penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu lama-kelamaan murid-murid
tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang terorganisir[4],
fanatik dalam kepercayaan dan menantang setiap orang yang bermazhab berbeda
atau selain mereka[5].
Kecenderungan memasuki dunia politik
itu dapat terwujud pada masa kepemimpinan Juned (1447M-1460M). Safawi memperluas
gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan.
Perluasan wilayah ini menimbulkan konflik dengan Karo Koyunlu dan Juned kalah,
akhirnya dia diasingkan ke suatu tempat. Ditempat itu dia mendapatkan
perlindungan dan bantuan dari para penguasa Diyar Bakr, Ak-Koyulu. Selama dalam
pengasingan, Juned menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik
dengan Uzun Hasan. Juned juga berhasil
mempersunting sepupu Uzun Hasan dan
memiliki Putra bernama Haidar. Kemudian Juned terbunuh pada saat mencoba
merebut Sisilia[6].
Haidar menggantikan ayahnya dalam memimpin
Syafawi sebagai sebuah kekuatan politik dan militer. Dalam melanjutkan hubungan
dengan Uzun Hasan tidak cukup sampai pernikahan ayahnya dengan Adik Uzun Hasan
saja, bahkan Haidar menikahi salah satu putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini
melahirkan tiga orang putra Ali, Ibrahim
dan Ismail[7].
Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476
terhadap Kara Koyunlu memandang gerakan Syafawi yang dipimpin Haidar sebagai rival politik bagi
AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya[8].
Karena itu ketika Syafawi menyerang
wilayah Sircassia dan Sirwan, AK Koyunlu malah mengirimkan bantuan militer
untuk membantu Sirwan sehingga pasukan Syafawi kalah dan Haedar terbunuh. Inilah mulanya
perpecahan antara dua sekutu Syafawi dan Ak Koyunlu.
Ali, putra Haidar dintuntut
pasukannya untuk menuntut balas atas kematian Haidar. Tetapi Ya’kub, pemimpin Ak
Koyunlu berhasil menangkap Ali bersama saudaranya Ibrahim dan Ismail serta
ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493). Mereka dibebaskan oleh
Rustam, putra mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantu membebaskan sepupunya.
Ali kembali ke Ardabil setelah saudara sepupu Rustam dikalahkan. Namun
selanjutnya Rustam berbalik memusuhi Ali bersaudara yang menyebabkan kematian
Ali (1494)[9]
dan digantikan oleh adiknya Ismail, Ismail naik menggantikannya meski baru
tujuh tahun. Ia menyiapkan pasukannya yang dinamai Qizilbas h (Baret Merah)
yang dibentuk oleh ayahnya Haidar.
Di bawah pimpinan Ismail pada tahun
1501 M berhasil mengalahkan Ak-Konyulu di Sharur dan berhasil merebut ibu
kotanya yaitu Tabriz dan di tempat itu dia memproklamirkan dirinya sebagai raja
pertama dinasti Safawi (disebut Ismail I). Ismail I berkuasa selama 23 tahun.
Dalam waktu 10 tahun Ismail sudah mampu memperluas kekuasannya hingga seluruh
Persia[10].
Ismail digantikan oleh anaknya
Tahmasp I [11],
Tahmasp merupakan pengganti Ismail yang memang sudah dipersiapkan dan
diunggulkan dari saudara-saudaranya, karena beliau adalah putra tertua[12] bahkan
beliau naik tahta pada hari yang sama saat ayahnya Isma’il I mangkat, padahal
saat itu Tahmasp masih berumur sepuluh
tahun[13].
Tahmasp memerintah selama 52 tahun, menjelang wafatnya Tahmasp mengalami sakit
keras, pada masa ini pasukan Qizilbas h terpecah menjadi dua kubu, satu
diantaranya kelompok yang memihak Ismail Mirza dan lainnya memihak kepada
Haidar Mirza. Dalam hal ini Tahmasp memilih Haidar Mirza putra ke tiganya sebaga
calon penggantinya. Namun Ismail melakukan penolakan dan perlawanan pada saat penobatan
Haidar menjadi khalifah(Syah)
hingga akhirnya Haidar terbunuh, dan Isma’il naik Tahta dengan gelar Isma’il II[14].
Setelah setahun menjabat , Isma’il
wafat dan digantikan oleh Muhammad Khudabanda Putra pertama Tahmasp I atas
penunjukan para pejabat Negara[15]. Khudabanda
menjabat lebih kurang sepuluh tahun lamanya, kemudian digantikan oleh Syah
Abbas I. Syah Abbas I memerintah selama kurang lebih 41 tahun, selama
pemerintahannya, Syafawi berada pada
tatanan yang penuh dengan kemajuan, perbaikan urusan administrasi, diplomasi luar
negeri dan lain-lain
Sebelum
Abbas I, Persaingan antara Syafawi dengan Turki Usmani selalu terjadi, ditandai
dengan perang yang berkepanjangan, peperangan dimulai sejak kepemimpinan Ismail
I (1501-1524 M), lalu Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il (1576-1577 M) dan
Muhammad Khudabanda (1577-1587) Akhirnya, Abbas I (1588-1628 M) melakukan
perjanjian dengan Turki Usmani sehingga mengakhiri perang yang biasanya terjadi[16]. Secara umum di Zaman Syah Abas I
terjadi stabilitas Negara dan Perdamaian dengan Turki Usmani dan dinasti Moghul.
[
2.
Kemajuan di Bidang Politik dan Pemerintahan
Sebagaimana
lazimnya kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kekuatan angkatan
bersenjata, pembenahan
administrasi Negara, penguatan system pertahanan ibukota dan hubungan diplomasi
dengan negara lain, serta menjaga agar tidak terjadinya perpecahan[17]. Inilah secara umum lima
hal yang dilakukan Syah Abbas I dalam menjamin kemajuan dinasti Syafawi . Syah Abbas I
juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan
bersenjata Dinasti Shafawi yang kuat, besar dan modern.
Tentara Qizilbas
yang pernah menjadi tulang punggung dinasti
Shafawi yang besar, seiring waktu tidak terlalu berpengaruh dalam bidang
pertahanan dan keamanan, melainkan hanya menjadi semacam tentara nonreguler
yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menopang citra politik syah yang besar.
Untuk itu dibangun suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini
direkrutnya dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan
Circhasia yang sudah mulai dibawa ke Persia sejak Syah Tahmasab (1524-1576 M),
mereka diberi gelar “Ghulam”. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang
militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah Abbas
mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam itu sendiri.
Dalam membangun
Ghulam, Syah Abbas mendapat dukungan dari dua orang Inggris, Yaitu Sir Anthony
Shearli dan saudaranya, Sir Robert Shearli. Mereka yang mengajari tentara
Shafawi untuk membuat meriam sebagai perlengkapan tentara modern. Kedatangan
kedua orang Inggris tersebut oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai usaha
strategis Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat
itu. Namun kepercayaan diri Syah Abbas tetap ada, karena memiliki tentara (Ghulam) yang bisa
diandalkan.
Secara administrasi, struktur
organisasi pemerintahan Syafawi secara
horizontal didasarkan pada garis kesukuan/kedaerahan. Dan secara vertical
mencakup dua jenis, yaitu Istana dan Sekretariat Negara.
Dalam hal kesukuan, Qizilbasy (suku
Turki) merupakan bangsawan Militer, Qizilbasy mendapat posisi strategis hingga masa
Muhammad Khdabanda (berakhir pada 1587 M). Suku Tajik memegang posisi di
kementrian dan Sekretariat Negara (sebagai dewan Amir yang meliputi Amir,
wazir, sejarawan istana, sekretaris pribadi syah, dan kepala intelijen),
akuntan, pegawai administrasi, pengumpul pajak dan administrasi keuangan, dan
suku Persia menjabat sebagai Sadr (ketua Lembaga Agama)[18]
3.
Ekonomi dan Perdagangan
Dalam bidang ekonomi terjadi
perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan nama pelabuhan
“Gumrun” akhirnya diubah menjadi Bandar Abbas.
Sebagai pelabuhan utama wilayah ini
mampu menjamin kehidupan perekonomian Safawi. Hal ini dikarenakan bandar tersebut
merupakan salah satu jalur dagang yang strategis antara timur dan barat yang
biasanya menjadi daerah perebutan belanda Inggris dan Prancis.
Selain itu Safawi juga mengalami
kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan sabit subur (fortile
crescent). Dalam masa ini juga masyarakat sudah banyak malakukan budaya wakaf
bagi harta-hartanya kepada ummat[19].
4.
Sosial Kemasyarakatan
Pada zaman Khudabanda (1666 M),
Isfahan 162 Masjid, 48 perguruan, caravansaries, dan tempat pemandian umum yang
seluruh nyadibangun oleh Tahmasp I . Syah
Abbas sebagai pelanjut dari keduanya berhasil membuat Syafawi secara
keseluruhan menjadi negara yang hidup makmur, terhindar dari perang yang
biasanya terjadi. Sehingga di masa Abbas I dinyatakan sebagai puncak keemasan
kerajaan tersebut.
5.
Pendidikan dan Iptek
Salah satu keunggulan dinasti
Syafawi dibandingkan dengan Turki Usmani adalah dibidang Ilmu pengetahuan, Syafawi
lebih menonjol daripada Dinasti Turki
Usmani, khususnya ilmu filsafat yang berkembang amat pesat. Dalam bidang
pendidikan terutama untuk perkembangan mazhab Syi’ah didirikan sekolah teologi
serta pusat kajian Syi’ah di tiga kota, yaitu : Qum, Najaf, Masyhad[20]
Baha al Din al-‘Amili merupakan
tokoh yang dikenal sebagai generalis ilmu pengetahuan pada Zaman Itu. Selain
itu seorang ilmuan, Muhammad Bagir ibn Muhammad
Damad juga pernah melakukan penelitian tentang lebah.
6.
Kesenian
Di bidang kesenian juga sangat
terasa pada zaman ini, sebuah sekolah Seni lukis yang merupakan peninggalan
dari Timuriah Yang berada di Herat, dipindahkan
ke Tibriz pada tahun 1510 M oleh Ismail I. Di sekolah ini diterbitkan buku Syah Nameh (buku tentang raja-raja)
yang memuat lebih dari 250 lukisan[21].
Tahun 1522 Ismail mendatangkan Seorang pelukis yang bernama Bizhad ke Tibriz[22],
Para
penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Kemajuan di bidang ini juga bisa terlihat jelas dalam gaya
arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat di masjid Shah yang dibangun
tahun 1611 M, selain itu juga terlihat pula bentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar dan benda seni lainnya.
7.
Pemikiran dan Filsafat
Dalam bidang filsafat, ditandai
dengan berkembangnya filsafat ketuhanan yang kemudian dikenal dengan filsafat Isyraqi
(pencerahan) tercatat seorang yang bernama Sadr al Din al-‘Syirazi (Mulla
Shadra) sebagai filosof, beliau wafat tahun 1641 M. selain Mulla Shadra juga
disebutkan nama Muhammad Bagir ibn Muhammad
Damad juga sebagai filosof, ahli sejarah dan teolog, beliau pernah
melakukan penelitian tentang lebah. Ia wafat pada tahun 1631 M.
8.
Pemahaman Agama
Ismai’l Khaidar (khalifah pertama) mengklaim dirinya
sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari imam
yang tersembunyi dan imam Mahdi[23].
Dinasti Syafawi bukanlah kerajaan yang serta merta
dibangun atas dasar kekuasaan, berawal dari sebuah pandangan agama dalam
bentuk tarekat di Ardabil(Azerbaijan). Tarekat Syafawi yah berdiri hampir
bersamaan dengan kerajaan Usmani[24].
Syafawi merupakan penganut faham Syi’ah, bahkan dari
awal berdirinya kerajaan ini Syi’ah dinyatakan sebagai mazhab resmi negara.
Bahkan di zaman Abbas II (Sulaiman) dan Husein terjadi penindasan, pemerasan
dan marjinalisasi terhadap ulama Sunni dan memaksa ajaran Syi’ah kepada mereka.
Namun demikian tidak berarti seluruh
Syah Syafawi beraliran demikian, dijelaskan oleh Muhammad Sahil Thaqqusy dalam
Sejarah Dinasti Syafawi di Iran dalam hal pandangan agama Ismail II merupakan
penganut aliran Sunni, meskipun tidak
diungkapkan secara terang-terangan, namun segala kegiatan dan tindakan kepemimpinannya
mengidentifikasikan bahwa beliau adalah penganut faham Sunni[25]. Namun tetap saja dikatakan Syiah telah melingkupi perjalanan dinasti Syafawi hingga terasa
pada sebagian besar Republik Iran sekarang.
9.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI SAFAWI
Dinasti Syafawi di Persia meraih
puncak keemasan di bawah pemerintahan Syah Abbas I selama periode 1588-1628 M.
Abbas I berhasil membangun kerajaan safawi sebagai kompetitor seimbang bagi
Kerajaan Turki Usmani.
Tanda-tanda kemunduran kerajaan
persia mulai muncul sepeninggalan Abbas I. Secara berturut-turut syah yang
menggantikan Abbas I adalah:
1. Safi
Mirza (1628-1642 M)
2. Abbas
II (1642-1667 M)
3.
Sulaiman (1667-1694 M0
4.
Husain (1694-1722 M)
5.
Tahmasp II (1722-1732 M)
6. Abbas
III (1733-1736 M).
Banyak faktor yang mewarnai
kemunduran kerajaan safawi, di antaranya dari perebutan kekuasaan di kalangan
keluarga kerajaan. Selain itu dikarenakan bahwa Syah-syah yang menggantikan
Abbas I sangat lemah dalam banyak hal terutama kepiawaian dalam memimpin dan
pendekatannya terhadap pejabat, aparat dan rakyat .
Safi Mirza, cucu Abbas I[26] merupakan
pemimpin yang lemah dan kelemahan ini dilengkapinya oleh kekejaman yang luar
biasa terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifatnya yang pecemburu. Pada
masa pemerintahan Mirza inilah kota Qandahar lepas dari penguasaan Safawi
karena direbut oleh kerajaan Mughal yang pada saat itu dipimpin oleh Syah
Jehan, dan Baghdad direbut oleh Kerajaan Usmani[27].
Abbas II disebutkan sebagai
seorang raja yang pemabuk, sehingga kebiasaan mabuk inilah yang menamatkan
riwayatnya. akan tetapi di tangannya kota Qandahar bisa direbut kembali.
Demikian halnya dengan Sulaiman, ia juga disebut sebagai seorang pemabuk dan
selalu bertindak kejam terhadap pembesar istana yang dicurigainya. Disebutkan Selama
tujuh tahun ia tak pernah memerintah kerajaan.
Diyakini, konflik dengan Turki Usmani
adalah sebab pertama yang menjadikan Safawi mengalami kemunduran. Terlebih
Turki Usmani merupakan kerajaan yang lebih kuat dan besar daripada Safawi.
Hakikatnya ketegangan ini disebabkan oleh konflik Sunni-Syi’ah[28].
Syah Husain adalah raja yang
alim akan tetapi kealiman Husain adalah suatu kefanatikan tehadap Syi’ah.
Karena dia lah ulama Syi’ah berani memaksakan pendiriannya terhadap golongan Sunni.
Inilah yang menyebabkan timbulnya kemarahan golongan sunni di Afganistan sehingga menimbulkan pemberontakan-pemberontakan.
Pemberontakan
bangsa Afgan dimulai pada 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil
merebut wilayah Qandahar. Lalu disusul oleh pemberontakan suku Ardabil di Herat
yang berhasil menduduki Mashad.
Di lain pihak Mir Vays
digantikan oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Pada masa Mir Mahmud berhasil
menyatukan suku Afgan dengan suku Ardabil. Dengan kekuatan yang semakin besar,
Mahmud semakin terdorong untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut
wilayah Afgan dari tangan Safawi. Bahkan ia melakukan penyerangan terhadap
Persia untuk menguasai wilayah tersebut.
Penyerangan demi penyerangan ini
memaksa Husain untuk mengakui kekuasaan Mahmud. Oleh Husain, Mahmud diangkat
menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husain Quli Khan yang berarti Budak
Husain. Dengan pengakuan ini semakin mudah bagi Mahmud untuk menjalankan
siasatnya. Pada 1721 M ia berhasil merebut Kirman. Lalu menyerang Isfahan,
mengepung ibu kota safawi itu selama enam bulan dan memaksa Husain menyerah
tanpa syarat. Pada 12 oktober 1722 M Syah Husain menyerah dan 25 Oktober menjadi
hari pertama Mahmud memasuki kota Isfahan dengan kemenangan, sedangkan beberapa
wilayah propinsi laut Kaspia di Jilan, Mazandaran dan Asterabad direbut oleh
Rusia[29].
Tak menerima semua ini, Tahmasp II
yang merupakan salah seorang putra Husain dengan dukungan penuh suku Qazar dari
Rusia, memproklamirkan diri sebagai penguasa Persia dengan ibu kota di
Astarabad. Pada 1726 M, Tahmasp bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar
untuk memerangi dan mengusir bangsa Afgan yang menduduki Isfahan.
Asyraf sebagai pengganti Mir Mahmud
berhasil dikalahkan pada 1729 M, bahkan Asyraf terbunuh dalam pertempuran
tersebut. Dengan kematian Asyraf, maka dinasti Safawi berkuasa lagi.
Pada Agustus 1732 M, Tahmasp II
dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III yang merupakan putra
Tahmasp II, padahal usianya masih sangat muda. Ternyata ini adalah strategi
politik Nadir Khan, karena pada tanggal 8 maret 1736, dia menyatakan dirinya
sebagai penguasa persia dari abbas III. Maka berakhirlah kekuasaan dinasti
Safawi di Persia[30].
Kehancuran Syafawi juga dikarenakan
lemahnya pasukan Ghulam yang diandalkan oleh safawi pasca penggantian tentara Qizilbash.
Hal ini karena pasukan Ghulam tidak lagi dilatih secara penuh dalam memahami
seni militer. Sementara sisa-sisa pasukan Qizilbash tidak memiliki mental yang
kuat dibandingkan dengan para pendahulu mereka. Sehingga membuat pertahanan
militer Safawi sangat lemah dan mudah diserang oleh lawan.
0 komentar:
Posting Komentar